Mohon tunggu...
Hamdi Nuqtoh
Hamdi Nuqtoh Mohon Tunggu... -

Zero to Hero..

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Spiritualitas Dalam Kurikulum 2013

7 Oktober 2013   14:36 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:52 833
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Perubahan kurikulum akhir-akhir ini semakin ramai dibicarakan. Pro-kontra menghiasi kelahiran kurikulum 2013. Sudah menjadi maklum adanya tiap ada perubahan pasti ada dua kubu yang berseberangan, yang setuju dan tidak setuju.

Tulisan ini bukan menjadi bagian dari dua kubu tersebut namun ingin melihat seberapa besar “keberpihakan” kurikulum 2013 terhadap agama Islam. Kenapa ditarik ke agama Islam? Hal ini karena salah satu akar jerjadinya perubahan kurikulum adalah akibat dari lemahnya moral para peserta didik yang tentu sangat terkait dengan Pendidikan Agama Islam pada sekolah sebagai sumber moral.

Dalam perjalanannya, Pendidikan Agama Islam (PAI) pada sekolah memang selalu tarik-menarik dengan “kekuatan besar”. Pada akhir Desember 1945 misalnya, Panitia Pengajaran RI mengusulkan agar mata pelajaran agama diberikan pada semua sekolah, usulan tersebut disusul dengan terbitnya UU No. 4 Tahun 1950 (jo No. 12 Tahun 1945) tentang dasar-dasar pengajaran disekolah, namun sayang selalu terjadi perbedaan persepsi tentang materi dan status pendidikan agama. Kemudian dalam Rencana Pelajaran 1947 dimasukan mata pelajaran Didikan Budi Pekerti yang isinya tumpang tindih dengan isi pendidikan agama. Bahkan dalam Rencana Pendidikan 1964, pendidikan budi pekerti digabungkan dengan Pendidikan Agama dalam bentuk Studi Pendidikan Agama/Budi Pekerti dan pada kurikulum 2013 hal tersebut berulang kembali yakni menggabungkan Pendidikan agama dan Budi Pekerti. Perjalanan sejarah Pendidikan Agama khususnya Islam di negeri tidak pernah mulus, selalu saja berhadapan dengan tantangan dan rintangan.

Sesungguhnya dalam UUD 1945 Bab XIII Pasal 31 dijelaskan bahwa pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu system pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia. Maka sudah seharusnya Pendidikan Agama Islam pada sekolah memiliki porsi besar untuk dapat meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia tersebut bagi siswa. Bukan menjadi matapelajaran yang “dipaksakan lahir” karena sudah terlanjur dikandung dalam “perut UUD 1945” yang pada ahkirnya menjadi mapel pelengkap dan sebatas ada. PAI seakan menjadi bayi yang tidak diharapkan kelahirannya.

Kurikulum 2013 dan Pendidikan Agama Islam

Apa yang dilakukan pemerintah hari ini, yakni merubah kurikulum, menurut sebagian pihak merupakan sebuah keputusan yang instan dan terburu-buru. Namun, faktanya kelahiran “bayi” yang bernama Kurikulum 2013 tidak bisa dicegah, maka hal yang harus dipikirkan hari ini adalah bagaimana merawat dan membesarkan bayi yang bernama kurikulum 2013 tersebut agar benar-benar memberikan pengaruh dalam dunia pendidikan di negeri ini.Dengan lahirnya kurikulum 2013 diharapkan bisa menjawab persoalan-persoalan yang ada khususnya terkait dengan kemerosotan moral yang terjadi pada peserta didik.

Dalam UU No. 20 tahun 2003 dijelaskan bahwa kurikulum merupakan acuan atau pedoman dalam proses belajar untuk mencapai tujuan tertentu, didalamnya terdapat rencana, tujuan, isi dan model pembelajaran. Dengan begitu sesungguhnya kurikulum bak kitab suci yang memberikan penjelasan kepada umat dalam menempuh jalan kehidupan yang terjal agar sampai pada kebahagiaan. Siapa yang tidak mengikuti jalan yang telah ditetapkan kitab suci maka ia akan tersesat.

Ada beberapa perubahan mendasar pada kurikulum 2013, diantara perubahan tersebut adalah pada standar kompetensi lulusan (SKL) yang merupakan kualifikasi kemampuan lulusan yang terdiri dari beberapa aspek yakni, aspek sikap, aspek pengetahuan, dan aspek keterampilan. Nah,Kompetensi Lulusan pada setiap jenjang dikembangkan untuk memenuhi tuntutan kebutuhan kompetensi.Standar Kompetensi Lulusan (SKL) menjadi acuan utama pengembangan standar isi, standar proses, standar penilaian pendidikan, standar pendidik dan tenaga kependidikan dan beberapa standar lainnya.

Pada aspek sikap lah kemudian semua bermuara. Dalam aspek sikap, standar kompetensi lulusan nya adalah bagaimana peserta didikmemiliki perilaku yang mencerminkan sikap orang beriman, berakhlak mulia, berilmu, percaya diri, dan bertanggungjawab dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam di lingkungan rumah, sekolah, dan tempat bermain.

Nah, seluruh mata pelajaran harus merujuk pada aspek sikap tersebut. Guru mapel matematika dan bahasa juga wajib menanamkan nilai-nilai agama pada mata pelajaran yang diampunya. Dalam mengembangkan standar isi pada seluruh mata pelajaran harus mengacu pada standar sikap diatas. Dengan perubahan kurikulum tersebut, telah membawa angin segar bagi dunia pendidikan khususnya agama Islam di sekolah, karena guru mata pelajaran lain dalam mengembangkan standar isi, standar proses harus merujuk pada standar kelulusan tadi. Namun, bukan hanya berhenti pada penanaman nilai-nilai agama karena kodrat agama adalah untuk dihayati bukan diketahui. Oleh karena itu, guru mapel lain harus mampu memberikan contoh yang baik pada siswa. Ia harus menjadi buku hidup yang terbuka di hadapan anak didik untuk dibaca dan ditiru. Seorang psikolog Inggris, Thomas Moore menyadari bahwa pendidikan umum seharusnya tidak Cuma mengisi otak dengan informasi atau memberi keterampilan, tetapi mendidik dan mengembangkan budi yang luhur.

Jelas, kurikulum 2013 memiliki semangat yang kuat dalam konteks spiritualitas. Apakah kurikulum 2013 akan berhasil menciptakan generasi yang berakhlak? Jawabannya tentu pada sejauh mana pihak-pihak terkait mampu memahami dan mengimplentasikannya. Ibarat membangun rumah, kurikulum 2013 merupakan blue print nya. Sebagai blue print harus jelas bagi semua pihak yang terkait, arsitek, tukang, pemilik rumah. Tidak boleh ada perbedaan persepsi diantara pihak-pihak terkait mengenai bagaimana akhir bentuk rumah tersebut. Apabila terjadi perbedaan persepsi diantara pihak-pihak tersebut maka sudah dapat dipastikan akan ada kekecewaan khususnya pemilik rumah. Jika kurikulum 2013 dipahami berbeda oleh pikah-pihak terkait seperti guru, kepala sekolah, dosen, pejabat, pemerhati pendidikan maka sudah dapat dipastikan kurikulum 2013 akan gagal.

Penulis: Hamdi, Alumnus Pon-Pes Modern Darussalam Ciomas Bogor,Theologi dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun