Pemilihan kepala daerah baik Gubernur, Bupati, maupun Walikota yang diselenggarakan di Indonesia masih menyisakan tanda tanya besar. Mulai dari masalah pendanaan, calon yang mencalonkan diri dan diusung parpol, calon yang melalui independen, hingga kesiapan menerima kekalahan dalam pilkada baik calon maupun pendukung calon tersebut. Melalui Pilkada harapan semua orang adalah lahirnya seorang pemimpin yang diinginkan sesuai kemauan rakyat bukan kemauan Parpol saja. Saat ini Parpol menjadi bagian yang tidak terlupakan dalam proses Pilkada.
Hal ini disebabkan Parpol mempunyai peran dalam naiknya seorang kepala daerah yang dapat kita artikan sebagai kendaraan calon untuk duduk dikursi eksekutif tingkat daerah. Pemimpin daerah yang akan duduk di kursi kepala daerah tidak bisa melepaskan diri dari Parpol. Hal ini dapat kita lihat bahwa akan ada hubungan DPRD kabupaten maupun kota dengan kepala daerah dalam mengurus daerahnya masing-masing. Kemudian apa permasalahan yang akan ada sebelum menuju Pilkada yang berbau korupsi?
Melalui pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945 dengan tegas telah menyatakan bahwa Gubernur, Bupati dan Walikota dipilih secara demokratis. Intinya tidak ada batasan apakah pilkada melalui DPRD atau rakyat langsung yang memilih. Kemudian bagaimanakah calon perseorangan tanpa parpol? Melalui Undang-undang No. 8 Tahun 2015 didalam pasal 1 ayat (3) dan (4) telah menegaskan bahwa calon orang bisa mendaftarkan diri baik melalui parpol maupun perseorangan (independen). Permasalahan tentang calon perseorangan tentunya agak membuat kita bimbang apakah calon independen bisa naik nantinya menjadi kepala daerah?
Beberapa orang yang telah berhasil menang melalui jalur independen tidak perlu dipermasalahkan lagi. Tetapi bagaimana dengan kelanjutan kepemimpinan selanjutnya antara hubungan DPRD dengan kepala daerah? Sebagaimana kita ketahui di DPRD ada bermacam orang yang duduk melalui parpolnya masing-masing. Dan ada pengaruh partai dalam pengambilan keputusan untuk daerah masing-masing seperti akan partai yang menolak dan menerima suatu usulan baik itu berbentuk perda.
Lalu bagaimanakah jika kepala daerah tanpa partai? Apakah harus masuk partai agar bisa berkontribusi dengan DPRD? Disinilah letak kebimbangan kita. DPRD adalah lembaga legislatif yang mewakili kepentingan parpol dahulu baru rakyatnya. Sementara itu jika kepala daerah independen yang ingin mewakili keinginan rakyat tanpa melalui partai agar tidak ada intervensi dari partai pun akan kebingungan. Karena pembahasan masalah rakyat akan dibahas bersama dengan DPRD bersama kepala daerah.
Kerumitan akan dialami oleh kepala daerah yang melalui independen dalam bekerja sama dengan DPRD yang terdiri dari berbagai parpol. Kebijakan dan usulan yang diusulkan kepala daerah akan berat diterima oleh DPRD karena kepala daerah tidak mempunyai dukungan di legislatif. Kecuali jika kita mengikuti praktik lama yang dahulu diterapkan bahwa kepala daerah merangkap sebagai anggota DPRD sebagai bentuk agar kinerja kepala daerah lebih. Sistem sekarang adalah tidak boleh rangkap jabatan dan karena itu kelemahan dari kepala daerah yang menang melalui jalur independen akan semakin mendalam. Oleh sebab itu jalur independen dalam memilih calon yang bebas dari intervensi pihak lain adalah cukup terjamin, tetapi akan terhambat dalam membuat kebijakan bersama DPRD.
Mahar Pilkada baik dari Parpol, untuk kampanye akan menekan keuangan paslon kepala daerah. Untuk jalur independen saja memerlukan biaya yang cukup besar apalagi melalui parpol dengan dana yang cukup besar yang akan dikuras. Pilkada pilihan langsung oleh rakyat jika dibandingkan dengan pilkada lewat DPRD sebenarnya beda tipis. Persamaannya adalah KKN juga akan terjadi. Jika kekhawatiran kita money politicsakan terjadi antara kepala daerah dengan DPRD, bagaimana dengan pilkada langsung? Pilkada langsung akan menjadi double money politics. Hal ini karena akan ada dua tempat yang menjadi tempat money politicsterjadi.
Yang pertama di tubuh DPRD, dan yang kedua di masyarakat itu sendiri. Untuk hal ini masyarakat harus cerdas jika ingin memilih pemimpin yang sesuai dengan keinginan. Bahkan dengan diterapkan nya pilkada langsung akan marak terjadi korupsi. Karena pengembalian dana dari berbagai macam akan di penuhi. Dan juga ada cara lain seperti perjanjian dengan pihak lain yang akan ketentuan antara pihak yang berjanji untuk menutupi keuangan.
Karena pada dasarnya pilkada langsung adalah pemborosan dari berbagai segi. Keuangan pribadi akan terkuras untuk kampanye meskipun kadang dibantu pihak tertentu, keuangan APBN hingga APBD juga akan di kuras untuk menyelenggarakan pilkada. Bahkan rakyat pun harus merelakan keuangan yang ditanam dalam APBN dan APBD untuk menyelenggarakan pilkada yang menimbulkan konflik. Jadi sebenarnya tujuan pilkada itu untuk apa? Memilih calon kepala daerah untuk rakyat atau menjadi sumber korupsi untuk mengembalikan dana? Inilah perlu menjadi koreksi kita bahwa jika ingin menjadikan indonesia bebas korupsi atau menjadi pencetak korupsi yang banyak.
Dengan dalih demokrasi langsung adalah kedaulatan rakyat bukan menjadikan proses itu baik, malah sebaliknya keinginan yang baik hasilnya buruk. Kendatipun demikian yang perlu dirubah adalah pola fikir rakyat agar bisa melihat calon yang berintegritas untuk rakyat. Karena melalui parpol, kepala daerah tentunya akan mendahulukan kepentingan parpol baru rakyatnya. Dan untuk merubah hal itu menjadi lebih baik adalah dengan memilih perwakilan rakyat yang benar-benar menjunjung tinggi keinginan rakyat agar bisa berkontribusi untuk dengan kepala daerah.
Kita ingin demokrasi tapi melahirkan korupsi
Kita ingin pemimpin bersih tapi keuangan tersapu bersih
Kita ingin baik tapi demokrasi pencipta konflik
oleh: Hamdani
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H