Mohon tunggu...
hamdanyuafi
hamdanyuafi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Sehat itu mahal maka usahakanlah untuk selalu bergerak baik pikiran maupun fisik terutama olahraga apalagi futsalan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Candaan yang Berujung Polemik : Pelajaran Komunikasi Publik untuk Tokoh Agama

20 Desember 2024   17:17 Diperbarui: 20 Desember 2024   17:18 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam dunia komunikasi publik, setiap ucapan seorang tokoh agama memiliki makna yang lebih besar dari sekadar kata-kata. Ucapan yang keliru, terutama jika bernada menghina, dapat menimbulkan polemik dan melukai perasaan banyak orang (Oktavia, 2021). Kasus olok-olok terhadap penjual es teh oleh Gus Miftah menjadi salah satu contoh nyata yang menyoroti pentingnya sensitivitas dan etika dalam berbicara di ruang publik.

Peristiwa ini bermula ketika Gus Miftah menghadiri sebuah pengajian di sebuah lapangan. Saat acara berlangsung, seorang penjual es teh bernama Sunhaji berkeliling menawarkan dagangannya di antara para jemaah. Gus Miftah memanggil Sunhaji dan melontarkan kalimat yang bernada menghina. Ucapan tersebut memicu gelak tawa dari sebagian tamu dan jamaah yang hadir, sementara Sunhaji hanya bisa terdiam menerima ejekan tersebut.

Rekaman kejadian tersebut kemudian viral di media sosial, memicu kritik tajam dari warganet. Banyak yang menyayangkan tindakan Gus Miftah, mengingat posisinya sebagai pemuka agama dan Utusan Khusus Presiden. Dalam video yang tersebar, Gus Miftah terlihat mengatakan, “Es tehmu masih banyak tidak? Kalau masih, ya jual dulu *** (bagian selanjutnya disensor).” Ucapan ini diikuti dengan candaan lainnya yang menyebut, “Jual dulu, kalau nanti belum laku, ya sudah, itu takdir,” yang memancing tawa jemaah. Namun, bagi banyak orang, ucapan ini dianggap tidak pantas dalam forum kajian agama (Kompas , 2024).

Masalah Etika dalam Komunikasi Publik

Menggunakan kata-kata yang tidak pantas, apalagi yang menyakiti atau menyinggung seseorang, adalah tindakan yang tidak etis, terutama dalam ruang publik. Meski dalam kajian fikih mungkin terdapat perbedaan pandangan, etika berbicara selalu berkaitan dengan perasaan dan hati manusia. Jika suatu tindakan atau ucapan menimbulkan rasa tersinggung bagi banyak orang, maka hal itu menunjukkan adanya masalah dalam komunikasi.

Penggunaan kata-kata seperti “goblok” atau “tolol”, meskipun dimaksudkan sebagai candaan, tetap tidak pantas, terutama dalam forum kajian agama. Forum semacam ini seharusnya menjadi ruang yang mencerminkan nilai-nilai etis dan mengedepankan akhlak mulia. Perilaku seperti ini, meski terlihat sepele, dapat merusak kredibilitas dan kepercayaan jamaah terhadap tokoh agama.

Fenomena Sosial di Balik Kasus

Mengapa hal ini bisa terjadi? Gus Miftah dikenal sebagai tokoh agama yang sering membantu pedagang yang datang ke pengajiannya dengan membeli atau melariskan dagangan mereka. Hal ini kemudian membentuk persepsi di kalangan pedagang bahwa jika mereka berjualan di acara Gus Miftah, dagangan mereka pasti akan diborong. Namun, pola semacam ini juga dapat memunculkan sikap ketergantungan di kalangan pedagang, yang berharap bantuan tanpa berusaha lebih keras.

Dalam kasus ini, kehadiran Sunhaji yang berjualan di tengah-tengah jamaah dianggap mengganggu perhatian dari kajian. Ejekan yang dilontarkan Gus Miftah, seperti kata “guoblok”, tidak hanya merendahkan posisi Sunhaji, tetapi juga menegaskan dominasi dan kekuasaan Gus Miftah dalam forum tersebut. Hal ini menunjukkan bagaimana ejekan dapat digunakan sebagai alat untuk menegaskan otoritas dalam ruang publik.

Mengejek sebagai Bentuk Kekuasaan

Ejekan atau candaan yang menyakiti sering kali menjadi cara halus untuk menegaskan kekuasaan atau perbedaan status antara pengejek dan yang diejek. Dalam konteks ini, ejekan digunakan untuk mempermalukan kelompok yang dianggap lebih lemah atau terpinggirkan. Sejarah mencatat bagaimana ejekan digunakan oleh kelompok dominan untuk merendahkan kelompok yang lebih lemah (Rohmah, 2023).

Pada masa kolonial, Inggris mengejek budaya dan pendidikan India untuk menciptakan inferioritas. Homi K. Bhabha mengutip pernyataan Macaulay yang mengatakan, “Satu rak perpustakaan Eropa setara dengan seluruh literatur asli India.” Pernyataan ini bertujuan merendahkan nilai budaya India agar mereka merasa rendah diri. Di Amerika Serikat, ejekan juga digunakan untuk mempertahankan dominasi sosial kulit putih atas kulit hitam. Ketakutan akan persaingan membuat ejekan menjadi senjata untuk memperkuat diskriminasi secara halus (Ardiansyah, 2016).

Pelajaran untuk Tokoh Agama

Kasus Gus Miftah memberikan pelajaran penting tentang bagaimana seorang tokoh agama seharusnya menjaga ucapan di ruang publik. Sebagai pemuka agama, setiap kata yang diucapkan tidak hanya mencerminkan diri pribadi, tetapi juga membawa tanggung jawab moral dan etika. Candaan yang menyinggung atau merendahkan seseorang tidak hanya mencederai hati individu yang bersangkutan, tetapi juga dapat merusak citra agama yang diwakili.

Tokoh agama perlu mengingat bahwa forum kajian adalah ruang untuk membangun keimanan dan akhlak, bukan tempat untuk melontarkan candaan yang tidak pantas. Etika komunikasi yang baik adalah salah satu kunci untuk menjaga hubungan yang harmonis dengan jamaah sekaligus mempertahankan kepercayaan publik.

Kesimpulan

Peristiwa olok-olok terhadap penjual es teh ini menjadi pengingat pentingnya menjaga etika dalam komunikasi publik, terutama bagi tokoh agama. Ucapan yang tidak pantas dapat menimbulkan polemik dan merusak hubungan antara tokoh agama dan jamaahnya. Oleh karena itu, setiap tokoh publik perlu lebih berhati-hati dalam bertutur kata, mengingat dampaknya tidak hanya dirasakan oleh individu yang terlibat, tetapi juga oleh masyarakat secara keseluruhan.

Referensi : 

Media, K. C. (2024, December 7). Polemik Olok-olok Penjual Es Teh yang Berujung Mundurnya Miftah dari Jabatan Utusan Khusus Presiden Halaman all. KOMPAS.com. https://nasional.kompas.com/read/2024/12/07/08440561/polemik-olok-olok-penjual-es-teh-yang-berujung-mundurnya-miftah-dari-jabatan

Oktavia, P. (2021). ANALISIS POLA KOMUNIKASI PEMUKA AGAMA MELALUI SIMBOL VERBAL MENGGUNAKAN MEDIA. 5(2).

Penjajahan Inggris di India – Idsejarah. (n.d.). Retrieved December 20, 2024, from https://idsejarah.net/2016/02/prnjajahan-inggris-di-india.html

Rohmah, E. I. (2023). Pasal Penghinaan Presiden dalam Bingkai Negara Demokrasi. Al-Jinayah Jurnal Hukum Pidana Islam, 9(1), 28–56. https://doi.org/10.15642/aj.2023.9.1.28-56

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun