Dalam dunia komunikasi publik, setiap ucapan seorang tokoh agama memiliki makna yang lebih besar dari sekadar kata-kata. Ucapan yang keliru, terutama jika bernada menghina, dapat menimbulkan polemik dan melukai perasaan banyak orang (Oktavia, 2021). Kasus olok-olok terhadap penjual es teh oleh Gus Miftah menjadi salah satu contoh nyata yang menyoroti pentingnya sensitivitas dan etika dalam berbicara di ruang publik.
Peristiwa ini bermula ketika Gus Miftah menghadiri sebuah pengajian di sebuah lapangan. Saat acara berlangsung, seorang penjual es teh bernama Sunhaji berkeliling menawarkan dagangannya di antara para jemaah. Gus Miftah memanggil Sunhaji dan melontarkan kalimat yang bernada menghina. Ucapan tersebut memicu gelak tawa dari sebagian tamu dan jamaah yang hadir, sementara Sunhaji hanya bisa terdiam menerima ejekan tersebut.
Rekaman kejadian tersebut kemudian viral di media sosial, memicu kritik tajam dari warganet. Banyak yang menyayangkan tindakan Gus Miftah, mengingat posisinya sebagai pemuka agama dan Utusan Khusus Presiden. Dalam video yang tersebar, Gus Miftah terlihat mengatakan, “Es tehmu masih banyak tidak? Kalau masih, ya jual dulu *** (bagian selanjutnya disensor).” Ucapan ini diikuti dengan candaan lainnya yang menyebut, “Jual dulu, kalau nanti belum laku, ya sudah, itu takdir,” yang memancing tawa jemaah. Namun, bagi banyak orang, ucapan ini dianggap tidak pantas dalam forum kajian agama (Kompas , 2024).
Masalah Etika dalam Komunikasi Publik
Menggunakan kata-kata yang tidak pantas, apalagi yang menyakiti atau menyinggung seseorang, adalah tindakan yang tidak etis, terutama dalam ruang publik. Meski dalam kajian fikih mungkin terdapat perbedaan pandangan, etika berbicara selalu berkaitan dengan perasaan dan hati manusia. Jika suatu tindakan atau ucapan menimbulkan rasa tersinggung bagi banyak orang, maka hal itu menunjukkan adanya masalah dalam komunikasi.
Penggunaan kata-kata seperti “goblok” atau “tolol”, meskipun dimaksudkan sebagai candaan, tetap tidak pantas, terutama dalam forum kajian agama. Forum semacam ini seharusnya menjadi ruang yang mencerminkan nilai-nilai etis dan mengedepankan akhlak mulia. Perilaku seperti ini, meski terlihat sepele, dapat merusak kredibilitas dan kepercayaan jamaah terhadap tokoh agama.
Fenomena Sosial di Balik Kasus
Mengapa hal ini bisa terjadi? Gus Miftah dikenal sebagai tokoh agama yang sering membantu pedagang yang datang ke pengajiannya dengan membeli atau melariskan dagangan mereka. Hal ini kemudian membentuk persepsi di kalangan pedagang bahwa jika mereka berjualan di acara Gus Miftah, dagangan mereka pasti akan diborong. Namun, pola semacam ini juga dapat memunculkan sikap ketergantungan di kalangan pedagang, yang berharap bantuan tanpa berusaha lebih keras.
Dalam kasus ini, kehadiran Sunhaji yang berjualan di tengah-tengah jamaah dianggap mengganggu perhatian dari kajian. Ejekan yang dilontarkan Gus Miftah, seperti kata “guoblok”, tidak hanya merendahkan posisi Sunhaji, tetapi juga menegaskan dominasi dan kekuasaan Gus Miftah dalam forum tersebut. Hal ini menunjukkan bagaimana ejekan dapat digunakan sebagai alat untuk menegaskan otoritas dalam ruang publik.
Mengejek sebagai Bentuk Kekuasaan
Ejekan atau candaan yang menyakiti sering kali menjadi cara halus untuk menegaskan kekuasaan atau perbedaan status antara pengejek dan yang diejek. Dalam konteks ini, ejekan digunakan untuk mempermalukan kelompok yang dianggap lebih lemah atau terpinggirkan. Sejarah mencatat bagaimana ejekan digunakan oleh kelompok dominan untuk merendahkan kelompok yang lebih lemah (Rohmah, 2023).