Hari-hari masih berlarian. Namun mana manusia dan mana hewan sudah tak mampu dibedakan. Ada sesuatu yang larut dalam jiwa-jiwa. Seperti tanah humus yang disapu banjir, hilang tergerus arus. Gelombang datang menerjang berkecamuk dalam batin. Tangan-tangan bergemuruh, memecah amuk, jemari menyulut api dalam dunia algoritma. Membisu tapi menderu.
Bayang-bayang selepas subuh berpamitan pada mata yang jatuh di layar persegi panjang. Tidak sadar seiring jari-jari yang mengelus noktah-noktah cahaya. Kembali, pada pagi yang membisu. Pandangan dan perhatian terus berlarian mengejar dunia digital. Lesu membisu bersama hati membatu.
Mulut-mulut bungkam dijejali sulap yang menguras tangis. Meringis digilas anjing-anjing jalanan yang kerap menjilati sampah dan kotoran. Semua kompak membisu. Dalam putaran pagi yang pilu. Muka sendu dilabeli penipu. Wajah penipu digambar bak pahlawan. Gagah berani. Hanya berani berlindung pada tanah-tanah yang dijilati. Sampai lidah-lidah penuh nanah.
Pagi yang membisu pun tak mampu menjadi saksi. Menyaksikan saja sudah cukup membuatnya teriak, terisak, air mata banjir berlabuh di dermaga bisu. Bungkam dalam sayatan luka yang meronta meminta balas dendam. Kaku terpaku pasung rantai-rantai di berbagai arah mata angin.
Kesadaran digilas kata-kata runcing menohok. Tabiat kemanusiaan menguap melarikan diri dari tubuh yang kesetanan. Kepala-kepala jahil memecah dan merobek peta nusantara yang penuh cinta. Namun semua enggan berkata-kata. Bersama pagi yang terus membisu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H