Pupus sudah harapan mereka.
Melihat wajah-wajah lesu itu. Datok Aziz menghubungi seseorang dengan telepon genggamnya.
"Assalamu'alaikum, nak. Coba buatkan hujan di atas kota ayahmu ini ya. Supaya lenyap titik api dan hilang asap ini."
Beraneka persepsi merayap di pikiran ribuan hadirin di balai kota. Sampai sempat menyimpulkan, ilmu kepawang asapan itu telah diturunkan ke anaknya. Ada juga pikiran liar lain yang menyangka dia bukan pawang asap tapi pawang hujan.
Menyadari gelagat itu, Datok Aziz angkat bicara.
"Pawang asap ataupun pawang hujan sesungguhnya tidak ada. Mungkin kita terlalu larut dalam keyakinan salah. Contoh saja, Â saya kalian yakini mampu mengusir asap. Ini keyakinan salah. Dahulu saya juga salah. Karena yakin bisa mengusir asap dan mendatangkan hujan dengan kemampuan spiritual saya. Sekarang pensiun dari semua itu, berharap kalian juga sama. Pensiunkan diri kita dari semua keyakinan salah yang melekat di hati."
"Saya juga pensiun dari mengejar kemewahan. Banyak tanah di kota ini dikuasai orang-orang luar yang bermental mengejar kemewahan. Sudah jadi penguasa tapi tidak puas kalau tidak menguasai lahan. Diolah semurah-murah dengan sengaja dibakar. Bersembunyi dari hukum lalu menyalahkan orang lain. Doakan orang-orang ini segera pensiun dari keserakahannya."
"Yang tadi saya hubungi adalah anak saya. Dia bekerja di Badan Pengkajian Teknologi. Karena dia saya pensiun. Teknologi membuat saya berpikiran lebih manusiawi. Logis. Dengan teknologi kita berusaha. Dengan doa dan pensiun dari dosa, kita mempercepat hasil usaha." imbuh Datok Aziz.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H