Sebagaimana tertuang di dalam pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bahwa: "Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk  sebesar-besarnya kemakmuran rakyat". Ada tiga hal mendasar yang diatur di dalam pasal 33 ayat (3) yakni, potensi, kompetensi, dan tujuan.Â
Frasa "bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya" merupakan suatu bentuk potensi yang dimilki oleh Indonesia. Sementara frasa "dikuasai oleh negara" merupakan wewenang negara dalam hal menguasai SDA di Indonesia, dan yang terakhir adalah tujuannya yakni "dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat".Â
Namun pertanyaannya adalah apakah SDA yang kita miliki saat ini benar-benar digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat?
Zaman orde baru merupakan awal dari lahirnya Kontrak Karya I yang bisa dikatakan sebagai karpet merah bagi Freeport untuk mengeruk tambang emas di Papua.Â
Kemudian pada tahun 1991 barulah dikeluarkan Kontrak Karya II yang mewajibkan Freeport untuk divestasi saham sebesar 51 persen, dan membuka kesempatan bagi perusahaan tersebut untuk terus memperpanjang kontrak sampai 2021. Hal tersebut diteruskan melalui PP No. 20 Tahun 1994 yang mewajibkan PMA (Pemilik Modal Asing) untuk divestasi sebesar 5 persen, dan mereka juga diberikan izin untuk beroperasi dalam jangka waktu 30 tahun.
Walaupun sejak diterbitkannya UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba), dan jika dilihat bahwa pengaturan mengenai pengusahaan mineral dan batubara telah sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945, namun karena UU Minerba hanya mampu menjangkau perbuatan hukum pasca-terbitnya UU Minerba maka hal-hal terkait Kontrak Karya (KK) yang ada sebelum UU Minerba tersebut tidak dapat dijangkau. Hal ini mengingat adanya asas non-retroaktif, yaitu suatu asas yang melarang keberlakuan surut dari suatu undang-undang.
Menurut Lalu Muh. Hayyanul Haq, SH., LLM., Ph.D. ahli hukum bisnis Fakultas Hukum Universitas Mataram, Kontrak Karya PT. Freeport ini termasuk dalam longitudinal contract yakni (kontrak jangka panjang). Kontrak semacam ini merupakan tragedi common dan anticommon yang melanggar kebebasan berkontrak, kebebasan berkehendak dan exclusive right. Yakni ketika telah terjadi pelanggaran yang menyebabkan kerusakan maka kontrak seharusnya dievaluasi kembali.Â
Lebih jauh beliau menjelaskan bahwa konstitusi yang memuat terkait hak-hak tersebut sejatinya merupakan metanorm, konstitusi tersebut memuat kewajiban positif yang menjamin koherensi dari kewajiban pemerintah. Artinya pemerintah haruslah senantiasa berpedoman pada konstitusi.Â
Meminjam prinsip Universalitas ala Habermassian, Hayyan ul Haq kemudian menggambarkan format kontrak longitudinal seharusnya sebagai circular pattern dan bukan linier pattern, mulai dari pre-contract, contract hingga post-contract. Format kontrak ini kemudian mengakibatkan permasalahan di dalam kontrak karya PT. Freeport, implikasinya adalah bahwa kontrak yang sifatnya linear patern ketika terjadi suatu keadaan yang tidak sesuai dengan masa sekarang/kondisi yang berbeda dengan waktu di buatnya suatu perjanjian, tidak di mungkinkan adanya suatu perubahan terhadap klausula dari perjanjian tersebut.Â
Namun jika kita menggunakan model perjanjian circular pattern maka ketika dalam masa waktu berlakunya perjanjian terdapat suatu kondisi dimana diperlukannya adanya penyesuaian terhadap kondisi yang ada, maka dapat dimungkinkan perubahan terhadap klausula-klausula dari perjanjian.
Sehingga apabila model perjanjian yang dibuat berdasarkan model perjanjian circular pattern, berdasarkan teori clausula rebus sic stantibus, teori yang mengajarkan bahwa suatu kontrak dapat diubah ketika dalam perkembangannya terjadi kejadian-kejadian yang sangat berbeda dengan ketika dahulu kontrak dibuat (Munir Fuady, 2013:215).Â
Oleh karena itu, sebagai konsekuensi dari perjanjian tersebut, apakah pemerintah hanya bisa mengikuti isi dari perjanjian yang sudah dibuat oleh rezim di masa lalu, sebagaimana teori pacta sunt servanda (istilah lengkapnya: pacta convent quae neque contra leges neque dalo malo inita sunt omnimodo obeservanda sunt) yang pada intinya bahwa setiap kontrak yang dibuat bersifat mengikat, di mana mengikatnya kontrak tersebut setara dengan keterikatan kepada undang-undang (seperti ditegaskan dalam Pasal 1338 KUH Perdata Indonesia).
Walaupun pemerintah Indonesia pada tahun 2018 yang lalu telah melakukan akuisisi saham PT. Freeport sebesar 51 persen melalui PT. Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) yang harus dibayar dengan total sebesar US$ 3,85 miliar (sekitar Rp 55,44 triliun), dan perjanjian yang semula dalam bentuk Kontrak Karya berganti status menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Logika pemerintah dalam melakukan akuisisi ini setidaknya dapat dipertanyakan, hal ini jika mengingat masa kontrak antara Indonesia dengan PT. Freeport McMoran yang akan habis pada tahun 2021 dan Indonesia harus mengeluarkan uang sebesar itu.Â
Sehingga, untuk apa kemudian kita mengeluarkan uang untuk mengambil alih sesuatu yang sebenarnya adalah milik kita. Namun sikap yang diambil oleh pemerintah tersebut juga beralasan, bahwa walaupun kita menunggu masa kontrak selesai pada tahun 2021, Indonesia harus tetap mengeluarkan biaya untuk mengambil alih saham tersebut.Â
Hal ini tentu membingungkan, logikanya adalah ibarat kita mengkontrakkan rumah, dan katakanlah masa kontrak tersebut akan berakhir pada tahun 2022, dan ketika masa kontrak tersebut habis, lantas apakah rasional jika kita memberikan uang kepada orang yang mengontrak rumah kita? Hal ini tentu non sense (tidak masuk akal).
Menjadi sebuah pertanyaan, bahwa apakah pemerintah pada zaman orde baru secara sadar atau tidak dalam membuat kontrak tersebut, karena vigilantibus jus seriptum est, hukum ditulis hanya untuk orang-orang yang sadar. Sehingga setiap orang yang membuat kontrak harus dalam keadaan sadar dan waspada akan akibat hukum yang ditumbulkannya.
Guna menyelamatkan dan menjamin keberlanjutan sumber daya alam yang ada di Indonesia, maka pemerintah harus melakukan intervensi yang adil dan patut guna melindungi kepentingan publik dan hak-hak fundamental rakyat. Hal ini dapat dilakukan melalui pengkajian kembali doktrin kebebasan berkontrak.
Dalam Kontrak Karya PT. Freeport tersebut terdapat perbedaan pandangan antara PT. Freeport McMoran dan Pemerintah Indonesia yakni atas isi pasal 31 ayat (2) KK PT. Freeport. Â Freeport menginterpretasikan bahwa KK yang berakhir di 2021 masih berhak diperpanjang untuk 20 tahun lamanya, sampai 2041. Dan pemerintah, tidak akan menahan atau menunda persetujuan tersebut secara tidak wajar.Â
Artinya adalah bahwa masih ada ruang yakni dengan melihat frasa "Pemerintah tidak akan menahan atau menunda persetujuan tersebut secara tidak wajar", maka dalam hal ini harus ada alasan yang logis dari pemerintah Indonesia agar KK tersebut tidak diperpanjang. Misalnya, dengan melihat banyaknya kerugian yang disebabkan oleh PT. Freeport selama beroperasi, Â mulai dari kerusakan hutan lebih dari 86 ribu hektare (200 kilometer persegi) atau setara dengan luas Kota Jakarta (Radio Netherland, Seksi Indonesia, 14 Februari 2006; Tempo Interaktif, 6 Januari 2006).
Oleh karena itu, dalam menyikapi persoalan ini, maka pemerintah harus melakukan konstitusionalisasi atas setiap perizinan yang ada berkaitan dengan upaya untuk melindungi sumber daya alam di Indonesia agar benar-benar digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.Â
Jangan sampai catatan hitam atas perizinan pengelolaan sumber daya alam di Indonesia terus dilanggengkan oleh pemerintah dan menjadi ruang bagi pihak asing untuk menguras sumber daya alam yang di miliki oleh Indonesia. Karena jangan lupa, bahwa secara filosofi kehadiran suatu negara memiliki peran yang sangat signifikan dalam rangka memberikan perlindungan terhadap kedaulatan rakyat dan kedaulatan negara itu sendiri.Â
Terminologi kedaulatan rakyat tersebut merujuk pada suatu kekuasaan tertinggi yang berada pada rakyat sebab dalam pembentukan negara menurut Johne Locke rakyat berperan dalam membentuk suatu kesatuan Negara melalui Pactum Unionis dan Pactum Subjectionis.Â
Perjanjian antar negara dengan yang disebut pactum unionis dan pactum subjectionis tersebut kemudian melahirkan adanya penjagaan dan perlindungan maksimum terhadap kepentingan rakyat. Hal ini bertujuan agar tidak dirong-rongnya kepentingan rakyat oleh hadirnya kerjasama--kerjasama yang berpotensi mengancam kedaulatan rakyat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H