Menurut Reporter Tanpa Batas Negara, RSF, hampir setengah dari sekitar 400 jurnalis yang dipenjara di dunia ada di tiga negara, yaitu Cina, Mesir dan Arab Saudi. Menurut RSF, di Cina saja ada 120 pekerja media yang dipenjara. Kemudian lebih dari 40 persen diantara mereka adalah jurnalis warga (citizen journalist) yang mencoba menyebarkan informasi independen melalui jejaring sosial.Â
Sebagian besar yang ditahan tahun 2019 adalah berasal dari minoritas Muslim Uighur. Organisasi Reporter Tanpa Batas Negara, RSF mengatakan, tahun 2019 sampai 1 Desember setidaknya ada 49 jurnalis terbunuh di seluruh dunia karena pekerjaan mereka sejak awal tahun 2019, lebih dari setengahnya ada di lima negara yaitu, Suriah, Meksiko, Afghanistan, Pakistan, dan Somalia.Â
Hal tersebut kemudian membuat Michael Rediske, Juru Bicara RSF Jerman, mengungkapkan bahwa "ada perang atau tidak ada perang sama saja", hal ini mengingat bahwa sebuah negara tanpa perang seperti Meksiko saja, juga sama berbahayanya bagi wartawan dengan Suriah yang dilanda perang.Â
Bahkan pada tahun 2018 silam, sebanyak 15 jurnalis terbunuh di Afghanistan, hingga Organisasi Reporter Tanpa Batas Negara mengatakan bahwa Afganistan adalah negara paling mematikan di dunia bagi para jurnalis.
Keberadaan jurnalis disamping menjalankan profesinya sebagai wartawan, mereka juga memiliki status sebagai warga sipil, namun tentunya mereka akan kehilangan status mereka sebagai warga sipil jika mereka ikut serta secara langsung dalam perselisihan.Â
Berdasarkan pasal 79 protokol tambahan I Konvensi jenewa 1949, seorang wartawan yang sedang menjalankan profesinya di medan pertempuran harus dianggap sebagai orang sipil (civilian). Bersama-sama dengan individu-individu yang dinyatakan sebagai orang sipil lainnya, maka wartawan perang menjadi unsur dari penduduk sipil (the civilian population). Seperti yang disebutkan dalam pasal 50 ayat 2 protokol tambahan I.
Kondisi yang tidak menentu di beberapa negara, seperti Suriah dan beberapa negara konflik lainnya, bukan suatu hal yang tidak mungkin apabila mereka turut serta secara langsung dalam pertempuran, hal ini selain akan menghilangkan status mereka sebagai warga sipil namun juga akan membahayakan nyawa mereka.Â
Sehingga muncullah satu gagasan apakah para jurnalis yang turut serta secara langsung dalam pertempuran harus dipersenjatai untuk melindungi diri mereka atau tidak.Â
Hal ini tentunya harus di kaji lagi secara lebih mendalam. Namun sejauh ini penulis berpandangan bahwa harus ada regulasi yang secara tegas mengatur jenis partisipasi langsung yang dimaksudkan untuk mempertegas status mereka dan juga sebagai upaya dalam melindungi keberadaan mereka sebagai jurnalis. Â
Dalam hal penyebaran propaganda misalnya, bahwa sebagaimana diketahui tidak ada garis yang jelas untuk membedakan propaganda mana yang dapat dihitung sebagai partisipasi langsung dalam pertempuran dan yang tidak.Â
Jika kita melihat Konvensi Jenewa 1949 maupun Protokol 1977 terdapat istilah partisipasi aktif (active participation) dan partisipasi langsung (direct participation). Namun menurut beberapa pakar seperti Nicole Urban misalnya, menyatakan bahwa kata active dan direct adalah sinonim (Michael N. Schmitt, 2009:6.Â
Demikian pula Michael N. Schmitt, Charles Garraway dan Yoram Dinstein memiliki pendapat yang sama (Michael N. Schmitt, Charles H. Garraway & Yoram Dinstein, 2006:4). Persamaan makna antara aktif dan langsung kemudian dikuatkan dalam putusan ICTR dalam kasus Akayesu (Prosecutor v. Akayesu Case No. ICTR-96-4-T, Putusan 2 September 1998, alinea 629).Â
Maka untuk melakukan pembedaan terhadap propaganda yang merupakan partisipasi langsung atau bukan, kita harus melihat Pedoman Penafsiran yang diusulkan oleh ICRC yakni Interpretive Guidance on the Notion of Direct Participation in Hostilities under Internasional Humanitarian Law (Nils Melzer, 2009).Â
Menurut ICRC, konsep partisipasi langsung dalam permusuhan pada hakikatnya terkait dengan konflik bersenjata yang tindakan tersebut harus spesifik dan memenuhi unsur-unsurnya.Â
Adapun unsur-unsur yang dimaksud yakni harus memenuhi tiga kriteria secara kumulatif: Pertama, tindakan spesifik tersebut harus berpotensi menimbulkan dampak merugikan (threshold of harm) bagi operasi militer salah satu pihak yang bersengketa. Kedua, harus terdapat hubungan kausatif (sebab-akibat) yang bersifat langsung (direct causation) antara suatu tindakan spesifik dan bahaya yang mungkin timbul dari tindakan tersebut. Ketiga, adanya Belligerent Nexus.Â
Untuk memenuhi syarat belligerent nexus, sebuah tindakan harus secara khusus dirancang untuk secara langsung mengakibatkan ambang batas yang merugikan dalam rangka mendukung salah satu pihak yang bersengketa dengan merugikan pihak lain.
Disamping itu, mereka di satu sisi juga bisa di tuduh melakukan tindakan spionase dan membahayakan keamanan nasional, ketika informasi yang mereka kumpulkan bocor ke public.Â
Hal ini tentunya selain membahayakan keamanan nasional, juga akan membahayakan keselamatan para jurnalis, sebagaimana beberapa kasus pembunuhan jurnalis yang diduga maupun yang telah terbukti melakukan tindakan spionase.Â
Salah satu Resolusi Majelis Umum PBB yang bisa dijadikan pedoman yakni Resolusi Majelis Umum PBB Tentang Anti Spionase. Resolusi Majelis Umum PBB Tentang Anti Spionase sendiri adalah sebuah resolusi yang diajukan oleh Jerman dan Brazil sebagai bentuk respon berdasarkan publikasi dari Edward Snowden yang menyebutkan bahwa National Security Agency (NSA) telah melakukan kegiatan pengawasan dan penyadapan terhadap lebih dari 30 pemimpin negara sahabat.Â
Dengan adanya informasi tersebut, beberapa negara seperti Jerman, Brazil dan Prancis mengajukan protes keras terkait tindakan yang dilakukan oleh NSA ini. Sehingga besar harapan penulis bahwa di dalam Resolusi Umum PBB tentang Anti Spionase tersebut memuat adanya garis-garis yang jelas berkaitan mengenai tindakan spionase yang dilakukan oleh para jurnalis serta langkah penegakan hukum yang mengedepankan hak asasi manusia.
Oleh karena itu perlu adanya pendekatan atau solusi alternative yang dapat dimasukkan kedalam dokumen PBB atau dokumen internasional yang bertujuan untuk memberikan keamanan kepada para jurnalis baik ketika negara itu sedang berkonflik atau pasca terjadinya konflik.Â
Saat ini memang sudah ada keterlibatan dan peran serta organisasi-organisasi internasional seperti, International Red Cross Committee (ICRC) dan The World Press Freedom Committee (WPFC), namun keterlibatan mereka dalam memberikan perlindungan terhadap para jurnalis belumlah cukup.Â
Kemudian dari sisi status mereka yang juga sebagai warga sipil dalam perspektif hukum internasional untuk melindungi keberadaan mereka sebagai jurnalis di negara yang sedang berkonflik tentu tidaklah cukup, karena mereka mengemban misi yang berat yang dituntut harus berada digarda terdepan dalam pencarian berita ataupun kebenaran di lapangan.Â
Namun perlu adanya konvensi atau traktat yang secara khusus di dalamnya mengatur tentang pengamanan kepada para jurnalis saat peliputan bahkan hingga ketika mereka menjadi tawanan, Kemudian Pemerintah dari pihak yang bertikai mewajibkan kepada kombatan untuk melindungi Pers pada saat bertugas dan atau tidak dijadikan sebagai sasaran kekerasan, serta dibutuhkan peran serta organisasi internasional secara lebih proaktif dalam mengawasi dan melindungi para jurnalis tidak hanya saat terjadinya konflik tetapi juga pasca terjadinya konflik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H