Memahami diri sendiri adalah awal dari semua kebijaksanaan. - Aristoteles
Satu-satunya anugrah yang tidak didapatkan oleh makhluk lain selain manusia adalah kemampuannya dalam berpikir. Pikiran yang begitu kompleks menuntut manusia untuk terus berusaha memahami pikiran itu sendiri.Â
Rasa marah, benci, dendam, merasa selalu benar, takut akan sesuatu, kesemuanya itu berasal dari dalam diri manusia yang harus bisa dipahami. Ketika manusia sudah bisa memahami semua yang ada dalam dirinya, maka saat itulah manusia akan lepas dari perasaan-perasaan buruk yang menyelimutinya.
Memahami pikiran artinya memahami diri, salah satunya adalah soal persepsi kita. Dunia kita adalah persepsi kita. Dunia adalah dunia sebagaimana kita mempersepsikannya. Itulah argumen yang diajukan oleh George Berkeley lebih dari dua ratus tahun silam.Â
Sikap kita terhadap orang lain dan dunia sebagai keseluruhan sangat tergantung dari persepsi yang bercokol di kepala kita. Baik yang kita persepsikan maka baik pula cara kita menyikapi setiap persoalan yang kita hadapi.Â
Akan tetapi, persepsi yang ada di kepala kita seringkali tidak sesuai dengan kenyataan yang sesungguhnya. Persepsi yang salah inilah yang akhirnya melahirkan konik dan berbagai ketegangan dalam hidup manusia, baik pada tingkat pribadi maupun sosial.Â
Sehingga, orang yang merasa bahwa persepsinya merupakan kebenaran mutlak dan sesuai 100 persen dengan kenyataan, adalah orang yang hidup dalam delusi. Yaitu suatu ketidakmampuan dalam membedakan antara kenyataan dan ilusi.
Persepsi tidak jauh berbeda dengan konsep, namun ia bukanlah kenyataan. Ia adalah bentuk abstraksi yang dihasilkan oleh pikiran manusia. Ketika sebuah peristiwa kita bungkus dalam konsep, ketika itu pula, ia bukan lagi kenyataan.
Konsep memisahkan kita dari kenyataan, dan bahkan bisa mengurung kita ke dalam kesalah pahaman apabila hal tersebut tidak bisa kita bedakan. Berpikir konsep sebagai sebuah kenyataan adalah salah satu kesalahan terbesar.Â
Ini sama halnya seperti berpikir bahwa persepsi adalah realita. Kita menderita, ketika kita tercabut dari kenyataan, dan terkurung di dalam konsep. Ini sama seperti penderitaan yang kita alami, ketika kita hidup dalam persepsi. Pengaruhnya juga terasa di dalam hubungan dengan orang lain.Â
Ketika kita berpikir bahwa persepsi di dalam kepalanya kita adalah sebuah kebenaran, maka hal tersebut akan berpotensi menimbulkan perselisihan pendapat dengan orang lain, yang juga berpikir bahwa persepsinaya adalah kenyataan dan kebenaran.
Ketika anda sedang mencintai seseorang misalnya, kita cenderung untuk membangun sebuah persepsi, apakah ia juga mencintai kita atau tidak, dan ketika kita tidak bisa mengkonstruksikan bahwa persepsi di dalam pikiran tidak lebih hanya merupakan sebuah persepsi, maka kita akan merasakan kecewa, dan bahkan menderita ketika pada kenyataannya kita tahu bahwa seseorang tersebut tidak mencintai kita, sebagaimana apa yang kita rasakan. Memaksakan persepsi kita kepada orang lain sebagai sebuah kebenaran yang justru merupakan sebuah kesalahan.
Begitupun dengan persoalan-persoalan lainnya, ketika anda berdialog, berdebat, atau bertukar pikiran dengan seseorang, dan anda memaksakan persepsi anda kepada orang lain agar diterima sebagai sebuah kebenaran, justru akan menimbulkan permasalahan.Â
Namun berangkat dari argumen yang diajukan oleh George Berkeley di atas, persepsi pada dasarnya dapat membawa seseorang pada sesuatu yang sifatnya positif dan juga negatif. Dan hal tersebut hanya dapat dilalui melalui jalan pemahaman terhadap apa yang ada di dalam diri.Â
Memahami diri artinya menyadari segala hal yang ada di dalam diri, sehingga manusia dapat melewati setiap permasalahan di dalam hidup tanpa keputusasaan dan penderitaan.
Persepsi yang salah tersebut bisa berawal dari ketidaktahuan. Ketidaktahuan akan menjadi sesuatu hal yang positif apabila kita menyadarinya sebagai sebuah ketidaktahuan. Namun, ketidaktahuan akan menjadi sesuatu hal yang negatif apabila kita tidak pernah menyadarinya, dan justru merasa selalu tahu dan merasa selalu benar.
Di dalam salah satu karya dialognya, Plato, filsuf Yunani Kuno, menegaskan dengan jelas, bahwa ketidaktahuan (bisa juga dibaca sebagai kesalahpahaman) merupakan akar dari setiap permasalahan di atas bumi ini.
Filsuf eksistensialis Prancis, Albert Camus, juga menegaskan, bahwa kesalahpahaman mendorong seseorang bertindak salah, walaupun niat hatinya baik.Â
Buddhisme sejak 2500 tahun yang lalu juga sudah menegaskan, bahwa kesalahpahaman tentang seluruh kenyataan, termasuk tentang diri kita, adalah akar dari semua penderitaan hidup manusia.Â
Socrates, salah satu tokoh terpenting di dalam Filsafat Yunani Kuno, juga terkenal dengan ungkapannya "Orang yang paling bijak adalah orang yang sadar, bahwa dirinya tak tahu apa-apa". Kesalahpahaman ini pun lalu diungkapkan dengan berbagai cara.
Di dalam Buddhisme, ia disebut sebagai delusi. Di dalam filsafat, ia dikenal sebagai kesalahan berpikir.
Bagi Francis Bacon, filsuf modern, kesalahpahaman adalah Idol-idol yang menutupi mata kita dari kebenaran. Anthony de Mello menyebutnya sebagai programming atau pengkondisian yang begitu kuat mempengaruhi cara berpikir dan cara kita merasakan sesuatu.
Oleh karena itu, memahami diri pada intinya adalah proses untuk menyadari segala sesuatu yang ada di dalam diri manusia. Kesadaran yang saya ungkapkan inilah yang menurut Socrates sebagai "Gnotie Seauton", yakni suatu metode yang menunjukkan sebuah kepentingan kemanusiaan yang bersifat fundamental dalam hal memahami dan mengkonstruksikan pikiran, yang merupakan salah satu ciri khas dari keberadaan manusia.
Menurut Socrates, manusia dengan pikiran atau kesadarannya, seolah melangkah maju dari usaha untuk menyingkap misteri satu menuju misteri-misteri lain yang kian mekar, di dalam hidupnya. Atau dengan kata lain, manusia dengan pikiran atau kesadarannya, seolah bergerak dari satu ketidaktahuan menuju ketidaktahuan baru dalam hidupnya.Â
Kesadaran inilah yang akan membawa manusia dari ketidaktahuan menuju sebuah kebijaksanaan dalam hidup. Hidup tanpa memaksakan persepsi kita kepada orang lain, menyadari bahwa persepsi yang kita rasakan bukanlah suatu kebenaran yang bersifat mutlak, serta menghargai persepsi orang lain tanpa menjustifikasinya sebagai suatu kesalahan.Â
Karena pada dasarnya dengan menyadari ketidaktahuan dalam dirilah, manusia bisa merasa bahwa apa yang ia persepsikan belum tentu sebuah kebenaran.
Tidak bisa kita pungkiri, bahwa di tengah kompleksnya kehidupan saat ini, seringkali permasalahan yang kita hadapi justru timbul dari pikiran atau bahkan persepsi kita sendiri, kesalahpahaman, amarah, benci, dan lain sebagainya adalah buah dari pikiran yang tidak bisa dikonstruksikan di dalam sebuah kesadaran.Â
Oleh karena itu, kunci untuk mencegah hal tersebut adalah dengan memahami hakekat dan gerak pikiran manusia. Setiap bentuk konsep adalah hasil dari pikiran manusia. Dengan konsep itu, manusia lalu menanggapi berbagai keadaan di luar dirinya. Dalam hal ini, emosi dan perasaan juga merupakan hasil dari konsep yang berakar pada pikiran manusia.
Apa ciri dari pikiran manusia? Ada tiga ciri mendasar, yakni tidak nyata, sementara dan rapuh. Pikiran itu bukanlah kenyataan. Ia adalah tanggapan atas kenyataan. Pikiran dibangun di atas abstraksi konseptual atas kenyataan. Pikiran juga sementara. Ia datang, ia pergi, dan ia berubah.
Cuaca berubah, maka pikiran juga berubah. Ketika manusia lapar, maka pikirannya pun melemah. Begitupun sebaliknya, ketika perut kenyang, pikiran bekerja lebih maksimal. Ini  menegaskan ciri selanjutnya, bahwa pikiran itu rapuh.
 Apa yang kita pikirkan sama sekali belum tentu benar. Bahkan, keyakinan kita atas pikiran kita cenderung mengarahkan kita pada kesalahan dan penderitaan, baik penderitaan diri sendiri maupun orang lain. Pikiran kita begitu amat mudah berubah, dan ini jelas menandakan kerapuhan dari semua bentuk pikiran kita.
Sehingga, dengan berangkat dari uraian di atas, segala macam perasaan negatif yang ada dalam diri kita, amarah, benci, kesalahpahaman, penderitaan, dan lain sebagainya sesungguhnya bisa dilampaui ketika kita berakar kuat diri kenyataan.Â
Ketika persepsi dilihat tidak lebih dari sebuah persepsi, dan pikiran dilihat semata-mata adalah sebuah pikiran. Konsep datang dan pergi. Persepsi datang dan juga pergi. Lalu apa yang menetap? Eiiitttsss ayok, siapa yang lagi baca!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H