Mohon tunggu...
Fathul Hamdani
Fathul Hamdani Mohon Tunggu... Penulis - Pembelajar

Tak penting dimana kita terhenti, namun berikanlah penutup/akhir yang indah

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Mengenal Penerapan Konsep Non-conviction Bassed dalam Praktik Asset Recovery TPPU Berdasarkan Sistem Hukum di Indonesia

8 Juni 2020   09:37 Diperbarui: 8 Juni 2020   15:18 292
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh: Fathul Hamdani & Baiq Dias Ralfianty Oktasabgian

Kemajuan teknologi telah memberikan dampak yang signifikan dalam perkembangan kehidupan manusia di segala bidang, termasuk bidak ekonomi. Hal tersebut bisa kita lihat salah satu nya melalui terintegrasinya sistem keuangan, salah satunya dalam praktek sistem perbankan yang menawarkan konsep penyaaluran dana dengan mudah dan singkat. Sebagai contoh, kini kita bisa menyalurkan dana melalui internet banking dan electronic fund transfer yang telah membantu mempermudah nasabah perbankan mentransfer dananya dari rekening di satu bank ke bank lain di seluruh dunia. 

Berkaitan dengan perkembangan ini tentu saja tidak hanya dampak positif saja yang kita terima, dampak negatif pun kita rasakan dikakarenakan melalui sistem keuangan inilah para pelaku kejahatan akan mengupayakan suatu tindakan agar uang yang diperoleh dari kejahatan tersebut di atas masuk ke dalam sistem keuangan (financial system) atau ke dalam sistem perbankan (banking system) dengan mudahnya. Hal ini tentu saja bertujuan agar uang (harta) yang diperoleh dari hasil kejahatan tersebut diharapkan tidak dapat dilacak oleh penegak hukum.

Upaya untuk menyembunyikan uang/harta hasil kejahatan atau tindak pidana tentu saja menjadi suatu keharusan bagi para pelaku, sehingga kemudian muncul istilah pencucian uang (money laundry) untuk aktivitas tersebut. Hal ini mengharuskan adanya suatu pengaturan khusu mengenai kejahatan ini, di Indonesia pemberantasan pencucian uang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. 

Undang-Undang 8 Tahun 2010 tersebut menggantikan undang-undang sebelumnya yang mengatur pencucian uang yaitu, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Nomor 25 Tahun 2003. Perubahan yang terus menerus terjadi tidak serta merta menjadikan kasus Tindak Pidana Pencucian Uang kian surut, justru pada tahun 2018 mencapai angka 7,96 trilliun (https://economy.okezone.com/read/2019/02/26/20/2022893/ppatk-beberkan-tindak-pidana-pencucian-uang-sepanjang-2018). 

Masih tingginya angka kasus TPPU memunculkan gagasan untuk menerapkan suatu konsep hukum baru yang digaungkan oleh United Nations Convention Against Corruption atau Konvensi PBB semenjak tahun 2003 yakni suatu konsep hukum Perampasan aset tanpa pemidanaan (Non-conviction based asset forfeiture) yang selanjutnya disebut NCB yang merupakan mekanisme hukum di mana aset milik negara yang telah diambil oleh pelaku kejahatan dimungkinkan untuk dirampas kembali, dalam hal ini salah satu tujuan dari konsep tersebut adalah untuk mengembalikan kerugian negara (Asset Recovery) dari kasus Tindak Pidana Pencucian Uang tersebut.

Isu NBC bukan merupakan isu baru di Indonesia, sudah sejak lama Indonesia ingin menerapkan konsep hukum ini, dimana sejatinya konsep ini berawal dari negara dengan sistem hukum common law seperti Amerika. Namun di Indonesia sendiri Peraturan perundang-undangan yang mengatur TPPU belum memberikan dasar hukum yang kuat bagi penyitaaan dan perampasan aset hasil kejahatan. 

Selain itu terkait kesiapan khususnya di Indonesia sendiri untuk menjalankan praktek NCB dalam praktek Asset recovery dalam TPPU belum mumpuni, kekhawatiran akan terjadinya kerancuan dalam penegakan hukum terkait terlanggarnya hak-hak tersangka, dan aspek-aspek lain dalam hukum acara pidana menjadi persoalan yang bisa saja timbul kemudian hari.
Sementara keberadaan peraturan perundang-undangan di Indonesia yang mengatur TPPU belum memberikan dasar hukum yang kuat bagi penyitaaan dan perampasan aset hasil kejahatan. 

Di Indonesia, beberapa ketentuan pidana sudah mengatur mengenai kemungkinan untuk menyita dan merampas hasil dari suatu tindak pidana (Raida L. Tobing, Sh, Apu, 2009). Namun berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut, perampasan hanya dapat dilaksanakan setelah pelaku tindak pidana terbukti di pengadilan secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana. Hal ini secara jelas merupakan bagian dari penerapan asas pembuktian terbalik, yang jika NBC akan tetap dilakukan berdsarkan ketentuan dalam UU No. 8 tahun 2010 maka akan terjadi kerancuan mengenai masalah pembuktian tindak pidana asal dalam kaitannya dengan tindak pidana pencucian uang.

Tinjauan Berdasarkan Sistem Hukum Pidana di Indonesia

Dalam sistem hukum pidana yang dianut Indonesia saat ini, sebelum melakukan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan atas tindak pidana pencucian uang, maka terlebih dahulu harus dibuktikan tindak pidana asalnya. Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang menyatakan bahwa Untuk kepentingan pemeriksaan dalam sidang, terdakwa wajib membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana (Pasal.78 ayat 2 UU No 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang). 

Hal ini merupakan salah satu kekhususan tindak pidana pencucian uang dibandingkan dengan pengaturan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dimana terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian (Pasal 66), namun pembuktian terbalik untuk tindak pidana pencucian uang hanya dapat dilakukan oleh terdakwa pada tingkat pengadilan bukan pada tingkat penyidikan atau penuntutan (Raida L. Tobing, Sh, Apu, 2009).

Perampasan terhadap aset hasil kejahatan yang dilakukan tanpa perlu mengenakan pidana terhadap pelaku berimplikasi kepada konsentrasi penegak hukum yang lebih condong hanya kepada asetnya, bukan pelakunya. Padahal jika kita menelaah lebih jauh dalam sistem hukum acara pidana bahwa perampasan pidana yang sudah ada harus dikaitkan dengan kesalahan terdakwa. Artinya, harus ada pembuktian kesalahan terlebih dahulu baru aset yang dihasilkan dari tindak pidana dapat dirampas oleh negara.

Kemudian jika disitanya aset yang patut diduga berkaitan langsung dengan kasus pidana yang kemudian dapat dikuasai oleh negara seluruhnya untuk kepentingan asset recovery, lalu jika seperti itu, bagaimana ukuran dari sebuah keadilan dapat di pertahankan, karena saat belum ada vonis dari perkara pidana yang merupakan tindakan utama atau tindakan yang menyebabkan suatu kerugian negara tersebut belum dapat dipastikan tersangka tersebut memang melakukannya ataupun tidak. Hal tersebut tentunya tidak sesuai dengan asas pidana praduga tak bersalah dan  akan berdampak pada hilangnya kepastian hukum dan keadilan bagi si tersangka.

Bagaimana Tinjauan Berdasarkan Asas Praduga tak Bersalah?

Presumption Of Innocent atau yang dikenal dengan Asas Praduga Tak Bersalah, diatur dalam KUHAP dan Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Dalam KUHAP terdapat ketentuannya pada butir 3 bagian c yakni, "Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap". 

Asas Praduga Tak Bersalah secara tersirat juga terdapat didalam ketentuan Magna Carta 1215 yang dianggap sebagai cikal bakal lahirnya HAM dilingkup Internasional. Menurut Living Stone Hall, Pasal 39 dalam Magna Carta menentukan bahwa, "tidak seorangpun boleh dikurung dirampas miliknya, dikucilkan atau diambil nyawanya, kecuali melalui hukuman yang sah oleh hukum negaranya".

Penerapan Non-Conviction bassed dalam rangka asset recovery TPPU dalam perspektif Hak Asasi Manusia tidak menunjukkan adanya perlindungan terhadap hak milik pribadi (private property rights). Padahal private property right merupakan salah satu hak asasi yang di jamin oleh konstitusi.  Rumusan terhadap perlindungan atas hak milik pribadi (private property rights) dimuat secara eksplisit di dalam Konstitusi yakni pasal 28 G ayat (1) bahwa setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaanya.

Russel Brown mengartikan private rights sebagai hak yang lahir akibat adanya hak atas milik pribadi terhadap suatu sumber daya tertentu (Russel Brown: 2006, hlm.592). Kemudian sebagaimana pandangan John Locke dan Jan Jaques Rousseau yang dikutip oleh Max Boli Sabon dalam bukunya Hak Asasi Manusia (hal. 87) bahwa manusia sejak dalam kehidupan alamiah (status naturalis) telah mempunyai hak asasi, termasuk hak-hak yang dimiliki secara pribadi. 

Hak manusia meliputi hak hidup, hak kebebasan dan kemerdekaan, serta hak milik (hak memiliki sesuatu). Oleh karena itu hak atas perlindungan harta benda yang dibawah kekuasaannya merujuk pada hak milik yang tidak dapat diambil alih oleh siapapun secara sewenang-wenang, baik oleh negara sekalipun sebelum seseorang tersebut terbukti di pengadilan dan di putuskan oleh hakim bahwa harta benda yang di miliki tersebut didapatkan dari hasil tindak pidana.

Untuk dapat membuktikan apakah si tersangka tersebut bersalah atau tidak sehingga dapat diberikan hukuman yang sah, maka dalam penyelesaian suatu tindak pidana, yang harus di cari adalah kebenaran materilnya. Dalam menelusuri kebenaran materil, berlaku suatu asas bahwa keseluruhan proses yang menghantarkan kepada putusan hakim, harus secara langsung dihadapkan kepada hakim dan proses secara keseluruhan diikuti oleh terdakwa serta harus diusahakan dengan alat bukti yang sempurna. 

Mengutip pernyataan John Rawls (John Rawls, 2003:52).

"Thus it is maintained that where we find formal justice, the rule of law and the honoring of legitimate expectations, we are likely to find substantive justice as well."

"Maka dipertahankan bahwa dimana kita menemukan keadilan formil, peraturan berdasarkan hukum, dan penghormatan atas harapan-harapan hukum yang sah, kita cenderung menemukan keadilan substantive juga."

Hal tersebut berarti bahwa di dalam sistem peradilan pidana harus menekankan pada peradilan yang memberikan kesempatan kepada terdakwa untuk mengajukan dan menilai bukti-bukti beserta dengan argumentasi-argumentasi logis. Oleh karena itu saat seorang terdakwa masih menjalani persidangan pidana, penerapan non-conviction bassed dalam praktik asset recovery TPPU sebelum seorang tersangka dinyatakan bersalah telah mencederai nilai keadilan dan perlindungan terhadap hak asasi tersangka.

Hal tersebut juga selaras dengan suatu asas yang berbunyi "Geen straf zonder Schuld" yang berarti bahwa tiada pidana tanpa kesalahan, sehingga untuk dapat menjatuhkan pidana kepada seseorang, maka hakim wajib memiliki keyakinan bahwa terdakwa telah terbukti berbuat kesalahan. Dalam ketentuan hukum positif di Indonesia, perampasan aset hasil kejahatan masuk kedalam pidana tambahan, dan dalam ketentuannya bahwa pidana tambahan tidak dapat berdiri sendiri dan akan selalu mengikuti perkara pokoknya, artinya pidana tambahan hanya dapat dijatuhkan bersamaan dengan pidana pokok. 

Perampasan aset hasil kejahatan hanya dapat dilakukan apabila perkara pokok diperiksa dan terdakwa terbukti bersalah maka barang yang didapatkan dari hasil kejahatan oleh pengadilan dapat ditetapkan agar dirampas oleh negara untuk dimusnahkan dilakukan tindakan lain agar barang atau aset tersebut dapat digunakan untuk kepentingan negara dengan cara menghibahkannya atau melakukan lelang atas aset hasil tindak pidana.

Secara umum sering dikatakan bahwa fungsi dari suatu undang-undang acara pidana adalah untuk membatasi kekuassaan negara itu sendiri terhadap masyarakat yang terlibat dalam sistem peradilan pidana. Ketentuan dalam KUHAP dimaksudkan untuk melindungi tersangka dan terdakwa terhadap tindakan aparat hukum dan pengadilan yang menyeleweng dari ketentuan tersebut. 

Kemudian yang  perlu dipahami adalah bahwa hukum melalui aparat hukum tak jarang melakukan tindakan yang mencederai hak-hak tersangka dan terdakwa. Dengan lain kata, hukum acara pidana juga merupakan sumber kewenangan bagi mereka yang terlibat dalam proses ini (polisi, jaksa, hakim dan penasihat hukum).

Friedmen  memaknai KUHAP adalah yang paling adil karena telah diatur secara lex scripta, namun perlu disadari bahwa proses hukum yang adil tidak sekadar menerapkan peraturan perundang-undangan, namun lebih kepada sikap kita dalam menghargai hak-hak setiap individu (termasuk tersangka dan terdakwa) sebagaimana terkandung dalam UUD 1945 yang menyatakan bahwa "kemerdekaan adalah hak segala bangsa" (academia.edu).

Oleh karena it, berdasarkan hasil analisis diatas bahwa penerapan non-conviction bassed dalam praktik asset recovery TPPU haruslah dikaji secara lebih mendalam agar terciptanya kepastian hukum dan keadilan. Dalam upaya pencegahan TPPU, adanya penguatan kelembagaan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) juga menjadi hal yang penting, yang kemudian dapat melakukan penyelidikan terhadap setiap transaksi informasi keuangan yang terindikasi merupakan tindak pidana pencucian uang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun