Dalam sistem hukum pidana yang dianut Indonesia saat ini, sebelum melakukan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan atas tindak pidana pencucian uang, maka terlebih dahulu harus dibuktikan tindak pidana asalnya. Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang menyatakan bahwa Untuk kepentingan pemeriksaan dalam sidang, terdakwa wajib membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana (Pasal.78 ayat 2 UU No 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang).Â
Hal ini merupakan salah satu kekhususan tindak pidana pencucian uang dibandingkan dengan pengaturan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dimana terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian (Pasal 66), namun pembuktian terbalik untuk tindak pidana pencucian uang hanya dapat dilakukan oleh terdakwa pada tingkat pengadilan bukan pada tingkat penyidikan atau penuntutan (Raida L. Tobing, Sh, Apu, 2009).
Perampasan terhadap aset hasil kejahatan yang dilakukan tanpa perlu mengenakan pidana terhadap pelaku berimplikasi kepada konsentrasi penegak hukum yang lebih condong hanya kepada asetnya, bukan pelakunya. Padahal jika kita menelaah lebih jauh dalam sistem hukum acara pidana bahwa perampasan pidana yang sudah ada harus dikaitkan dengan kesalahan terdakwa. Artinya, harus ada pembuktian kesalahan terlebih dahulu baru aset yang dihasilkan dari tindak pidana dapat dirampas oleh negara.
Kemudian jika disitanya aset yang patut diduga berkaitan langsung dengan kasus pidana yang kemudian dapat dikuasai oleh negara seluruhnya untuk kepentingan asset recovery, lalu jika seperti itu, bagaimana ukuran dari sebuah keadilan dapat di pertahankan, karena saat belum ada vonis dari perkara pidana yang merupakan tindakan utama atau tindakan yang menyebabkan suatu kerugian negara tersebut belum dapat dipastikan tersangka tersebut memang melakukannya ataupun tidak. Hal tersebut tentunya tidak sesuai dengan asas pidana praduga tak bersalah dan  akan berdampak pada hilangnya kepastian hukum dan keadilan bagi si tersangka.
Bagaimana Tinjauan Berdasarkan Asas Praduga tak Bersalah?
Presumption Of Innocent atau yang dikenal dengan Asas Praduga Tak Bersalah, diatur dalam KUHAP dan Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Dalam KUHAP terdapat ketentuannya pada butir 3 bagian c yakni, "Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap".Â
Asas Praduga Tak Bersalah secara tersirat juga terdapat didalam ketentuan Magna Carta 1215 yang dianggap sebagai cikal bakal lahirnya HAM dilingkup Internasional. Menurut Living Stone Hall, Pasal 39 dalam Magna Carta menentukan bahwa, "tidak seorangpun boleh dikurung dirampas miliknya, dikucilkan atau diambil nyawanya, kecuali melalui hukuman yang sah oleh hukum negaranya".
Penerapan Non-Conviction bassed dalam rangka asset recovery TPPU dalam perspektif Hak Asasi Manusia tidak menunjukkan adanya perlindungan terhadap hak milik pribadi (private property rights). Padahal private property right merupakan salah satu hak asasi yang di jamin oleh konstitusi.  Rumusan terhadap perlindungan atas hak milik pribadi (private property rights) dimuat secara eksplisit di dalam Konstitusi yakni pasal 28 G ayat (1) bahwa setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaanya.
Russel Brown mengartikan private rights sebagai hak yang lahir akibat adanya hak atas milik pribadi terhadap suatu sumber daya tertentu (Russel Brown: 2006, hlm.592). Kemudian sebagaimana pandangan John Locke dan Jan Jaques Rousseau yang dikutip oleh Max Boli Sabon dalam bukunya Hak Asasi Manusia (hal. 87) bahwa manusia sejak dalam kehidupan alamiah (status naturalis) telah mempunyai hak asasi, termasuk hak-hak yang dimiliki secara pribadi.Â
Hak manusia meliputi hak hidup, hak kebebasan dan kemerdekaan, serta hak milik (hak memiliki sesuatu). Oleh karena itu hak atas perlindungan harta benda yang dibawah kekuasaannya merujuk pada hak milik yang tidak dapat diambil alih oleh siapapun secara sewenang-wenang, baik oleh negara sekalipun sebelum seseorang tersebut terbukti di pengadilan dan di putuskan oleh hakim bahwa harta benda yang di miliki tersebut didapatkan dari hasil tindak pidana.
Untuk dapat membuktikan apakah si tersangka tersebut bersalah atau tidak sehingga dapat diberikan hukuman yang sah, maka dalam penyelesaian suatu tindak pidana, yang harus di cari adalah kebenaran materilnya. Dalam menelusuri kebenaran materil, berlaku suatu asas bahwa keseluruhan proses yang menghantarkan kepada putusan hakim, harus secara langsung dihadapkan kepada hakim dan proses secara keseluruhan diikuti oleh terdakwa serta harus diusahakan dengan alat bukti yang sempurna.Â