Mohon tunggu...
Fathul Hamdani
Fathul Hamdani Mohon Tunggu... Penulis - Pembelajar

Tak penting dimana kita terhenti, namun berikanlah penutup/akhir yang indah

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Harga dari Sebuah Kesadaran

29 Maret 2020   13:25 Diperbarui: 30 Juni 2020   08:31 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Keraguan tak lain adalah penghianat,yang membuat kita kehilangan peluang untuk menang,berawal dari takut mencoba”.  - William Shakespeare, Measure for Measure

Sejarah bumi telah dimulai sejak empat miliar tahun yang lampau, dan kita cukup beruntung dapat hidup di masa sekarang. Di antara lima juta spesies yang ada dan diantara sekitar enam miliar orang di planet ini, kita cukup beruntung karena terlahir sebagai orang yang memiliki kesadaran. Untuk sejenak kita boleh berbangga, tapi mari kita kembali berfikir, dari kesadaran yang kita miliki, sudah sejauh mana manusia mampu untuk mengaktualisasikan kesadarannya. Manusia dalam sehari membutuhkan waktu rata-rata sekitar 7-8 jam untuk istirahat.

Sebuah kalkulator “My Life Asleep” yang dirancang oleh Hillarys Blinds, menghitung seberapa banyak waktu yang digunakan atau yang dihabiskan untuk tidur berdasarkan umur. Pada usia 31 tahun, rata-rata orang telah menghabiskan 12 tahun waktu untuk tidur atau setara dengan 627 minggu atau 105.362 jam dalam hidupnya.

Selain itu, sebuah studi pernah menyebutkan bahwa manusia seumur hidupnya menghabiskan sekitar 26 tahun untuk tidur. Adapun sebuah studi yang dilakukan oleh Pakar Kesehatan Kanada telah menghitung  bahwa manusia menghabiskan waktu 7 tahun dalam hidup mereka untuk berbaring di tempat tidur untuk menunggu dirinya tidur. 

Maka jika dihitung dengan usia rata-rata usia manusia saat ini adalah 60-70 tahun, maka berapa tahun sisa waktu kita untuk membuat kehidupan ini menjadi bermakna, dan satu point besar yang harus digaris bawahi adalah, usia kita belum tentu bisa mencapai usia rata-rata, bisa saja kita mati pada usia 40-50 tahun, pada usia 25-30 tahun, lantas berapa usia kita saat ini, atau bahkan bisa jadi kita mati esok hari. Namun karena itu kita harus jauh merenung, sebab seperti yang dikatakan Alexander Pope “segala yang musnah adalah kebutuhan bagi yang lain, itu sebabnya kita bergiliran lahir dan mati, seperti gelembung-gelembung di laut berasal, mereka muncul, kemudian pecah, dan kepada laut mereka kembali”.

Dari ungkapan itu, dengan kesadaran yang manusia miliki, kita bisa memilih untuk hidup kemudian menjadi berarti lalu mati, atau hidup dan tak berarti lalu mati. Belajar dari Socrates tentang pandangannya soal kehidupan bahwa dalam hidup, jiwa manusia bukanlah nafasnya semata-mata, tetapi asas hidup manusia dalam arti yang lebih mendalam.

Jiwa itu adalah intisari manusia, hakekat manusia sebagai pribadi yang bertanggung jawab yakni bagaimana manusia mempertanggungjawabkan kehidupannya. Artinya adalah, dalam satu contoh, ketika manusia memiliki kesadaran akan ketidaktahuan, maka bagaimana manusia bertanggung jawab akan ketidaktahuannya. Selalu merasa tidak tahu dan sadar akan kekurangan yang dimiliki adalah cara terbaik agar manusia terus belajar dan berada dalam proses pencarian.

Akal manusia pada dasarnya terbatas, itu dibuktikan dari adanya keraguan maka manusia kemudian mulai mempertanyakan segala sesuatu karena semuanya berawal dari sebuah ketiadaan. Rene Descartes pada abad ke-17 telah menggaungkan bagaimana akal adalah eksistensi dari keberadaan manusia. Karena akal (pemikiran) kita beranjak dari peradaban ke peradaban. Pikiran-pikiran besar yang lahir bahkan telah mempengaruhi setiap ruang kehidupan kita saat ini. Semuanya bergerak dalam waktu, menciptakan sejarah, membangun peradaban, dan memperbaharui peradaban. Seperti yang diungkapkan oleh Agustinus soal waktu, bahwa manusia lahir dari waktu, dan ketika manusia tidak bisa menggunakan akalnya, maka ia juga akan mati oleh waktu.

Dari ungkapan Agustinus kita belajar bahwa masa sekarang sekalipun akan menjadi masa lalu esok harinya, maka ketika masa sekarang adalah masa yang tanpa arti, manusia akan tenggelam dan mati bersama waktu. Oleh karena manusia adalah mahluk yang berakal maka ia dapat merubah siklus kehidupan, yakni dengan menambah arti dalam setiap masa yang dilewati. Hingga masa lalu akan berubah dengan mengubah masa kini, sebab masa kini akan menjadi masa lalu esok hari. Senada dengan ungkapan seorang penyair Alexander Pope bahwa “langit tak mengungkap nasib siapapun, kecuali di bagian yang bercerita soal masa kini”.

Kesadaran”  ia tidak hanya sekedar kata yang dirumuskan dari huruf K E S A D A R A N, namun khas dari manusia yang membedakannya dengan mahluk yang lain adalah bagaimana ia mampu mengejawantahkan segala sesuatu berdasarkan akal budi.

Layaknya bahasa dan kata yang dirumuskan dalam bentuk teks, dari adanya “akal” kita berusaha mencari tahu tentang makna, makna adalah hal yang diseberang teks yang tak tampak oleh indrawi manusia, ia mencoba menjelaskan dan memberi tahu sebuah dunia di seberang teks. Oleh karena itu, pada akhirnya dari “kesadaran” dengan memaknai esensi yang terdapat di dalamnya, baru dapat dikatakan kesadaran ketika bagaimana manusia mampu untuk mengaktualisasikannya. Maka sekarang bahwa dengan kita dapat berfikir menunjukkan bahwa manusia merupakan entitas yang memiliki kesadaran.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun