Mohon tunggu...
Hamdan Hafizh
Hamdan Hafizh Mohon Tunggu... -

Everyday is praying. Everyday is listening. Everyday is reading. Everyday is writing.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Kemal dan Sebuah Binokuler

26 Juli 2015   23:54 Diperbarui: 26 Juli 2015   23:54 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pagi-pagi sudah Kemal berangkat menuju kampus. Tumben ia pergi begitu cepat. Ibunya meraba-raba alasan anaknya yang hanya satu-satunya. Kemal Mansour kerap bertingkah aneh, tetangga-tetangganya selalu membicarakannya kala ia bergegas. "Anak aneh.. Zaman modernis kok pikiran konservatif. Nikmatnya pagi itu berleha-leha menikmati kopi sambil duduk di atas kursi malas.. Ia malah bergegas-gegas berkeringat. Aduh nian anak zaman sekarang! Apa pentingnya pergi ke kampus, toh ia cuma dapat ketidakpercayaan pengajar-pengajarnya..", celetuk lisan kerumunan ibu-ibu desa.

Kemal tinggal di desa yang amat konservatif. Bagi dia, celetukan pagi ibu-ibu sudah jadi sarapan sehari-hari. Layaknya kopi tersaji di atas meja beranda dan ia nikmati dengan amat khusyuk. Seruput-seruput berisi pelecut hidup seringkali mewarnainya pagi-pagi. Kopinya bukan berasal dari Robusta, Gayo ataupun kotoran Luwak. Kopi Celetuk Ibu-ibu Desa rasanya bisa saja lebih pahit apabila tak ia tambahkan secara seimbang gula-gula ketulian dan keyakinan. Ketulian Kemal bukan tak mendengar seperti para penguasa. Telinga Kemal mendengar santai kekicauan heboh ibu-ibu, yang mengalahkan seantero burung-burung. Tulinya Kemal hanya tak mau menanggapi, ia akan membuktikannya suatu waktu nanti. Apalah yang ia kerjakan tak perlu mendapat pengakuan di saat ini. "Sudah-sudah Kemal, ibu-ibu itu pasti akan mengetahuinya. Tenang-tenang..", nuraninya mencegah ia marah.

Kemal tak berkesudahan memikirkan tentang bagaimana desanya yang sudah mulai berubah drastis. Anak-anak di desa akan diganjari ibu jari kala sudah mendapat duit ratusan juta. Orangtua-orangtua tak memikirkan begitu jauh darimana duit itu berasal. Togel buntut, lotre, sabung ayam sudah jadi cara berpencaharian. Mereka mengakui dan berujar seolah percaya diri, "Kamu memang anakku! Segera cari duit lagi dengan cara apa saja!". Kemal tak mau menjuluki orang-orang desa sebagai kaum kebendaan yang orang moderen mengistilahkannya "materialistik". Kemal memang butuh duit. Duit yang Kemal harapkan berasal dari upaya berkeringat dengan mengikuti jalan kakeknya, Abah Amang. Abah Amang merupakan aktor dari sebuah cerita 16 tahun lampau. Abah Amang, kakek genealogis dari Kemal. Kemal adalah keturunan ketiga. Abah Amang memanglah tak berstudi tinggi. Ia hanya makan kursi Sekolah Rakyat. Studi tak tinggi, budi pekerti tak boleh lebih rendah dari telapak kaki. Kakek tua itu meski sudah uzur, prinsip tetaplah prinsip. Soal prinsip, Abah Amang pernah menempeleng orang yang mengajaknya togel buntut. 

"Abah, saya punya kabar baik. Desa kita akan dapat rejeki nomplok cuma-cuma..", tukas Karso.

"Memangnya ada apa, So? Desa kita sudah berejeki dari dulu. Wong Tuhan sudah beri kita hamparan laut dan sungai yang mengalir. Itu bukannya sudah cukup untuk kita berlaut dan memiliki tambak ikan?"

"Zaman tipe begitu sudah ketinggalan. Saat ini butuh yang singkat dan cepat! Tenang, Bah ini bukan babi ngepet.."

"Lantas kemudian apa?"

"Togel buntut! Kemarin saja Paijo dapat 5 juta karena menang buntut, Bah! Dia cerita dari kuburan Mbah Wasiyem, dia mendapat wangsit. 3 hari 3 malam dia tidur disana.. Mau ikut, Abah?" 

PLAK! Tangan kanan Abah Amang mendarat di pipi Karso. "Aduh, Bah. Ada apa, Bah?"

"Kamu itu berpikir dengan cara bagaimana, So? Togel buntut, togel buntut! Buntut, endhasmu!"

"Abah ini kenapa toh? Diajak kaya kok malah tidak mau.."

"Kampung Merah ini punya ceritera dari masa ke masa dan aku tidak mau mengotori ceritera orang-orang yang sudah membangun desa ini!"

"Ah, sudahlah. Abah Amang memang sesuai usia. Kolot! Pantaslah rumah dari dulu hingga sekarang masih sama saja. Padahal rumah-rumah desa ini sudah berbatu-bata. Sudahlah saya hendak ke kantor desa. Ini pertama kalinya desa kita mengubah sejarah itu, Bah. Saya harap Abah mengubah pikiran. Sekarang harga ikan sudah jatuh..". Karso pergi dengan sedikit tertawa kecil. Abah Amang menelan pahit pernyataan Karso yang paling akhir. Kenyataan yang Karso beri merupakan bagian dari kebenaran. Kendati, Abah Amang punya alasan-alasan prinsipil.

Begitulah Abah Amang, seorang kakek yang mewarisi keturunannya dengan prinsip teguh nan erat-kuat mengikat. Ia sering dibilang konservatif oleh orang-orang yang sebenarnyalah ultrakonservatif. Saat Karso sudah tak nampak lagi di ufuk mata Abah Amang, Kemal kecil yang tidur siang terbangun. Kemal menguap lugu dan mengusap kedua matanya lalu keluar menuju beranda. Kemal tak mendengar perbincangan Abah Amang dalam memperjuangkan prinsip. Abah Amang lalu mengajak Kemal kecil duduk di pangkuannya. Sambil mengelus rambut halus Kemal, ia berpesan. "Cucuku, kau adalah pewaris keturunanku. Tak perlulah terlalu banyak berharta tapi miskin ilmu. Ilmu lebih kaya daripada sekadar harta. Dari rumah ini, cucuku harus bercita-cita dan berimpian. Nak Kemal, ayahmu saat ini sedang mengadu nasib di Jakarta. Ibumu setiap hari berdagang masakan keliling. Kau perlulah mencontoh mereka dan kalau sempat waktu lampaui impian mereka. Kau wajib berimpian lebih tinggi dari siapa saja di rumah ini. Yakinlah bahwa masa depan itu memanglah gelap, jalan-jalannya berbelok-belok. Kalau berilmu terang-benderang menghiasi di pinggiran jalan meski hanya urup-urup, keterjebakan nasib bisa diubah dengan prinsip dan keyakinan haqqul yaqin terhadap Tuhanmu, Nak! Berharaplah pada Gusti Allah, selalu!", ujar Abah Amang panjang lebar. Kemal kecil nyaman betul berada di pangkuannya. Belum saja Abah Amang selesai perkataannya, ternyata Kemal kecil syahdu terlelap tidur sambil mengecap-kecap ibu jari. 

"Ini sudah waktunya cucuku mendapatkannya. Warisan berharga kepunyaanku untuknya.", Abah Amang tukas membatin. Kemal sejenak ia tinggalkan di beranda. Ia membiarkan Kemal kecil tengkurap merdeka disana. "Dimana barang berharga itu? Amboi, itu dia disana tergantung dekat meja kerjaku..". Kemudian Abah Amang bergegas ke beranda. Ia takzim memandang Kemal kecil yang kembali tampak nyenyak tidur. Ia mengalungkannya pada leher kecil Kemal. Selepas itu, ia mengembalikan kepala Kemal kecil di atas pangkuannya. Sambil memegangi dada, ia terlelap tidur hingga waktu tanpa batas.

Kemal mengingat prinsip-prinsip yang ditanamkan Abah Amang dalam benak pikirannya. Sembari ia menyelidiki pemberian kakek Kemal di akhir usianya. Ia berlari menghampiri pangkalan angkutan kota di pinggir jalan seiringan memegangi erat binokuler yang setia tergantung di lehernya semenjak usianya 5 tahun hingga 21 tahun. Ia sampai saat ini masih bertanya, "Apa maksud Abah memberiku sebuah binokuler ini?". Dalam batinnya yang bergejolak, suara klakson angkutan kota membuyarkan segala-gala. Ia terlupa lantas masuk dan duduk termangu di dalam angkutan kota yang membawanya menuju suatu tempat sumber ilmu.

*ditulis di Rumah Inspirasi Arcom | Sleman, 23 Mei 2015 | dalam keheningan malam Yogyakarta penuh impian dan cita-cita.

Jangan lupa kunjungi blog saya di hamdanhafizh.wordpress.com. Terima kasih :)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun