Mohon tunggu...
Hamdan Husen Siregar
Hamdan Husen Siregar Mohon Tunggu... Lainnya - Penulis Pemula

Pengembara yang selalu rindu pulang

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Resensi Novel: "Di Bawah Lindungan Ka'bah" Karya Buya Hamka

27 Desember 2021   16:46 Diperbarui: 27 Desember 2021   16:50 4328
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Identitas Buku

Judul Buku                  : DI BAWAH LINDUNGAN KA’BAH

Jenis Buku                   : Fiksi

Penulis                         : Buya Hamka

Penerbit                       : Gema Insani

Cetakan                       : Juli 2019 (Cetakan ketiga)

Jumlah Halaman          : 91 Halaman

Harga Buku                 : Rp. 44.000,-

DI BAWAH LINDUNGAN KA’BAH adalah sebuah novel  karya Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau yang lebih dikenal dengan panggilan Buya Hamka. Sastrawan sekaligus ulama kelahiran Nagari Sungai Batang, Kecamatan Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Sumatera Barat pada 17 Februari 1908 ini telah banyak menghasilkan karya tulis semasa hidupnya. Karya-karyanya berupa fiksi maupun non fiksi dari berbagai bidang atau disiplin ilmu. 

Salah satu karya fenomena Buya Hamka adalah novel DI BAWAH LINDUNGAN KA’BAH ini. Novel ini pertama kali diterbitkan pada tahun 1938 oleh Penerbit Balai Pustaka.

Sinopsis Novel

Novel ini berkisah tentang Hamid, seorang anak yang miskin dan yatim. Hamid sejak usia 4 tahun sudah ditinggal mati oleh ayahnya. Untuk membantu memenuhi kebutuhan sehari-hari dan meringankan beban ibunya, Hamid yang masih usia anak-anak pun berjualan pisang goreng dengan cara berkeliling menjajakan barang dagangannya dari satu pintu ke pintu yang lain.

Nasib Hamid mulai berubah ketika keluarga seorang saudagar kaya raya yang baru menempati rumah besar di dekat rumahnya membeli pisang gorengnya, suatu hari. Keluarga itu adalah Haji Ja’far dan istrinya yang bernama Mak Asiah beserta putri mereka yang bernama Zainab. 

Setelah bertanya satu dan lain hal, Mak Aisah pun menyuruh Hamid datang bersama ibunya untuk menemuinya di sore hari. Mulai saat itu Hamid pun akrab dengan keluarga itu dan leluasa untuk berkunjung ke rumah itu, bahkan Haji Ja’far bersedia menyekolahkan Hamid dan menanggung seluruh biaya sekolahnya sampai selesai.

Hamid dan Zainab pun di sekolahkan di tempat yang sama. Mereka sama-sama bersekolah dari sekolah rendah Hollands Inlandsche School (HIS) sampai tamat sekolah menengah Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO). Karena seringnya menghabiskan waktu bersama, maka timbullah benih-benih cinta di antara keduanya yang tak kunjung diungkapkan sampai mereka berpisah.

Setelah tamat dari MULO, kebersamaan Hamid dan Zainab pun berkurang karena Hamid akan melanjutkan pendidikannya menuntut ilmu di Padang Panjang sedangkan Zainab akan memasuki masa pingitan sebagaimana kebiasaan wanita saat itu yang akan memasuki usia menikah.

Setelah Haji Ja’far meninggal dan disusul oleh Ibu Hamid, Hamid pun semakin jarang berkunjung ke rumah Zainab. Pada suatu hari Mak Asiah meminta Hamid untuk membujuk Zainab agar mau menikah dengan laki-laki pilihan ibunya yang masih kemenakan Haji Ja’far. 

Tugas itupun dilaksanakan oleh Hamid, namun Zainab menolak dengan tegas  perjodohan tersebut. Hamid yang merasa cintanya tidak akan bersambut dengan Zainab karena adanya perbedaan latar belakang sosial memutuskan untuk mengembara meninggalkan Padang menuju Medan kemudian melanjutkan perjalanan ke Singapura, Bangkok, berlayar terus memasuki Tanah Hindustan menuju Irak dan hingga sampai di Mekah.

Di Mekah, Hamid fokus beribadah. Berusaha melupakan ingatan dan menghilangkan bayang-bayang Zainab. Hingga setelah satu tahun  di tanah suci Hamid pun kedatangan seorang jamaah haji yang bernama Saleh yang merupakan suami Rosna, sahabat karib Zainab. 

Saleh menceritakan tentang Zainab dan kenyataan bahwa Zainab tidak jadi menikah dengan laki-laki pilihan ibunya karena ia mencintai Hamid. Seketika itu pun kenangan atas Zainab pun muncul kembali dalam ingatan Hamid.

Mampukah takdir menyatukan cinta dua sejoli yang berbeda latar belakang ini? Jawabannya ada dalam Novel DI BAWAH LINDUNGAN KA’BAH.

Kelebihan Novel

Mengandung pesan-pesan moral yang mendalam. Meskipun novel ini tipis namun Buya Hamka berhasil meramu kisah cinta Hamid dan Zainab khas tempo dulu yang tehalang sekat-sekat sosial.

Kekurangan Novel

Terdapat beberapa kata yang sulit untuk dipahami.

Penutup

Novel ini sangat dianjurkan dibaca oleh generasi muda saat ini terutama bagi yang ingin mendalami hakikat cinta yan sebenarnya. Bagi yang ingin mengakrabkan diri dengan karya-karya Hamka juga sangat dianjurkan untuk memulai dengan membaca novel ini sebelum membaca karya-karyanya yang lain.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun