Meskipun suka membaca, tetapi saya tidak suka menulis di saat usia dini. Bagi saya ketika berstatus siswa Sekolah Dasar (SD), mengarang adalah aktivitas yang menjemukan dan memusingkan kepala.
Saya paling tidak suka dengan bagian uraian di ujian bahasa Indonesia saat itu karena di bagian uraian tersebut, peserta didik mendapat tugas mengarang.
Saya tidak ingat persisnya apakah ujian tersebut menentukan tema atau tidak. Yang jelas, selain membutuhkan waktu yang tidak sebentar, doeloe, guru mengajarkan kami untuk menulis kerangka karangan terlebih dahulu sebelum mengarang.
Inilah yang menjadi persoalan. Metode yang diajarkan kepada peserta didik hanya satu cara. Buat kerangka karangan, lalu mengarang. Dan terkesan mengarang hanya bisa dilakukan kalau kerangka karangan sudah terbentuk sebelumnya.
Sampai pada suatu saat, ada sekitar tiga buku yang menarik perhatian saya. Tiga buku dengan judul yang sama. Kakak laki-laki saya, sebut saja Djoni dan Budi, yang membelinya di Surabaya dan membawa buku-buku ini ke kampung halaman, Balikpapan.
"Apa istimewanya buku ini sehingga mereka membeli lebih dari satu?" pikir saya.
Yah, seperti yang Anda sudah lihat di gambar pada awal tulisan, buku tersebut berjudul "Mengarang itu Gampang" (Karena buku masih berada di rumah orang tua di Balikpapan, jadi terpaksa saya memotret cover-nya saat membaca buku tersebut di aplikasi iPusnas).Â
Pada awalnya, saya tidak terlalu peduli dengan buku karya Arswendo Atmowiloto tersebut, karena saya tidak merasa isi buku ini menjadi jawaban bagi ketidaksukaan saya akan menulis.
Kalau toh saya membaca buku ini, hal itu dikarenakan rasa keingintahuan mengapa kakak-kakak saya membeli tiga buku dengan judul yang sama dan dari penulis yang sama pula.
Skeptis di awal, namun setelah membaca, paradigma saya jadi berubah 180 derajat. Sistem tanya jawab, QnA, Question and Answer, sangatlah membuka cakrawala berpikir bahwa ternyata mengarang atau menulis tidak sesukar yang terlihat. Dan yang terutama, menulis adalah hal yang menarik dan sangat dibutuhkan dalam berbagai disiplin ilmu dan di lingkup kehidupan sehari-hari.Â
Tapi sayangnya, saya belum tergerak untuk giat menulis sampai lulus SMA. Mungkin karena beratnya kondisi ekonomi keluarga saat itu dan kesibukan saya dalam bersekolah. Saya mempunyai tugas-tugas sekolah yang menggunung menimbang saya berada di jurusan A1 (Fisika) di SMA.
Mengubah kebiasaan diri
Pada masa awal kuliah, saya menemui kesulitan dalam proses belajar di perguruan tinggi. Selain karena materi kuliah banyak yang berbahasa Inggris (sesuai dengan program studi yang saya pilih: prodi pendidikan bahasa Inggris), banyak juga tugas-tugas kuliah yang menanti. Menanti diselesaikan. Dan parahnya, tugas-tugas tersebut kebanyakan harus ditulis dalam bahasa Inggris.
Ibarat sudah jatuh, tertimpa tangga.
Sudah kurang suka nulis dalam bahasa Indonesia, ini malah harus menulis dalam bahasa Inggris.
Yah memang salah saya. Saya tidak terbiasa dengan kegiatan menulis.
Ketika itu saya sadar akan pentingnya menulis. Buku "Mengarang itu Gampang" kembali tebersit di benak saya. Sebenarnya menulis tidak sulit kalau sudah terbiasa.
Saya pun mulai menggiatkan diri dengan menulis dimana saja dan kapan saja. Buku kecil dan pulpen selalu ada, tersedia di saku kemeja atau kantung celana panjang saya.
Saya melatih diri menulis. Menulis dalam bahasa Inggris saat itu, sesuai dengan pilihan program studi. Saya menulis artikel berbahasa Indonesia juga sesekali ketika itu.
Saya tidak peduli apa kata orang tentang kebiasaan saya dalam menulis dimana saja dan kapan saja di buku kecil tersebut. Beberapa teman menjuluki saya dengan sebutan "wartawan" saat itu.
Apa pun kata orang, saya tetap menulis di buku kecil pada saat itu. Sayangnya, waktu itu, saya tidak terpikir untuk memindahkan hasil tulisan dari buku kecil ke media daring, seperti blog gratisan dan lain sebagainya, karena ketika itu kondisi internet belum begitu pesat perkembangannya. Buku-buku kecil itu hilang karena saya ada beberapa kali pindah rumah sehingga menyebabkan buah-buah pikiran tercecer atau tidak sengaja terbuang.
Yah, menyesali apa yang sudah terjadi tidak ada gunanya untuk dilakukan.
Sekarang, saya beralih menulis di binder dan juga di Google Docs lewat gawai, entah itu di laptop ataupun smartphone. Lebih banyak menulis di aplikasi Google Docs di smartphone karena lebih fleksibel, bisa dilakukan dimana saja dan kapan saja.
Enaknya, saya masih tetap dapat melanjutkan tulisan di gawai lain, entah itu laptop atau tablet asal tersinkronisasi dengan akun Google yang sama.
Dengan adanya teknologi yang sudah sangat maju saat ini, hobi menulis pun bisa jalan terus buat saya. Tidak terbatas menulis di atas kertas.
Saya membiasakan diri untuk menulis setiap hari. Saya membaca tentang produktivitas Arswendo dalam menulis lebih dari satu tulisan berbarengan, di saat yang bersamaan.
Dua kata untuk menggambarkan hal itu: Luar biasa.
Saya saja tidak bisa multitasking seperti itu. Bahkan untuk menulis satu artikel sekalipun, saya tidak bisa menulis sambil mendengarkan musik. Saya tipikal orang yang harus fokus dan konsentrasi penuh saat mengerjakan suatu aktivitas tertentu.
Arswendo bukan sekadar berkoar di bukunya tanpa bukti. "Mengarang itu Gampang" ternyata memang mengejawantah dalam kinerja Arswendo yang gahar abis. Terbukti dari banyaknya karya Arswendo, baik dalam bentuk novel, cerpen, dan lain sebagainya.
"Mengarang itu Gampang" tidak akan pernah basi. Tetap akan abadi selamanya, meskipun teknologi seakan menggerus kegiatan menulis.
Sayangnya, buku "Mengarang itu Gampang", yang keluarga saya beli, berada di rumah orang tua di Balikpapan. Saya ada niat membawa ke Samarinda, tapi sering terlupa karena terburu-buru.
Untungnya, sekarang ada aplikasi perpustakaan sehingga setiap warga bisa meminjam buku elektronik dan itu gratis!
Salah satu aplikasi perpustakaan adalah dari Perpustakaan Nasional. iPusnas adalah aplikasi perpustakaan andalan saya.
Awalnya, saya merasa kurang nyaman saat membaca di smartphone. Cahaya dari ponsel pintar menyilaukan. Meskipun menggunakan mode baca, tetap saja mata merasa pedih dan cepat lelah ketika membaca.
Namun karena haus akan buku-buku berkualitas, saya tidak punya pilihan lain selain membaca buku-buku di iPusnas (Semoga Perpustakaan Nasional meningkatkan faktor kenyamanan membaca buku digital lewat iPusnas di kemudian hari).
Dan salah satu buku yang saya baca untuk kesekian kalinya adalah "Mengarang itu Gampang". Baru kali ini, sepanjang hidup saya, sampai detik saya menulis artikel ini, buku nonfiksi inilah yang sudah saya baca lebih dari tiga kali. Kalau buku fiksi, membaca ulang lebih dari tiga kali bukan soal. Tidak aneh. Tapi ini buku nonfiksi. Merupakan sejarah pencapaian bagi saya.
Semakin banyak membaca buku ini semakin menguatkan keyakinan saya bahwa mengarang atau menulis adalah "kebutuhan" dalam hidup saya. Tiada hari tanpa menulis. Menulis apa saja. Menuangkan unek-unek, pengalaman, sampai persinggungan dengan orang-orang di sekitar.
Semakin banyak menulis, semakin banyak hal-hal baru terungkap di dalam hati yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya.
Hal-hal baru yang terungkap tersebut seperti misalnya saya tidak pernah berpikir kalau tulisan-tulisan saya yang, menurut saya, retjeh, ternyata bisa bermanfaat untuk orang lain. Minimal ada yang membaca dan memberi apresiasi saja sudah memberikan rasa syukur untuk saya.
Menang dalam kompetisi menulis? Yang ini malah sama sekali tidak pernah tebersit dalam otak saya.
Sejak kecil, saya merasa tidak punya kemampuan apa-apa. Meskipun saya bisa bermain gitar dan piano, namun keduanya terlihat biasa dan semenjana. Prestasi akademik? Tidak ada. Biasa-biasa saja. Malah saya bisa mengatakan kalau saya benci sekolah karena saat itu kondisi keuangan keluarga tidak sedang baik-baik saja dan kebanyakan guru di sekolah mengajar dengan metode yang menjemukan.
Menulis, meskipun awalnya saya membenci ketika saya berstatus pelajar Sekolah Dasar (SD), namun saya mendapatkan rasa nikmat dalam proses menulis ketika memasuki jenjang perguruan tinggi.
Harapan ke depan
Tentu saja, saya tetap berharap bisa terus menulis kapan pun dan di mana pun, Sejauh masih mampu. Selama jari jemari masih bisa "menari" di virtual keyboard smartphone atau keyboard di laptop. Selama otak masih bisa diajak menuangkan ide-ide; merangkai kata-kata; dan menyimpulkan buah pikiran dalam berbagai artikel secara utuh dan menyeluruh.
Harapan lain yang menjadi impian sejak usia dini adalah: artikel, cerpen, dan puisi saya bisa dimuat di Harian Kompas.
Impian ini tidak besar-besar amat. Saya tidak mencari keuntungan secara finansial dari pemuatan artikel, cerpen, dan puisi. Sekadar menantang diri saya sendiri.
Harapan terbesar dari saya adalah ada penerbit mayor yang berkeinginan untuk menerbitkan buku saya, entah itu fiksi (semisal novel, kumpulan cerpen, kumpulan puisi, dan lain-lain) maupun nonfiksi.
Meninggalkan legacy atau warisan kepada generasi berikut. Itu harapan yang terpatri dalam benak saya. Paling tidak, ada satu buku karya saya pribadi yang diterbitkan oleh penerbit mayor. Sebelum saya berpulang.
Saya selalu bersemangat kembali setelah membaca salah satu pernyataan Pramoedya Ananta Toer ketika saya berada dalam kondisi "malas menulis".
Meskipun saya tidak menuliskan kata-kata Pram diatas kertas karton dan menempelkan kertas karton di dinding kamar tidur saya, saya tetap mengingat esensi dari pernyataan Pram yang ikonik tersebut.
Izinkan saya mengutip pernyataan Pram tentang menulis.
"Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian."
- Pramoedya Ananta Toer
Pernyataan Pram yang legend ini semakin menguatkan keyakinan saya akan pentingnya menulis.
Meskipun kebanyakan kenalan, teman, dan anggota keluarga melihat kegiatan menulis sebagai aktivitas yang tidak menghasilkan apa-apa.
Walaupun saya tidak mendapatkan keuntungan secara materiel yang terbilang 'wah' dan memenuhi kebutuhan hidup dari kegiatan menulis.
Memang, kalau menimbang perkara cuan, menulis di saya masih jauh dari harapan, harapan mendapat uang berlimpah dari menulis.
Yah, kalau sudut pandangnya mendapatkan royalti dari penjualan buku, tentu saja itu adalah pemikiran yang sempit karena hanya membatasi menulis untuk mendapatkan hasil dari menjual buku.
Padahal, keterampilan menulis dibutuhkan dalam semua profesi, tanpa terkecuali.
Arswendo menjabarkan banyak profesi yang berkaitan langsung dengan keterampilan menulis. Lebih lagi, bagi saya, keterampilan menulis dibutuhkan oleh semua orang, kalau ingin hidupnya maju dan berhasil.
Saya membuktikan "tuah" keterampilan menulis, yang bukan saja memberikan rezeki di saat saya mengalami krisis keuangan di masa lampau, namun juga memperlancar cara saya berkomunikasi; dan, yang terpenting, "menyehatkan" mental saya. Di saat saya terpuruk, saya bisa menuangkan unek-unek di atas kertas atau lembar kerja di Google Docs.
Meskipun masalah tidak terpecahkan secara langsung, saya bisa melihat "setitik" solusi setelah menulis. Menulis mencerahkan pemikiran yang ruwet oleh masalah.
Terima kasih, Om Wendo
Akhir kata, penulisan panggilan "Arswendo" dalam artikel ini bukan berarti saya tidak menghormati beliau. Hanya untuk tujuan efisiensi dan efektivitas dalam penulisan artikel.
Pada dasarnya, saya sangat mengagumi Om Wendo dan ingin bisa terus menulis selama hayat masih dikandung badan.
Terima kasih, Om Wendo, karena sudah menulis buku "Mengarang itu Gampang" dan buku ini sudah mengubah paradigma saya tentang menulis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H