"Waktu aku di Samarinda tahun 1991, bapak itu udah jualan di Sutomo. Kayaknya sebelumnya sudah jualan. Entah mulai kapan," kata Julia selama kami dalam perjalanan ke penjual martabak tersebut.
Kalau saya kalkulasi, dari tahun 1991 sampai 2024 ini, maka bapak penjual tersebut sudah berprofesi sebagai penjual martabak dan terang bulan selama 33 tahun atau lebih dari itu!
Wow!
Saya takjub dengan kegigihan dan semangat bapak tersebut dalam berjualan. Di saat kebanyakan penjual makanan yang terpaksa memilih gulung tikar karena sepi pembeli, beliau masih berjaya dalam berjualan, meskipun usia sudah tak muda lagi.
Saya angkat jempol kepada penjual martabak dan terang bulan yang satu ini.Â
Demi menikmati martabak dan terang bulan idaman, satu jam penantian tidak menjadi masalah.
Kami sempat mengisi tangki bensin sepeda motor, karena kebetulan sepeda motor Julia memang memerlukan "asupan" bensin karena tangki sudah mulai kosong. Tapi tetap saja, kami datang terlalu cepat.
Tak apa. Saya tidak keberatan menunggu, karena bagi saya; melihat bapak, ibu, dan anak penjual martabak dan terang bulan ini sangatlah menarik. Bagaimana mereka meracik bahan, sampai mengolahnya menjadi makanan menjadi "hiburan" yang menarik. Menjadikan pembeli dan pelanggan betah meskipun menunggu lama, karena "mengolah" bahan menjadi kudapan yang sedap adalah seni tersendiri.
Bagi saya pribadi, itu adalah kemewahan yang tidak bisa dibandingkan dengan makan di restoran dimana kebanyakan pelanggan tidak bisa melihat koki beraksi karena dapur tidak "terbuka" bagi pengunjung.
Dengan adanya aksi keren dari pak penjual martabak dan terang bulan, terdapat edukasi di situ, bahwa ada proses yang harus ditempuh demi menghasilkan makanan yang enak dan bergizi.