Lalu kapan belajarnya?
Yah, sukar bagi mereka. Apalagi mereka mempunyai keluarga. Ada pasangan (istri atau suami) dan anak-anak yang harus mereka perhatikan juga.
Sayangnya, ada beberapa dosen yang tidak berempati pada kesulitan guru-guru tersebut. "Jangan jadikan usia tua dan kesibukan mengajar di sekolah sebagai alasan Anda tidak bisa menguasai mata kuliah," kata beberapa dosen tersebut dengan lugas.
Beberapa dosen di perguruan tinggi yang lain juga mengeluarkan pernyataan sindiran pada para guru SD yang berkuliah kembali demi meraih gelar Sarjana Pendidikan.
Saya tidak tahu mengapa beberapa dosen ini melakukan perbuatan dan perkataan seperti itu, namun ini semakin mempertegas stigma negatif yang melekat pada guru-guru dari kalangan perguruan tinggi
Sejauh mata memandang dan selebar telinga mendengar, saya jarang (atau malah tidak) menemukan fakta dan data tentang pemerintah yang melibatkan guru-guru dari tingkat pendidikan dasar dan menengah. Yang ada, pemerintah memercayai dosen, profesor, dan guru besar untuk merancang tata rencana dan tata kelola kurikulum.
Pemerintah jarang melibatkan guru-guru dalam perumusan kurikulum. Terbukti, dalam dua edisi kurikulum terakhir, kurikulum 2013 dan kurikulum merdeka, mayoritas guru seperti menjadi korban karena kedua kurikulum seperti tidak memahami seluk beluk pekerjaan guru.
Bagaimana kehidupan guru bukan disibukkan dengan kegiatan mengajar, tapi malah berkutat dengan administrasi persiapan mengajar yang menggunung dan evaluasi mengajar yang menumpuk.
Mungkin dosen, profesor, dan guru besar pintar, namun bukan berarti mengerti dalam segala hal, apalagi kalau mereka belum pernah mengajar di SD, SMP, SMA, atau SMK.
Contoh konkret, salah seorang dosen saya di perguruan tinggi dulu, U, ngotot dengan enam belas kali pertemuan dalam dua bulan pelaksanaan Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) mengajar bahasa Inggris di SD.
"Karena itu, semoga lancar PPL Anda semua," U menutup penjelasan tentang alur proses PPL, "Kalau ada yang mau bertanya, saya persilahkan."