Saya cuma warga biasa yang sudah di luar dunia pendidikan formal, namun dalam kondisi saat ini, mungkin "suara" saya bisa bermanfaat, meskipun sekadar menjadi setitik opini di tengah tumpukan opini para pakar pendidikan.
Sudut pandang dalam memandang segi "mewariskan kurikulum" terbagi dalam tiga sudut:
1. Menimbang kurikulum lepas dari politisasi
Saya bukan politisi, tapi menurut saya yang buta soal politik, kurikulum seperti "direkatkan" dengan politik.
Setiap ganti menteri pendidikan, kurikulum juga ikut berganti. Kurikulum 2013 dan Kurikulum Merdeka seperti menegaskan tentang lengsernya suatu rezim yang ingin meninggalkan legacy, warisan, sebelum rezim tersebut habis masa jabatan.
Melihat gelagat atau kecenderungan meninggalkan legacy, saya jadi teringat dengan salah seorang teman yang berprofesi sebagai guru SD beberapa tahun yang lalu.
D, seorang ibu guru yang pernah menyandang sebagai guru teladan di kota Samarinda mendapat promosi menjadi kepala sekolah di SD Negeri tertentu.
Kebetulan ada teman guru di SD Negeri tersebut. M menceritakan tentang "sepak terjang" D sebagai kepala sekolah, Salah satu sepak terjang yang mencolok adalah D menghendaki gedung sekolah yang baru di SD tersebut.
Apakah itu salah? Tentu saja tidak. Sah-sah saja.
Yang menjadi persoalan, keinginan mewariskan gedung baru seakan menjadi obsesi. Segala cara ditempuh untuk mendapat pembiayaan guna pembangunan gedung.Â
Sayangnya, impian mewariskan hanya tinggal impian. D hanya mewariskan gedung yang belum tuntas. Penerus D yang menyelesaikan.
Bisa dibilang, kurikulum 2013 dan kurikulum merdeka terkesan "dipaksakan" untuk penerapan skala nasional, padahal belum dievaluasi secara benar.