Â
"Boleh pinjam pulpennya, Pak?"
Seorang pemuda meminjam pulpen saya saat berada di sebuah tempat fotokopi beberapa tahun yang lalu.
Pulpen yang bertengger di saku kemeja memang terlihat kentara. Mengundang orang lain untuk meminjam.
Saya tidak mempunyai pilihan lain selain meminjamkan. Sembari menunggu pengembalian pulpen, saya melirik ke jaket sang peminjam pulpen. Jaket almamater sebuah perguruan tinggi ternama di Samarinda.
Alamak, masa mahasiswa tidak punya pulpen! Ibarat serdadu tidak bawa senjata.
Dalam pengalaman kehidupan saat smartphone belum ada sampai menjamurnya ponsel pintar, memang sedikit sekali orang yang membawa pulpen dan buku. Mungkin kalau diadakan survei tidak resmi kecil-kecilan, dari sepuluh orang, mungkin cuma satu atau dua orang yang membawa.
Di era kekinian, mungkin ada anggapan jadoel atau kuno kalau masih membawa pulpen dan buku. "Ribet bawa pulpen dan buku. Kan bisa nulis di HP. Lebih simpel," kata D, seorang teman sewaktu melihat saya masih setia membawa pulpen dan buku.
Yah, memang ini masalah preferensi. Mengenai memilih yang mana adalah hak bebas setiap orang.
Menyikapi para peminjam pulpen, ada dua langkah yang saya lakukan:
1.Meminjamkan pulpen "kedua"
Saya menyediakan pulpen "kedua" di dalam tas untuk situasi-situasi yang mengundang para peminjam pulpen.