Terus terang, sejak kecil, saya tidak pernah bercita-cita menjadi guru kalau sudah dewasa. Cita-cita saya dulu awalnya mau jadi pebulu tangkis seperti Rudy Hartono, Liem Swie King, Icuk Sugiarto, dan lain-lainnya.
Beranjak remaja, cita-cita berubah berkali-kali. Insinyur teknik mesin, insinyur teknik elektro, dan akuntan adalah salah tiga yang masuk dalam daftar.
Namun, saat ijazah SMA sudah di tangan, saya tidak bisa memilih cita-cita di dalam daftar. Selain bingung, ternyata saya juga tidak terlalu tahu secara mendalam tentang setiap cita-cita itu.
Saya juga tidak terlalu suka dengan jurusan IPA, meskipun saya ada di jurusan A1 (Fisika) di SMA, tapi saya tidak menikmati proses belajarnya.
Cuma satu mata pelajaran yang cukup lumayan mudah di mata saya. Bahasa Inggris. Terpaksa saya memilih Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) di sebuah Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di Samarinda.
Sebenarnya saya ingin memilih Sastra Inggris. Tapi karena yang tersedia adalah Prodi Pendidikan Bahasa Inggris di FKIP, yah terpaksa. Mau bagaimana lagi! Mau ikut Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN) dengan pilihan jurusan sastra Inggris di pulau Jawa, orangtua tidak mampu membiayai saya untuk berkuliah ke sana.
"Sudah, Ton, kamu di Samarinda aja," kata ibu saya saat itu.
Yah, apa boleh buat. Dan kebetulan saya juga diterima di PTN Samarinda tersebut.
Yah, menjadi guru karena "kecelakaan".
Berprofesi sebagai guru sampai sekarang, banyak yang saya peroleh dari proses mengarungi kehidupan ini.Â
Namun apabila dikaitkan dengan profesi guru, sosok berikut ini sangatlah meninggalkan jejak dalam benak saya. Karena beliaulah, saya menapaki jalan sebagai guru dengan nilai-nilai moral kebajikan yang saya dapat darinya.