Mohon tunggu...
Hamdali Anton
Hamdali Anton Mohon Tunggu... Guru - English Teacher

Saya adalah seorang guru bahasa Inggris biasa di kota Samarinda, Kalimantan Timur. || E-mail : hamdali.anton@gmail.com || WA: 082353613105 || Instagram Custom Case : https://www.instagram.com/salisagadget/ || YouTube: English Itu Fun

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Mencetak Generasi "Salin-Tempel"

11 November 2023   19:59 Diperbarui: 29 November 2023   13:25 865
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Getty Images/iStockphoto via KOMPAS.COM)

Terus terang, selama bertahun-tahun mengajar, ada banyak hal yang menarik. Suka dan duka bercampur mewarnai perjalanan sebagai guru, baik itu sewaktu mengajar di lembaga pendidikan formal seperti Sekolah Dasar (SD), kursus bahasa Inggris, maupun di les privat.

Salah satu hal yang menarik dalam satu-dua tahun ini adalah kebiasaan "salin-tempel", copy-paste langsung dari buku pelajaran, atau Amati-Tiru-Plek (ATP) dari berbagai sumber di internet tanpa memeriksa kebenarannya dari sumber-sumber lain.

Contohnya, D, murid les privat yang berstatus peserta didik kelas sembilan di salah satu SMP Swasta di Samarinda, yang melakukan hal tersebut.

"Bu gurunya nyuruh seperti itu. Langsung ambil aja dari internet," ujar D sewaktu saya menanyakan kenapa dia mengerjakan PR IPA seperti itu.

Begitu juga sewaktu mengerjakan PR Pendidikan Jasmani, Olahraga dan Kesehatan (PJOK), D membuat saya 'geleng-geleng kepala' ketika dia menuliskan jawaban-jawaban soal yang terkesan hanya "memindahkan" dari buku pelajaran ke buku tulis.

Dan ini bukan dari satu murid les saja.

Kebanyakan dari murid les saya melakukan "salin tempel". Plek persis sama. Tanpa perlu berpikir lagi.

Kenapa hal ini bisa terjadi?

Menurut saya, dan juga berdasarkan informasi para murid les, ada 3 (tiga) penyebab mengapa "salin-tempel" merebak.

Pertama, Guru tidak mau repot membuat soal di luar kategori "Sebutkan" dan "Jelaskan" dari buku paket yang jawabannya tinggal "salin-tempel".

Saya mengerti, dengan tanggung jawab luar biasa sebagai pendidik, sangatlah berat menjalani profesi sebagai ujung tombak pendidikan.

Kewajiban dalam mengemban tugas yang berat, namun penghargaan dalam bentuk materi (dibaca: uang) tidaklah sebanding dengan kerja keras yang dikeluarkan.

Namun begitu, tak sepantasnya kalau mengajar jadi 'asal-asalan'. Menjadi guru sudah sepatutnya dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Bukan hanya "sekadar menjalankan tugas".

Kedua, Guru Y menyuruh siswa menjiplak langsung dari internet untuk mengerjakan tugas.

Y, guru Bahasa Indonesia di salah satu SMP Negeri di Samarinda menyuruh murid-muridnya untuk mencari jawaban dari pertanyaan, langsung dari internet.

"Bu Y menyuruh kami seperti itu," jawab murid les saya, F, sewaktu saya menanyakan tentang PR-nya yang "tidak masuk akal" itu.

Saya melihat bahwa Y menyuruh peserta didik kelas sembilan SMP untuk mencari contoh kalimat langsung dan kalimat tidak langsung di internet.

"Ibunya cuma melihat sekilas kalimat-kalimat yang kami ambil dari internet," jawab F sewaktu saya menanyakan apakah tugas mereka dinilai atau tidak.

Sudah pasti tidak ada tindak lanjut, tidak ada penilaian, karena sudah jelas Y menganggap semua jawaban dari internet tersebut benar adanya!

Ketiga, Kemudahan mendapat informasi dari internet menyebabkan peserta didik cenderung menerima informasi-informasi tersebut sebagai kebenaran yang mutlak.

Kelangkaan buku di rumah kebanyakan peserta didik dan "pembiaran" penggunaan gawai dalam keluarga menjadi penyebab pendidikan di masa kini, khususnya di Indonesia, seperti jalan di tempat (ketimbang menyebut mengalami kemunduran).

Kebanyakan murid les saya langsung segera mencari jawaban pertanyaan yang tidak bisa mereka jawab dan gawai seperti ponsel yang terhubung ke internet akan menyediakan solusi bagi mereka.

Mereka tidak mencari informasi di buku pelajaran, yang mana, buku pelajaran yang mereka punya ternyata menyediakan jawaban-jawaban dari soal-soal tersebut.

Karena mereka ingin cepat menyelesaikan PR, apapun yang tersuguh di internet, mereka langsung menelannya bulat-bulat. Mereka malas mencari jawaban di buku pelajaran karena panjangnya pemaparan di buku, dan juga pada dasarnya, kebanyakan dari mereka memang tidak suka membaca buku.

Bagaimana pendidik menyikapi hal tersebut?

Tentu saja kalau berbicara tentang memberikan perlakuan khusus kepada anak di rumah, guru tidak bisa mengintervensi masing-masing peserta didik. Pendidik hanya bisa sebatas memberikan masukan kepada orangtua atau wali murid.

Oleh karena itu, cara bagaimana pendidik menyikapi kecenderungan "salin-tempel" yang menggejala secara masif di kalangan peserta didik di bawah ini kiranya bisa membantu, supaya pendidik tidak terlibat sebagai pencetak generasi "salin-tempel".

Dalam hal ini, 3 (tiga) langkah berikut perlu pendidik lakukan untuk mencegah terjadinya generasi "salin-tempel".

1. Pendidik perlu menegaskan pada peserta didik bahwa segala informasi di dunia maya tidak sepenuhnya benar

Kita tidak bisa menyangkal bahwa internet telah mengubah kehidupan umat manusia. Internet of Things (IoT) memperlihatkan betapa vitalnya peranan internet di dalam hidup setiap insan di muka bumi ini.

Kalau sebelum ada internet, informasi diperoleh dari media cetak (buku, suratkabar, majalah, dan lain-lain) dan media elektronik (radio dan televisi).

Sekarang, dengan adanya gawai, semisal laptop, tablet, dan ponsel pintar, semua orang dengan mudahnya dapat memperoleh informasi yang dibutuhkan. Dimana pun dan kapan pun.

Sayangnya, tidak semua Informasi tersebut benar dan tidak semua bisa dipertanggungjawabkan.

Oleh karena itu, pendidik perlu menegaskan pada peserta didik bahwa segala informasi di dunia maya tidak sepenuhnya benar, menimbang peserta didik sangat mudah terpengaruh karena mereka belum mencapai kedewasaan yang matang

2. Pendidik menekankan buku sebagai sumber referensi terbaik dalam mempelajari segala macam hal

Tidak bisa dipungkiri, meskipun mendapat gempuran bertubi-tubi, buku tetap berjaya dan masih menjadi jaminan sahnya informasi di dalamnya.

Tentu saja, tidak semua buku menjamin "kebenaran". Penerbit dan penulis juga menentukan ketepercayaan fakta dan data di dalam buku.

Meskipun banyak sumber informasi sekarang ini, bagi saya pribadi, buku, baik itu buku fisik maupun buku digital, tetaplah sumber referensi terbaik dalam mempelajari segala macam hal.

Bukan sekadar "salin-tempel" belaka, namun pendidik harus mengarahkan peserta didik untuk menelaah buku-buku tersebut dengan baik, menyaring dengan saksama, kemudian menentukan, menyimpulkan dengan mengkomposisikan ulang berdasarkan atas berbagai informasi di buku-buku tersebut.

3. Pendidik perlu menanamkan prinsip "pengetahuan mendalam kebermaknaan" kepada peserta didik

Kecenderungan "salin-tempel" karena mudahnya memperoleh informasi dari internet menyebabkan pola pikir "instan" dan tidak mau berproses panjang di kebanyakan murid les yang saya bina.

Pengetahuan hanya sebatas di "kulit luar" di benak mereka.

Kebanyakan guru-guru di sekolah masih menggunakan metode lama dalam mengajar. Satu arah. Metode ceramah. Guru menjelaskan, murid mendengarkan.

Apa pun kurikulumnya, sejauh mata memandang, tidak banyak merubah cara mengajar. Kalaupun berubah, kemungkinan tidak akan langgeng, karena berpikir tahun depan, 2024, Presiden berganti, otomatis Menteri Pendidikan berganti pula, dan pada akhirnya kurikulum juga turut berubah sesuai pihak yang berkuasa saat itu. Sudah menjadi 'tradisi', meskipun janji kurikulum tidak diganti, namun pada akhirnya diganti juga.

Ibarat hanya mengganti "sampulnya". 'Isi' kurikulum tetap sama; atau rombak total, tapi ujung-ujungnya salah dalam menerjemahkan dan keliru dalam penerapan. Sudah jadi 'kebiasaan'.

Akibatnya, kebanyakan peserta didik hanya mempunyai pengetahuan "dangkal" dan sekadar tahu tapi tak mengerti maknanya secara mendalam, dan juga tidak bisa menerapkan pengetahuan tersebut dalam kehidupan sehari-hari.

Oleh karena itu, pendidik perlu menanamkan prinsip "pengetahuan mendalam kebermaknaan" kepada peserta didik.

Bukan sekadar mengajar, mentransfer ilmu, namun lebih dari itu, mendidik peserta didik untuk mencintai ilmu pengetahuan secara mendalam dan bermakna dalam pembelajaran, dan pada akhirnya peserta didik dapat menerapkan ilmu tersebut dalam kehidupan nyata.

***

Generasi unggul tidak bisa diperoleh dalam semalam. Tidak semudah klik klik di ponsel pintar untuk mendapatkan apa yang dimau.

Butuh proses panjang untuk membentuk generasi penerus yang mumpuni, bijaksana, dan tangguh dalam menghadapi setiap masalah yang ada.

Yang jelas, "salin-tempel" bukanlah hal yang baik menimbang arahnya akan mengacu pada plagiator atau meniru pihak lain tanpa ada kebaruan.

Tulisan saya ini mungkin hanya 'setitik debu' dari berbagai kegelisahan para pendidik. Kiranya bisa memberikan masukan bahwa tidak cukup hanya berbekal perangkat elektronik canggih, namun pendidik juga harus menggunakannya dengan bijak, serta mengarahkan peserta didik untuk menggunakan gawai dan internet dengan benar sesuai dengan kebutuhan demi mencerdaskan kehidupan bangsa.

Oleh karena itu, "salin-tempel" bukanlah solusi, tapi bahaya yang mengintai.

Mencetak generasi "salin tempel", semoga ini tidak terjadi di negeri ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun