Mohon tunggu...
Hamdali Anton
Hamdali Anton Mohon Tunggu... Guru - English Teacher

Saya adalah seorang guru bahasa Inggris biasa di kota Samarinda, Kalimantan Timur. || E-mail : hamdali.anton@gmail.com || WA: 082353613105 || Instagram Custom Case : https://www.instagram.com/salisagadget/ || YouTube: English Itu Fun

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Sekolah "Dasar" yang Rapuh

13 Oktober 2022   10:15 Diperbarui: 14 Oktober 2022   03:45 1264
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Melihat kondisi pendidikan di Indonesia saat ini, saya hanya bisa mendesah. Kesalahan fatal selama bertahun-tahun sangatlah susah untuk diperbaiki hanya dalam hitungan lima sampai sepuluh tahun. Dan sudah bukan rahasia lagi kalau ganti menteri pendidikan, pasti dibarengi dengan ganti kurikulum beserta kebijakan-kebijakan yang entah memihak siapa.

Dalam hal ini, saya melihat dari sisi jenjang pendidikan, baik itu pendidikan dasar (Sekolah Dasar) dan menengah (SMP, SMA, dan SMK). Kejomplangan terlihat nyata.

Bisa kita lihat bersama, dari fisik bangunan saja, sudah terlihat perbedaan mencolok. 

Sementara bangunan sekolah SMP, SMA, dan SMK menjulang tinggi dan megah, gedung sekolah dasar terlihat minim polesan, alih-alih menyebutkan menyedihkan. 

Memang, sudah ada beberapa sekolah dasar yang berbenah mempercantik gedung dan atribut ruang kelas, serta dekorasi halaman. Berkat visi dan misi kepala sekolah. Namun itu hanya terjadi pada segelintir sekolah dasar.

Masih banyak sekolah dasar dengan kondisi fisik bangunan yang memprihatinkan.

Sudah lagu lama kalau berbicara tentang gedung sekolah jika kita membandingkan antara gedung SD dengan gedung SMP, SMA, dan SMK. Namun kali ini, kita akan melihat dari sisi-sisi yang lain, di mana seharusnya dasar pendidikan kokoh adanya. 

Sama halnya kalau kita membeli sebuah rumah. Tentu saja, kita akan memastikan dasar bangunan kokoh dan kuat kalau kita ingin tinggal di rumah itu dalam jangka waktu lama. Kalau dasarnya rapuh, rumah bisa ambruk dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.

Nah, ada 3 (tiga) hal yang menjadi pemikiran saya sehingga kebanyakan SD yang saya cermati selama ini merupakan sekolah "dasar" yang rapuh. Tentu saja, ini subjektif menurut pemandangan saya.

Apa saja tiga hal tersebut? 

1. Perpustakaan 

Terus terang, sewaktu berada di berbagai sekolah dasar, hal yang menjadi perhatian pertama saya (tentu saja setelah gedung sekolah dan ruang kelas) adalah perpustakaan. 

Bagi saya, dari sudut pandang saya pribadi, apabila ingin melihat pendidikan di sekolah maju, benahi perpustakaan demi meningkatkan minat baca peserta didik, yang tentu saja nantinya akan berimbas positif pada meningkatnya prestasi akademik dan wawasan mereka.

Fakta ternyata bertolak belakang dengan angan-angan.

Dari petualangan mengajar dari satu sekolah dasar ke sekolah dasar yang lain, saya melihat kenyataan yang menyedihkan.

Buku-buku tertata dengan susunan seadanya...

Kebanyakan dari koleksi adalah buku-buku pelajaran...

Ruangan sempit, panas, kotor,...

...

Terlalu banyak hal mengecewakan kalau berbicara tentang perpustakaan. Herannya, selama saya mengajar di SD-SD tersebut, perpustakaan tersebut seakan hanya menjadi "pelengkap" fasilitas sekolah saja. Sekadar jadi "persyaratan" kelengkapan sekolah supaya mendapat nilai akreditasi yang baik.

Parahnya, ditambah lagi dengan pustakawan yang adalah anak kepala sekolah atau anak guru di sekolah tersebut. Kalau saja mencintai dunia buku sih tidak menjadi masalah. Tapi yang menjadi persoalan adalah kebanyakan dari pustakawan adalah kerabat dekat 'orang dalam' yang tidak suka dengan literasi. Tidak suka membaca buku. 

Yanto (bukan nama sebenarnya) adalah anak kepala sekolah di salah satu Sekolah Dasar Negeri (SDN) di Samarinda, yang menjabat sebagai pustakawan, sayangnya, hanya bisa merokok dan main kartu bersama rekan sekerja, Joni (nama samaran), seorang guru olahraga, dan Hadi (sebut saja begitu), seorang penjaga sekolah. Merokok dan bermain kartu di saat jam kerja, di saat peserta didik melihat kelakuan mereka.

Bagaimana dengan buku-buku, meja, dan kondisi perpustakaan? 

Saya rasa Anda sudah bisa menebaknya.

Ada lagi Tina (nama samaran), anak ibu guru Sinta (bukan nama sebenarnya), menjadi pustakawan di SD tempat sang ibu bertugas. Tina baru lulus menjadi sarjana dan belum mendapat pekerjaan. Sang ibu berinisiatif memasukkan sang anak ke sekolah sebagai pustakawan.

Hasil?

Saya rasa Anda sudah bisa menebaknya juga. 

Buku rapi, tertata (meskipun tanpa klasifikasi), bersih, namun hanya sebatas itu. Perpustakaan tetap menjadi tempat yang sunyi.

Bukan masalah beda jurusan di perguruan tinggi atau anak siapa, tapi hendaknya kepala sekolah mempertimbangkan komitmen dari calon pustakawan sebelum menjabat, terlepas itu anaknya atau kerabatnya sekalipun.

Harapannya, dengan adanya komitmen yang kuat dan semangat untuk menggiatkan kesukaan literasi di sekolah dasar, maka akan tercipta kecintaan membaca buku di kalangan peserta didik. 

Dan alangkah lebih baiknya lagi jika kepala sekolah mengirimkan pustakawan untuk mengikuti pelatihan menjadi pustakawan yang baik, sehingga tidak sekadar menjadi "penunggu" perpustakaan saja.

Koleksi buku juga harus ditambah. Jangan seakan-akan cuma itu-itu saja buku-buku yang tersedia di perpustakaan. Tentu saja, disesuaikan dengan besarnya ruangan perpustakaan. Dan juga, jangan hanya buku pelajaran saja yang menjadi mayoritas di perpustakaan. 

Aneh kalau perpustakaan yang notabene untuk meningkatkan minat baca tapi hanya diisi, dimonopoli oleh buku-buku pelajaran.

2. Laboratorium

Ini juga menjadi keprihatinan. Secara pribadi, saya iri dengan SMP, SMA, dan SMK yang kebanyakan dari mereka mempunyai laboratorium-laboratorium yang menunjang proses belajar mengajar di sekolah.

SD? 

Sangat jauh dari kehadiran laboratorium.

Saya dulu pernah mengajar di salah satu sekolah dasar negeri yang cukup berprestasi di Samarinda. Keistimewaan dari SDN tersebut dibanding dengan beberapa SD dimana saya pernah mengajar adalah ketersediaan laboratorium IPA.

"Ini berkat Bu Firda yang lulus menjadi pemandu bidang studi IPA tingkat provinsi Kalimantan Timur. Kita mendapat banyak alat peraga IPA. Sudah selayaknya SD kita mempunyai laboratorium IPA untuk itu," puji Kepala Sekolah, Pak Danu (bukan nama sebenarnya).

Sayangnya, tidak ada guru-guru lain yang menggunakan laboratorium IPA tersebut. Hanya Bu Firda (nama samaran) yang menggunakannya.

"Takut rusak alat-alatnya, Pak Anton," kebanyakan dari mereka mengatakan seperti itu waktu saya menanyakan alasan kenapa mereka tidak menggunakan laboratorium IPA dalam proses belajar mengajar.

Saya menanyakan juga pada Bu Firda dan beliau mengutarakan masalahnya.

"Yah, susah, Pak Anton. Mereka sudah dapat pelatihan dari saya dulu. Antusias luar biasa. Sayangnya, setelah selesai pelatihan dan kembali ke sekolah masing-masing, mereka malah tidak mempraktikkannya...," keluh Bu Firda.

Mungkin itu juga yang menyebabkan di banyak sekolah dasar yang saya pernah kunjungi, mereka tidak mempunyai laboratorium IPA, karena takut menggunakan alat-alat peraga di dalamnya. 

Takut rusak sewaktu menggunakan atau karena sebab klasik lainnya, yaitu kekurangan ruang kelas untuk proses belajar mengajar, sehingga laboratorium IPA tersebut beralih fungsi menjadi ruang kelas.

Seandainya kesadaran akan pentingnya media audio visual dalam proses belajar mengajar ada dalam diri pendidik, sudah pasti keberadaan laboratorium IPA dan juga laboratorium-laboratorium untuk berbagai mata pelajaran lainnya adalah keharusan di sekolah dasar.

3. Kompetensi Guru

Terkadang, kita selalu mengagung-agungkan gedung sekolah yang mentereng beserta dengan fasilitas-fasilitas wah di dalamnya. Penampilan fisik bangunan membius kita, seakan meyakinkan kualitas pendidikan di sekolah tersebut.

Memang, kenyamanan sekolah, dalam hal ini gedung yang bagus dan nyaman sehingga menyenangkan dalam menjalankan proses belajar mengajar adalah suatu faktor penting, namun ada faktor-faktor lain juga yang menentukan kualitas pendidikan.

Kompetensi guru adalah faktor mutlak yang sangat menentukan keberhasilan pendidikan, sebagai partner dari para orangtua di sekolah. Gedung yang bagus, tapi kompetensi guru yang rendah, maka kualitas pendidikan menjadi memble.

Pendidik yang profesional tidak berhenti pada tataran sudah lulus sertifikasi dan telah mengikuti seabrek seminar. Guru yang luar biasa tidak merasa "cukup" dengan pengalaman yang sudah malang melintang dan centang perenang.

Sayangnya, kendali dari kualitas lulusan sertifikasi sepertinya telah usai sesudah mendapatkan lembar kertas kelulusan. Kembali ke sekolah masing-masing, kebanyakan guru yang menyandang status guru profesional malah kembali ke habitat cara mengajar sebelum lulus sertifikasi. Menggunakan metode ceramah yang membosankan dalam proses belajar mengajar dan menghabiskan materi di buku pelajaran.

Supervisi yang seharusnya rutin diadakan untuk mengevaluasi sejauh mana perkembangan cara mengajar guru bersertifikasi tadi dan perubahan yang tampak pasca mendapat tunjangan profesi guru hanya dilakukan tiga bulan atau lima bulan sekali pada mayoritas sekolah yang saya pantau sejauh ini. 

Itu pun dengan kondisi "formalitas". 

"Anda kan sudah bertahun-tahun mengajar. Sudah sangat berpengalaman...," ujar salah seorang pengawas sewaktu menyupervisi Rina (bukan nama sebenarnya), seorang rekan guru SD yang mengajar di kelas lima beberapa tahun yang lalu.

Yah, memang kelihatan bagus saat supervisi. Namun pertanyaan yang paling mendasar adalah apakah tetap bagus (mengajar) di luar supervisi?

Program tahunan, program semester, silabus, dan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) tersusun rapi dan menggunung, padahal itu cuma salin-tempel dari unduhan internet. Sedikit modifikasi, ganti nama dan tanggal. Beres.

Sepertinya, sertifikasi jadi terkesan mubazir kalau mentalitas guru sebatas plagiator.

Tentu saja, ada segelintir guru yang sesuai dengan kelayakan menyandang gelar guru profesional. Namun jumlahnya hanya segelintir...

* * *

Jadi, jangan mudah terpukau dengan gedung fisik sekolah yang megah dan menjulang tinggi, karena itu cuma bangunan belaka. "Bangunan" karakter dan pengetahuan peserta didik tidak bisa disamakan dengan itu dan tidak kasatmata. 

Mungkin tiga hal ini masih kurang, karena memang "dasar" dari sekolah dasar sangatlah pelik dan sudah seharusnya mendapat perhatian yang sangat serius dari pemerintah, melebihi pendidikan menengah. 

Bukan hanya sekadar menebar janji, tapi ujung-ujungnya tidak menepati. Karena pendidikan "dasar" adalah sejatinya koentji utama untuk membentuk bangunan kokoh masyarakat Indonesia seutuhnya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun