Sudah hampir setahun Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) dilaksanakan. Tentu saja, masih ada saja "kegagapan" yang terjadi selama proses belajar mengajar yang tidak lazim.
Selama bertahun-tahun, pembelajaran secara tatap muka menjadi andalan dan tiba-tiba covid-19 merenggut kenyamanan yang sudah terbentuk dalam diri.
Keluhan demi keluhan terlontar, khususnya dari kebanyakan murid dan terutama sekali mayoritas guru.
Akan menjadi panjang kali lebar kalau diceritakan apa saja keluhan-keluhan tersebut di tulisan ini.
Dalam hal ini, bukan itu yang menjadi pembahasan di sini.Â
Mungkin bisa dikatakan sebuah kejengkelan melihat dan mendengar apa yang terjadi minggu lalu.
Supervisi sudah direkayasa?
Dua minggu yang lalu, saya mendengar lagi kalau Bu Lidya (bukan nama sebenarnya), guru kelas Robert (nama samaran) harus menghadapi supervisi kembali.
Sebagai guru les dari Robert, siswa kelas enam di salah satu SD swasta di Samarinda, saya mendapati bahwa ini adalah kali kedua Bu Lidya mendapat supervisi. Yang pertama terjadi di tahun lalu, 2020, sekitar awal bulan Oktober kalau tidak salah.
Apa yang saya "dengar" di bulan Oktober 2020 dan Januari 2021 adalah sama saja.
Bu Lidya sudah merekayasa, mempersiapkan segala sesuatu sebelum dirinya disupervisi oleh kepala sekolah dan pengawas.
Dia sudah menyiapkan siapa-siapa saja murid-muridnya yang bertugas berdoa, baik doa pembuka maupun penutup.