Mohon tunggu...
Hamdali Anton
Hamdali Anton Mohon Tunggu... Guru - English Teacher

Saya adalah seorang guru bahasa Inggris biasa di kota Samarinda, Kalimantan Timur. || E-mail : hamdali.anton@gmail.com || WA: 082353613105 || Instagram Custom Case : https://www.instagram.com/salisagadget/ || YouTube: English Itu Fun

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Melihat Blunder Eiger dari Kacamata Seorang "Amateur YouTuber"

31 Januari 2021   13:03 Diperbarui: 31 Januari 2021   13:16 471
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Eiger viral di sosmed (Sumber: Instagram via KOMPAS.TV)

Sebagai seorang "amateur YouTuber" atau YouTuber amatir, hati saya kebat-kebit waktu membaca berita tentang blunder Eiger, salah satu produsen produk lokal yang sudah punya kredibilitas di Indonesia selama bertahun-tahun.

Kenapa kebat-kebit? 

Soalnya yang sekelas YouTuber semacam Dian Widiyanarko dengan subscribers sekitar 47.2K bisa mendapat surat keberatan dari suatu produsen produk lokal, apalagi saya yang hanya YouTuber ecek-ecek dengan berbagai kekurangan yang jelas terpampang nyata.

Dan sebenarnya, saya tidak ingin disebut sebagai YouTuber. Tujuan saya hanya ingin menyimpan video gitaran saya di YouTube supaya bisa menjadi kenang-kenangan di masa tua nanti untuk anak cucu, memperlihatkan pada mereka kalau saya dulu pernah "jaya" sebagai gitaris, meskipun cuma gitaris rumahan, dan hanya berani tampil di YouTube, bukan di panggung megah dengan lighting meriah.

Untuk merekam video gitaran, saya hanya menggunakan smartphone dengan merek tertentu (sengaja dirahasiakan). Kemudian, karena ada rezeki, saya menambah peralatan perekaman dengan audio recorder.

Melihat blunder Eiger, saya sebagai seorang "amateur YouTuber" seperti mendapat sedikit wawasan berkaitan dengan tiga poin keberatan dari pihak Eiger.

1. Mengenai kualitas video

Kalau Eiger melihat kekurangan nyata dari kualitas video review produk yang terlihat jauh sekali dengan segi fisik produk mereka, sehingga ketakutan akan berkurangnya minat warganet untuk membeli produk tersebut; kalau dalam hal kualitas video saya, karena saya bermain gitar, ketika di awal sekali saya mengunggah video gitaran, tentu saja kualitas video sangat jauh dari kata "wow" (sampai sekarang masih juga kurang, tapi lebih mendingan daripada di awal. Itu menurut pendapat saya. Entah bagaimana pendapat Anda).

Waktu itu, saya hanya iseng merekam video gitaran di rumah murid les. Karena menunggu beberapa murid les yang belum datang, saya merekam permainan gitar saya di smartphone. Saya memainkan gitar Yamaha CX40, gitar andalan yang selalu menemani saya saat mengajar bahasa Inggris di SD dan saat les privat.

Bagaimana dengan hasil videonya? Silakan tonton video di bawah ini.

Saya unggah video tersebut pada tanggal 5 Februari 2018. Tiga tahun yang lalu. 

Kalau menilik dari segi kualitas video, tentu saja sangat jauh dari kata bagus, karena saya hanya mengandalkan smartphone untuk merekam. 

Kalau Eiger menyoalkan kualitas video mempengaruhi kualitas tampilan fisik produk, bisa saja produsen alat musik Yamaha menyoalkan kualitas suara gitar yang tidak terlalu jelas dalam video. Di video pertama tidak terlihat logo Yamaha, karena kepala gitar tidak terekspos. Di video-video berikutnya, kepala gitar dengan logo tiga garpu tala terlihat nyata seperti di video di bawah ini.

Apakah ada surat keberatan yang dilayangkan pihak Yamaha kepada saya?

Puji Tuhan, tidak ada sampai saat ini, dan pastinya, saya yakin, pihak Yamaha malahan senang, karena saya menggunakan gitar produksi mereka, pihak Yamaha mendapatkan review gratis dalam bentuk permainan gitar secara langsung dari saya. Bukan melalui kata-kata, saya menunjukkan lewat permainan gitar, bahwa dengan gitar Yamaha, saya memainkan berbagai lagu tanpa kendala.

Dan memang, di YouTube, ada beberapa gitaris yang juga bernasib sama seperti saya. Hanya bermodal gitar dan smartphone, lalu hajar bleh. Merekam video gitaran dengan alat yang ada. Kalau nunggu peralatan lengkap, ya gak bakalan berkarya. Tertunda terus.

2. Perihal suara di luar video utama

Kalau Yamaha juga mengambil langkah yang sama seperti Eiger, tiga tahun yang lalu pasti saya juga kena teguran.

Merekam hanya dengan smartphone tentu saja tidak bisa meredam atau mereduksi suara-suara di sekitar yang berseliweran. Noise akan ikut terekam dan tentu saja tidaklah mudah mengedit suara noise yang sudah terekam di smartphone dengan menggunakan smartphone saja. Harus ada alat bantu lain seperti laptop atau PC.

Sumber dana yang terbatas menyebabkan seorang "amateur YouTuber" seperti saya sulit untuk membeli peralatan rekaman yang mumpuni demi kepentingan kualitas audio yang cetar membahana.

Suara kucing yang lewat, derung sepeda motor yang melintas, kicau burung di cakrawala, sampai bunyi ketukan sendok-mangkuk tukang bubur ayam keliling akan ikut terekam. Itulah risikonya. Untungnya, seiring waktu berjalan, Tuhan memberikan rezeki, sehingga saya bisa membeli suatu alat perekam audio, Sony Voice Recorder yang mempunyai fitur noise cut, sehingga suara-suara yang mengganggu di sekitar tidak ikut terekam.

Lalu selebihnya, saya menggabungkan video di smartphone dengan audio dari voice recorder tadi dengan menggunakan beberapa aplikasi di smartphone.

Hasilnya? Seperti yang Anda dengar di bawah ini.

Mungkin ini juga berkat doa dari Yamaha supaya Tuhan memberikan rezeki lebih kepada saya agar bisa memperlengkapi peralatan perekaman. Seandainya Yamaha mengambil jalan mengirim surat keberatan seperti yang Eiger lakukan, mungkin saya sudah berhenti bermain gitar di 2018 atau saya mencari gitar lain sebagai gitar andalan.

3. Tentang setting lokasi

Seandainya Yamaha mengambil langkah yang sama seperti Eiger, saya pasti sudah kena jaring perihal lokasi pengambilan video.

Seperti yang mungkin pernah saya utarakan di tulisan-tulisan sebelumnya, saya merekam di lokasi-lokasi yang berbeda. Sporadis. Bisa di rumah murid les. Bisa di ruang tamu. Bisa juga di gudang.

Apa? Gudang?

Ya, Anda tidak salah baca. 

Kebanyakan saya memilih gudang sebagai "studio musik" karena berada di lantai dua di rumah kontrakan dulu dan suara anak-anak tetangga plus sepeda motor beserta suara meong dan sebagainya tidak terdengar. Selain itu, saya juga bisa lebih fokus bermain dan tidak merasa bersalah, karena dalam hati, saya merasa permainan gitar saya masih sangat, sangat jauh dari kata oke, dan mungkin ada pihak-pihak lain, seperti tetangga, yang merasa terganggu dengan permainan gitar saya yang amburadul.

Puji Tuhan, tidak ada surat keberatan dari Yamaha dengan pilihan setting lokasi video gitaran saya sampai saat ini. Dan juga tidak ada komentar miring dari para warganet. 

Saran untuk Eiger dan para produsen brand lokal lainnya

Mohon maaf kalau terkesan menggurui, tapi tak ada salahnya kalau saya, selaku salah satu warganet yang 'terjerumus' menjadi "amateur YouTuber" tanpa sengaja, memberikan sedikit saran untuk Eiger dan para produsen brand lokal Indonesia lainnya.

Ada tiga saran dalam hal ini.

1. Anda harus lebih berhati-hati sebelum melayangkan surat keberatan

Melihat konten review lebih penting dari sekadar penampilan luar. Seperti ada kalimat bijak yang berbunyi "Don't judge a book by its cover", itu menunjukkan bahwa tidak cukup hanya bermodalkan penampilan luar, tapi juga harus melihat isinya.

Kalau konten di video YouTube dan artikel blog menonjolkan kelebihan dari produk Anda, sudah seharusnya Anda berterima kasih kepada YouTuber atau blogger tersebut, apalagi kalau mereka membeli produk Anda dan memberikan review gratis tentang produk unggulan Anda. Anda tidak mengeluarkan satu rupiah sama sekali, tapi mereka menampilkan hal-hal yang baik dari produk Anda di video YouTube dan artikel blog tanpa Anda minta. Itu jelas keuntungan buat Anda.

Telaah dahulu sebelum melayangkan surat keberatan.

2. Jangan hanya memikirkan omzet, tapi juga kepuasan dan loyalitas pelanggan

Pandemi covid-19 sudah memengaruhi segala sendi kehidupan, termasuk dalam segi bisnis.

Mungkin Eiger dan produsen brand lokal lainnya sulit mendapat omzet yang memadai untuk bertahan di masa sukar sekarang ini. Akibatnya ada beberapa cabang yang mungkin terpaksa harus ditutup dan mengakibatkan beberapa karyawan terpaksa "dirumahkan" untuk mengurangi pengeluaran.

Tetap berjuang, cari peluang, dan ciptakan hal-hal lain yang mungkin bisa dilakukan untuk mendongkrak omzet kembali melambung.

Jangan sampai hanya memikirkan omzet yang terus menurun drastis, kemudian timbul rasa panik dan melakukan blunder seperti melayangkan surat keberatan, yang mengakibatkan kepuasan dan loyalitas pelanggan juga malah ikut terbang menghilang.

3. Jangan baper. Adalah lebih baik ada yang memberikan review, meskipun buruk, daripada tidak ada sama sekali

Secara pribadi, kalau ada yang mengkritik saya, baik tentang video atau tulisan yang sudah saya publikasikan di dunia maya, saya akan mengapresiasi, dengan syarat tentu saja kalau kritik tersebut adalah kritik yang membangun, bukan kritik tanpa dasar dan penuh dengan unsur personal, menyerang pribadi dan tidak berhubungan dengan esensi konten.

Kritik yang membangun saja saya apresiasi, apalagi pujian. Tentu saja akan lebih menambah semangat untuk berkarya.

Adalah lebih baik ada yang memberikan review atas produk Anda, meskipun buruk (tentu saja, sekali lagi, buruk di sini dalam hal ini adalah kritik yang membangun), daripada tidak ada seorang warganet pun yang membuat review tentang produk Anda.

Kalaupun ada yang menyampaikan review secara buruk dan kasar, jangan baper. Tetap tenang. Kendalikan emosi. Bicarakan dengan kolega dan rekan kerja apakah review tersebut benar adanya (misalnya ada kekurangan dalam produk Anda seperti yang disebutkan YouTuber atau blogger tersebut) atau tidak.

Temukan solusi pemecahan. Intinya: jangan baper. Tetap harus bijak dalam segala situasi, baik atau tidak baik waktunya.

Maju terus, Amateur YouTuber!

Bagi amateur YouTuber atau YouTuber amatir seperti saya, maju terus. Selama Anda menampilkan video-video konten yang bermanfaat, para warganet akan setia menunggu penayangan video Anda selanjutnya.

Pakai saja peralatan yang ada. Jangan menuntut harus punya peralatan lengkap, karena para YouTuber sukses dulunya juga memulainya dari peralatan yang ada, kemudian bertahap mereka melengkapi "peralatan tempur".

Tetap semangat. Jangan putus asa. Tebarkan nilai-nilai positif pada warganet selama masih bisa dan lakukan semaksimal mungkin demi mencerdaskan kehidupan bangsa.

Salam Kompasiana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun