“Orangtua mengalami kesulitan mendidik dan sekaligus mengajari anak di rumah. Apalagi kalau ayah dan ibu sama-sama bekerja dari pagi sampai sore. Siapa yang akan mengajari anak di rumah saat pagi sampai sore? Tidak ada, bukan?
“Kedua, Pengeluaran ‘ekstra gede’ untuk kuota internet.
“Bayangkan. Untuk makan sehari-hari saja, orangtua sudah menemui kesulitan untuk memenuhi, apalagi kalau ditambah biaya beli kuota internet yang, kalau dipikir-pikir, lebih banyak dipakai murid untuk main game online dibanding untuk mengikuti pembelajaran daring.
“Ketiga, Guru pasti tidak mau mengajar daring kepada beberapa peserta didik yang tidak seberapa jumlahnya itu dibanding yang ikut tatap muka.
“Mana mau guru mengajar daring kepada beberapa murid yang cuma sekitar dua sampai tiga orang saja, sedangkan 27 - 28 orang, kalau jumlahnya 30 murid dalam satu kelas, mau belajar tatap muka di sekolah.”
Tentu saja, sebagai teman yang baik, saya mendengarkan dan sesekali memberikan pengertian tentang hal-hal, yang menurut saya, keliru beliau “terjemahkan”.
Tak terasa, satu jam lebih berlalu. Saya terpaksa menyudahi karena saya harus menelepon kakak perempuan saya, Yulia (nama samaran), yang berdomisili di Jakarta.
Bagaimana seharusnya guru memandang orangtua yang menolak pembelajaran tatap muka di bulan Januari 2021?
Secara pribadi, saya tidak terkejut dengan sikap “pro” Pak Dani tentang pembelajaran tatap muka.
Namun, saya sangat menyayangkan kalau seandainya pola pikir guru-guru yang lain juga senada, tanpa melihat dari berbagai sisi yang ada.
Saya tidak menyalahkan Pak Dani dan setiap guru yang bersuara sama. Sah-sah saja berbeda pendapat, tapi alangkah baiknya jeli dalam berpendapat.
Bagaimana seharusnya guru memandang orangtua yang menolak pembelajaran tatap muka di bulan Januari 2021?