Di akta kelahiran, nama keluarga terletak di awal, dipisah dengan sebuah "koma", lalu nama pertama. Tertulis "Hamdali, Anton", bukan "Hamdali Anton", apalagi "Anton Hamdali".
Saya tidak bertanya pada kakak-kakak saya karena kesukaran hidup saat sekolah dimana perekonomian keluarga terpuruk, sehingga perhatian difokuskan untuk memenuhi kebutuhan sandang, pangan, papan, dan pendidikan dibandingkan nama yang tidak sesuai keinginan.
Jadi di ijazah SD, SMP, SMA, sampai Perguruan Tinggi, nama "Hamdali Anton" terpampang dengan jelas dan terang benderang.
Meskipun begitu, di KTP tetap tertulis "Anton Hamdali".
Saya pernah mengajar di beberapa lembaga pendidikan dan kursus bahasa Inggris dengan berbekal ijazah SMA dan transkrip nilai saat masih berstatus mahasiswa, dan tidak ada masalah dengan nama "Anton Hamdali" yang di ijazah tertulis "Hamdali Anton".
Namun menjadi masalah sewaktu ada pendataan guru honorer 13 tahun yang lalu.
"Nama bapak harus sesuai dengan ijazah. Kalau tidak sesuai, input data akan bermasalah di dinas pendidikan," kata Bu Gina (bukan nama sebenarnya), staf Tata Usaha (TU) SDN @nomention dimana saya dulu mengabdi.
"Jadi," Bu Gina melanjutkan, "Bapak harus mengurus KTP yang baru. KTP dengan nama sesuai ijazah. Kalau tidak, ya sudah. Bapak tidak bisa mengajar di sini."
Dengan terpaksa, saya mengurus KTP baru kalau masih mau bekerja di SD dan tidak ingin mendapat masalah di kemudian hari.
Hal pertama yang saya lakukan adalah saya melapor ke Ketua RT, sekalian mau pindah alamat, karena ingin mandiri, menimbang saya tidak ingin menjadi beban bagi kakak perempuan saya. Kebetulan momennya pas dengan pergantian urutan nama di KTP dan Kartu Keluarga.
Langkah berikutnya, saya mendatangi kelurahan berbekal surat pengantar dari Ketua RT, satu fotokopi akta kelahiran, dan satu fotokopi ijazah (saya pakai fotokopi ijazah SMA).