Mohon tunggu...
Hamdali Anton
Hamdali Anton Mohon Tunggu... Guru - English Teacher

Saya adalah seorang guru bahasa Inggris biasa di kota Samarinda, Kalimantan Timur. || E-mail : hamdali.anton@gmail.com || WA: 082353613105 || Instagram Custom Case : https://www.instagram.com/salisagadget/ || YouTube: English Itu Fun

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

3 Hal yang Harus Dilakukan Sebelum Memutuskan Menikah

25 November 2020   21:37 Diperbarui: 27 November 2020   01:15 1520
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Shutterstock via KOMPAS.COM)

Toxic relationship, siapa sih yang menginginkannya?

Banyak kejadian yang saya temui selama 20 tahun lebih mengabdi sebagai guru. Ada banyak kejadian unik yang berasal dari kenakalan atau ulah peserta didik.

Otomatis, saya harus berhadapan dengan beberapa orangtua murid yang saya ajak "berdiskusi" untuk memecahkan masalah putra-putri mereka.

Ternyata banyak kisah yang terungkap dari tutur kata mereka. 

Begitu juga kisah beberapa kenalan berkenaan dengan masalah keluarga yang mereka bagikan pada saya.

Dalam hal ini, nama-nama yang akan saya terakan di tulisan ini bukanlah nama yang sebenarnya untuk melindungi nama baik orangtua murid dan kenalan. Namun kiranya kisah mereka dapat menjadi pembelajaran bagi kita.

Hanya ada 2 (dua) kisah yang akan saya jabarkan di tulisan ini. Satu dari pihak perempuan dan satu dari pihak laki-laki.

Pengalaman Rani

Rani (bukan nama sebenarnya), menyatakan penyesalannya. "Saya menyesal telah menikah dengan Mas Rio," kata Rani, beberapa tahun yang lalu.

Rani mengungkapkan kebingungan sekaligus kekesalannya pada saya tentang Rio (nama samaran), suaminya.

"Seandainya dulu, sebelum menikah, saya mengetahui secara mendalam tentang Mas Rio, kebiasaan-kebiasaannya, karakternya, dan keluarga besarnya, saya pasti ragu dan mungkin tak memilihnya menjadi calon suami.

"Setelah menikah, saya baru mengetahui semua tentangnya. Di rumah, semuanya terungkap.

Ilustrasi (Shutterstock via KOMPAS.COM)
Ilustrasi (Shutterstock via KOMPAS.COM)

"Saat renovasi rumah, tegel ubin di dapur diganti sama persis dengan tegel di ruang tamu dan keluarga tanpa berdiskusi terlebih dahulu dengan saya. 

Saya bilang kalau sangat berbahaya bila ubin berwarna putih di dapur sama dengan ubin di ruang tamu dan keluarga, karena kalau ada air yang mana pasti kemungkinan tergenang di dapur, akan tidak kentara terlihat, sehingga kita bisa terpeleset. Sangat berbahaya.

"Beberapa kali saya, Doni (anak Rani dan Rio, bukan nama sebenarnya), dan Mas Rio sempat hampir tergelincir karena air yang menggenang dan tak terlihat. Setelah itu baru dia menyesal dan bilang 'licin ya'.

"Saya juga jengkel dengan pemasangan lemari dinding di dapur. Padahal Mas Rio sudah sepakat kalau lemari itu hanya sampai bak cuci piring. Tidak sampai di atas kompor. 

Nyatanya malah sampai di atas kompor. Saya jengkel banget. Padahal, uang untuk beli lemari itu uang saya semua. Lima juta. Dia tidak ada andil sama sekali dalam membayarnya.

"Sepeda motor juga membuat saya kesal. Dia ingin beli sepeda motor matic yang berbodi gede. Kredit. Karena dia tidak punya slip gaji, maka dia meminta tolong saya untuk "memakai" nama saya sebagai penjamin. Padahal, saya sudah menasihatkan supaya membeli secara tunai saja. 

"Tapi di antara semua itu, yang paling menjengkelkan, selain Mas Rio hanya menuruti kata hatinya dan tidak peduli dengan pendapat saya, adalah dia hanya mau makan makanan khas dari daerahnya. Dia tidak mau makan masakan saya karena beralasan 'tidak bisa memakannya'. Kalaupun mau makan, biasanya yang ada daging, seperti rawon. Selebihnya dia tidak mau. Dia memasak sendiri makanannya yang serba kering, seperti telur goreng, mie goreng, ayam goreng yang kering sekali, dan lain sebagainya."

Kisah Edwin

Edwin (bukan nama sebenarnya) menjadi single fighter tanpa status yang jelas setelah sang istri, Nuri (nama samaran), meninggalkan Edwin. 

Nuri membawa satu-satunya anak mereka, Mawar (bukan nama sebenarnya) ke kampung di pulau Jawa beberapa tahun yang lalu. Edwin berada di Balikpapan.

"Dia tidak mau lagi tinggal di kamar indekos kecil yang panas. Dia meng-ultimatum saya untuk membeli rumah. Bukan ngontrak. Selama belum ada rumah, dia tidak akan kembali.

"Dia trauma kalau mengingat Mawar menggigit kabel listrik di kamar kami saat dia sedang menyetrika baju dan tidak tahu dengan kejadian itu. Untung Mawar tidak apa-apa.

"Sempat kami tinggal di rumah orangtua saya karena ayah dan ibu diboyong ke Samarinda oleh adik saya, Yuli (nama samaran), supaya dia bisa merawat mereka dengan lebih telaten di sana. Tapi sayangnya, ayah dan ibu tidak betah di Samarinda. Mereka minta pulang ke Balikpapan.

"Waktu mereka kembali ke rumah di Balikpapan, ibu jengkel dengan kondisi rumah yang kotor dan tak terawat. Nuri memang malas membersihkan. Karena ketidakcocokan dengan ibu, Nuri mendesak saya untuk mencari rumah kontrakan.

"Tapi saya cuma orang yang kerja serabutan. Pagi sampai siang jadi sopir antar jemput anak sekolah. Siang sampai malam jadi karyawan di studio foto. Gaji tak cukup untuk membayar rumah kontrakan. Untuk makan sehari-hari saja sudah susah memenuhi.

"Nuri mengeluh capek hidup susah. Dia tidak mau tinggal di kamar kos lagi. Dia membawa Mawar ke kampung di pulau Jawa. Setelah sekian tahun saya tidak kaya-kaya juga seperti yang dia mau supaya bisa membeli rumah, dia minta cerai. Dia ingin kawin lagi, tapi saya tidak mau menceraikan..."

Lebih baik mencegah daripada mengobati

Dari pengalaman pedih Rani dan kisah pahit Edwin, kita bisa belajar bahwa toxic relationship tidak perlu terjadi seandainya "dicegah di awal" terlebih dahulu. 

Dalam hal ini, ada 3 (tiga) hal yang perlu dilakukan oleh Anda sebelum ketok palu menentukan pilihan calon pasangan yang tepat sebelum menikah.

Hal #1 - Kenali kebiasaan-kebiasaan calon pasangan
Jangan sampai kejadian seperti Rani terjadi pada Anda, khususnya para perempuan yang suka memasak layaknya chef profesional, tapi makanannya "dilepeh" oleh para suami setelah menikah.

"Sebenarnya saya sudah tahu dia tidak suka dengan beberapa makanan, tapi saya tidak menggali lebih dalam. Setelah menikah, saya baru menyesal, kenapa tidak menelusuri lebih jauh..," sesal Rani.

Anda harus mengenali kebiasaan-kebiasaan calon pasangan dengan baik. 

Tuliskan beberapa pertanyaan di atas kertas, seperti:

Apakah dia merokok?

Apakah dia mempunyai kebiasaan makan makanan yang "aneh"? (seperti suami Rani)

Apakah dia malas membersihkan sepeda motornya?

Apakah dia orang yang malas membaca buku? (Rio, suami Rani, tidak suka membaca buku. Meskipun sudah S-2, dia tetap tidak suka membaca. Aneh. Padahal Rani suka membaca, meskipun cuma lulusan SMA, dan dia baru tahu kalau Rio tidak suka membaca buku saat sudah menikah!)

... (Anda tuliskan saja lagi pertanyaan-pertanyaan yang lain, dan amati kebiasaan-kebiasaan calon pasangan dalam keseharian)

Jangan menggunakan "kacamata kuda" saat pacaran, karena pasti semua terlihat dan terasa indah di pemandangan.

Perasaan oke, tapi logika juga harus jalan. Jangan sampai terbuai dengan manisnya cinta, karena saat berumah tangga, tidak cukup hanya bermodalkan cinta, tapi juga dana.

Hal #2 - Kenali karakternya
Ini yang menjadi persoalan terbesar. Karakter, sifat, watak calon pasangan terlihat indah dan elok saat masih pacaran. 

"Mas Rio bela-belain antar saya ke tempat kerja dan jemput saya setelah selesai kerja waktu masih pacaran. Setelah menikah, saya malah disuruhnya pergi-pulang sendiri. Dia sibuk, katanya," keluh Rani.

"Waktu masih pacaran, dia bilang kalau dia memahami keberadaan diri saya yang cuma sopir antar jemput anak sekolah dan karyawan studio foto dengan gaji pas-pasan. Ternyata...," Edwin menghela nafas kecewa.

Karakter seperti apa yang calon pasangan punyai?

Jangan sampai "membeli kucing dalam karung" seperti Rani dan Edwin.

Jangan terburu-buru memutuskan sang doi calon pasangan ideal; tapi juga jangan terlalu lama memberikan jawaban, sehingga keseriusan untuk meresmikan hubungan ke jenjang pernikahan diragukan.

Lewat komunikasi secara intens dan perbuatan nyata sang kekasih, serta pendapat orang-orang lain di luar kerabat dan teman-teman dekat sang pacar (mereka yang bukan anggota keluarga dan teman dekat biasanya memberikan opini yang lebih objektif) bisa menjadi pertimbangan bahwa sang doi memang top markotop atau tidak.

Seperti halnya Rani, dia tidak menyangka kalau Rio ternyata orang yang keras kepala, selalu mau menang sendiri, lebih mementingkan selera makannya yang "aneh" daripada masakan enak Rani (masakan Rani sangat lezat kok tidak disukainya!), punya budaya kredit supaya tampil keren di mata orang (padahal bisa beli secara tunai dan barangnya tidak perlu-perlu amat), dan sifat-sifat aneh lainnya.

Edwin juga merasa kecolongan. Janji pernikahan "... baik susah maupun senang, di saat kelimpahan maupun kekurangan,..." hanya sekadar menjadi janji kosong di benak Nuri, janji manis di bibir sewaktu pemberkatan nikah. Saat menjalani bahtera kehidupan yang penuh dengan badai, Nuri menyerah dan mengingkari janji suci.

Pastikan karakter calon pasangan baik adanya. Sesal kemudian tidak berguna.

Hal #3 - Jalin tali silaturahmi dengan keluarga besar sang calon pasangan dan kenali karakter mereka
Menikah dengan calon pasangan berarti "menikah" dengan keluarga besarnya juga.

Jalin tali silaturahmi dengan keluarga besar sang calon pasangan supaya Anda mendapatkan gambaran penuh tentang doi, setelah sebelumnya melihat kebiasaan dan mengetahui karakter pacar.

Karena doi terbentuk dari keluarga. Sifat-sifat, kebiasaan-kebiasaan, dan karakter terbentuk dari pendidikan di rumah.

"Orangtua saya tidak senang dengan Mas Rio yang tiba-tiba datang melamar tanpa sebelumnya berkenalan dengan mereka terlebih dahulu di saat pacaran...," kata Rani, mengenang masa lalu, "Dia juga tidak pernah mengenalkan keluarganya pada saya."

"Saya tidak pernah mengenal seperti apa keluarganya, karena mereka berada di kampung di pulau Jawa," kata Edwin.

Mudah-mudahan kesalahan tidak berkenalan pada keluarga calon seperti Rani dan Edwin tidak Anda lakukan.

Penyesalan seumur hidup

Jika masakan gosong, Anda menyesal hanya satu hari. Jika potongan rambut salah, Anda menyesal selama satu bulan, menunggu rambut panjang kembali sehingga bisa dirapikan di bulan berikut. Tapi jika Anda salah memilih pasangan hidup, Anda akan menyesal seumur hidup.

Jadi jangan sampai salah memilih pasangan.

Jangan sampai seperti Rani yang terpaksa harus "mengalah" terus pada suami; atau seperti Edwin yang menelan pil pahit, terpisah dengan anak semata wayang, Mawar, dikarenakan istri yang mau enaknya saja, tapi tidak mau berproses berjuang mendukung suami untuk menggapai kesuksesan.

Toxic relationship? Jangan sampai terjadi pada Anda. Menyesal kemudian tidak berguna.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun