Mohon tunggu...
Hamdali Anton
Hamdali Anton Mohon Tunggu... Guru - English Teacher

Saya adalah seorang guru bahasa Inggris biasa di kota Samarinda, Kalimantan Timur. || E-mail : hamdali.anton@gmail.com || WA: 082353613105 || Instagram Custom Case : https://www.instagram.com/salisagadget/ || YouTube: English Itu Fun

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Dear Guru SD, Kalau Memberi PR, Tolong Jangan "Membahayakan" Murid

13 November 2020   14:43 Diperbarui: 13 November 2020   18:05 296
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Proses belajar mengajar di saat pandemi covid-19 masih sangat membingungkan bagi banyak pihak, khususnya yang terlibat langsung di dalamnya, yaitu guru, peserta didik, dan orang tua murid.

Sekolah Dasar (SD) menjadi tingkat pendidikan yang mengalami kesulitan terbesar dibandingkan SMP dan SMA. Sukar sekali melakukan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) tanpa tatap muka, bertemu langsung dengan peserta didik usia dini. Saat bertemu langsung, berada dalam satu kelas saja, guru sudah kesulitan mengatur peserta didik, apalagi kalau melakukan PJJ lewat Zoom dan WhatsApp.

Otomatis, kebanyakan guru memberikan PR, karena materi ajar yang tidak terkejar disebabkan kendala waktu dan koneksi internet, sehingga mayoritas guru memberikan PR yang seabrek kepada peserta didik.

Saya enggan berkomentar soal banyaknya PR yang diberikan oleh kebanyakan guru. Biarlah kepala sekolah masing-masing menegur jika guru mereka melakukan hal-hal yang tidak patut berkenaan dengan PR tersebut dari segi jumlah.

Namun, ada satu PR, yang menurut saya, agak sedikit "keterlaluan".

Hendra (nama samaran), siswa kelas enam SD di salah satu SD swasta yang cukup ternama di Samarinda, mendapat PR yang, bisa saya katakan, lain daripada yang lain.

Murid les saya ini beserta teman-teman sekelasnya mendapat tugas mewawancarai salah satu penjual makanan yang lewat di depan rumah mereka masing-masing.

Menurut pemikiran saya, tujuannya supaya peserta didik tahu tentang wirausaha dan kehidupan penjual dalam menjalani proses berjualan sehari-hari.

"Bu guru cuma menyuruh kami menunggu tukang bakso, tukang bubur, tukang sate, atau penjual keliling lainnya yang lewat di depan rumah, dan meminta waktu mereka untuk diwawancarai," jawab Hendra waktu saya bertanya.

Menurut saya, kronologis proses wawancara akan berjalan seperti berikut : Peserta didik kelas enam, Hendra dan kawan-kawan di SD swasta @nomention menunggu jikalau ada tukang jual keliling lewat di depan rumah mereka masing-masing, lalu mereka minta waktu untuk mewawancarai penjual tersebut dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang ada di buku LKS. Peserta didik bisa menggunakan alat bantu smartphone sebagai perekam suara supaya wawancara bisa terdokumentasi dengan baik.

Alur proses melakukan wawancara yang terdapat di LKS siswa - Hal 1 | Dokumentasi Pribadi
Alur proses melakukan wawancara yang terdapat di LKS siswa - Hal 1 | Dokumentasi Pribadi

Alur proses melakukan wawancara yang terdapat di LKS siswa - Hal 2 | Dokumentasi Pribadi
Alur proses melakukan wawancara yang terdapat di LKS siswa - Hal 2 | Dokumentasi Pribadi
Bu Yuli (bukan nama sebenarnya), guru kelas mereka, memberikan tugas tersebut pada hari Selasa, 10 November 2020. Saya cuma bisa geleng-geleng kepala. Kok bisa gurunya memberikan tugas seperti ini di masa pandemi covid-19. Begitu pemikiran saya.

"Bapak yakin, ayah dan ibumu bakal tidak setuju kalau kamu harus mewawancarai tukang jual keliling seperti yang dimaui gurumu. Orang tua teman-temanmu pasti juga tidak setuju," kata saya pada Hendra.

Esok harinya, Rabu, 11 November 2020,  saya bertanya pada Hendra, apakah orang tuanya setuju kalau dia mewawancarai penjual makanan keliling, dan dia mengatakan kalau ayah dan ibunya, seperti yang saya perkirakan, tidak setuju kalau dia harus mewawancarai tukang jual keliling. 

Dia juga bilang, teman-temannya juga tidak diperbolehkan oleh orang tua mereka untuk melakukan wawancara.

Telaah terlebih dahulu dengan saksama

Sebenarnya, saya mengapresiasi inisiatif Bu Yuli yang meminta peserta didiknya untuk mewawancarai tukang jual keliling, seperti tukang bakso, tukang bubur, tukang sate, dan lain sebagainya. 

Peserta didik bisa belajar tentang wirausaha dan bagaimana kegigihan para penjual keliling tersebut dalam menjajakan dagangan mereka dengan sabar selama bertahun-tahun demi memenuhi kebutuhan hidup keluarga.

Hanya saja, pemberian tugas wawancara tersebut tidak tepat waktu. Kalau sebelum corona, tidak masalah, tapi di saat pandemi covid-19 sekarang ini, tentu saja menjadi tugas yang "aneh" dan "di luar akal sehat". Herannya, tugas ini diberikan oleh pendidik yang seharusnya melindungi anak-anak didiknya, bukan malah "membahayakan", menempatkan peserta didik dalam bahaya.

Telaah PR terlebih dahulu dengan saksama sebelum memberikannya kepada peserta didik.

Hal-hal yang patut dipertimbangkan berkenaan dengan PR yang bersifat proyek seperti wawancara adalah:

1. Apakah perlu pendampingan orang tua/dewasa saat peserta didik mengerjakan PR atau tidak?

Guru SD harus mempertimbangkan PR yang diberikan itu memerlukan pendampingan orang tua atau orang dewasa saat peserta didik mengerjakan PR tersebut atau tidak.

Seperti dalam kasus tugas proyek yang diberikan Bu Yuli kepada Hendra dan kawan-kawan, aspek pendampingan orang tua perlu ada.

Kenapa?

Meskipun mereka sudah berstatus sebagai siswa-siswi kelas enam SD, mereka masih belum cukup dewasa untuk bisa melakukan wawancara seorang diri.

Apalagi di saat pagi dan siang, kebanyakan orang tua, yaitu ayah dan ibu sedang bekerja di luar rumah. Bagaimana bisa menemani putra-putri mereka untuk mewawancarai penjual keliling tersebut?

Contohnya, Hendra. Ayah dan ibunya bekerja di luar rumah, dan baru kembali ke rumah saat sore hari sekitar pukul lima atau bisa juga jam enam atau tujuh malam, menimbang kesibukan di kantor dan jarak tempuh dari kantor ke rumah yang lumayan jauh.

Masa orang tua harus menemani anak melakukan wawancara saat malam hari di saat orang tua sudah lelah sehabis bekerja seharian?

Belum lagi soal penjual keliling yang jarang berseliweran di area-area tertentu seperti kompleks perumahan yang memang cukup ketat dalam pengamanan, sehingga penjual keliling tidak bisa masuk ke kompleks-kompleks tersebut sembarangan. Tidak semudah yang dipikirkan.

"Di perumahan ini, jarang ada tukang bakso, tukang bubur, tukang sate, atau penjual keliling yang lewat. Seminggu yang lalu saja tidak ada satu pun yang lewat," jawab Hendra, sewaktu saya menanyakan perihal penjual makanan keliling.

Seharusnya guru SD seperti Bu Yuli memikirkan soal PR wawancara tadi yang tidak mungkin dilakukan oleh peserta didik kelas enam tanpa pendampingan orang tua atau orang dewasa, karena yang diwawancarai adalah orang asing yang tidak dikenal yang kebetulan lewat rumah mereka.

2. Apakah memerlukan dana cukup banyak untuk mengerjakannya atau tidak?

Meskipun termasuk sekolah swasta favorit, bukan berarti semua orang tua adalah "kalangan yang berada", apalagi di masa pandemi covid-19 saat ini.

Berbagai usaha banyak bertumbangan karena menurunnya daya beli masyarakat yang berakibat terjadinya pengurangan tenaga kerja atau PHK. Bagi usaha yang sudah tidak bisa bertahan, "gulung tikar" adalah jalan terakhir.

Orang tua murid bisa saja adalah pengusaha yang lagi "kembang-kempis" dalam bisnis; yang sudah "gulung tikar" dan sekarang mengalami kesulitan keuangan; karyawan swasta; atau baru di-PHK.

Oleh karena itu, guru perlu menganalisis tugas atau PR yang diberikan tidak memberatkan keuangan keluarga peserta didik, menimbang untuk membeli kuota internet demi lancarnya PJJ saja sudah susahnya setengah mati bagi orang tua untuk memenuhi, apalagi ditambah kepusingan dengan dana tambahan demi membeli bahan-bahan guna mengerjakan PR putra-putri.

Untuk wawancara sendiri, bisa dibilang tidak perlu dana lebih, karena cukup bermodalkan smartphone yang peserta didik miliki untuk merekam dan menulis laporan di atas kertas biasa.

3. Apakah membahayakan peserta didik atau tidak?

Inilah yang menjadi persoalan terbesar sehingga tulisan ini dibuat.

Sebagai guru, seharusnya Bu Yuli bisa melihat secara jeli bahwa mewawancarai orang asing, apalagi di masa pandemi saat ini, sangatlah berbahaya.

Kenapa berbahaya?

Pertama, Orang tersebut mungkin timbul niat tidak baik terhadap peserta didik

Bukan profesi tukang bakso, tukang bubur, tukang sate, dan lain-lain yang menjadi masalah, tapi niat orang-orang tersebut.

Ada tukang bakso, tukang bubur, tukang sate yang baik; tapi ada juga yang tidak baik, apalagi kalau mereka diperhadapkan dengan kesulitan ekonomi karena berkurangnya omzet penjualan saat pandemi dan harus memenuhi kebutuhan hidup keluarga.

Seperti Hendra. Seandainya Hendra dan teman-temannya yang berstatus anak tunggal semata wayang, di saat siang mewawancarai seorang tukang bakso sebagai contoh, dan tidak ada orang dewasa semisal paman, bibi, kakak, atau asisten rumah tangga (ART), siapa yang bisa menjamin bahwa anak-anak itu akan aman sewaktu melakukan wawancara?

Kedua, Bisa saja sewaktu mewawancarai, protokol kesehatan tidak dipenuhi 

Siapa yang bisa menjamin anak dan penjual makanan keliling tadi menjalankan protokol kesehatan dengan memakai masker dan menjaga jarak aman?

Belum lagi kalau ada praduga penjual keliling tersebut "mungkin" ada membawa virus covid-19. Kekhawatiran itu sah-sah saja, karena mereka berada di luar rumah, di jalanan sepanjang hari, jadi kemungkinan itu tentu saja normal, bisa terjadi.

Herannya, saya sempat mendengar perkataan Bu Yuli dari PJJ lewat Zoom pada hari Rabu, tanggal 11 November 2020 tadi. Meskipun tidak terlalu jelas, beliau mengatakan bahwa pandemi covid-19 "terlihat" semakin menurun di Samarinda, sehingga orang tua bisa mengumpulkan semua tugas sebelum ujian semester satu di sekolah.

Saya menanyakan kepada Hendra untuk memastikan pendengaran saya tidak keliru.

"Benar, Pak. Bu Yuli bilang begitu. Kumpulkan semua tugas ke sekolah secepatnya. Semuanya. Supaya dia ada kerjaan di sekolah. Katanya covid-19 sudah menurun. Orang yang terpapar sudah semakin sedikit," Hendra membenarkan perkataan Bu Yuli persis seperti yang saya dengar.

Alangkah berbahayanya kalau berbicara tanpa data! Apakah Bu Yuli bisa memastikan kebenaran informasi perihal penurunan jumlah orang yang terpapar? Apakah informasi itu bisa menggambarkan kalau dengan begitu mewawancarai penjual keliling tadi aman adanya?

Belum lagi dia juga mengatakan "Kumpulkan semua tugas, supaya dia ada kerjaan di sekolah." Memangnya selama ini dia tidak ada kerjaan di sekolah, cuma bersantai saja?

Tugas-tugas yang ingin diberikan hendaknya harus memperhatikan faktor keamanan saat peserta didik mengerjakannya. Mewawancarai orang asing tentu saja tidak aman, baik dari segi kemungkinan hilangnya harta (dan mungkin juga nyawa si anak), atau juga dari segi kesehatan.

Alih-alih orang asing, kenapa tidak mewawancarai ayah, ibu, kakak, paman, bibi, kakek, nenek, atau kerabat keluarga yang terdekat?

Modifikasi dan empati

Jangan memberikan tugas persis seperti di buku. Modifikasikan materi ajar disesuaikan dengan kondisi saat ini. Makanya ada kurikulum darurat untuk menyiasati keadaan belajar saat ini.

Berempati pada kondisi dan kesulitan peserta didik dan orang tua murid. Guru sudah seharusnya "menempatkan diri" pada posisi murid dan orang tuanya.

Jangan sampai gara-gara ingin menuntaskan materi mengakibatkan tumpulnya hati nurani.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun