Mohon tunggu...
Hamdali Anton
Hamdali Anton Mohon Tunggu... Guru - English Teacher

Saya adalah seorang guru bahasa Inggris biasa di kota Samarinda, Kalimantan Timur. || E-mail : hamdali.anton@gmail.com || WA: 082353613105 || Instagram Custom Case : https://www.instagram.com/salisagadget/ || YouTube: English Itu Fun

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

3 Nilai Kekekalan yang Sebaiknya Ditanamkan pada Anak Sejak Dini

7 November 2020   19:24 Diperbarui: 7 November 2020   19:39 500
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi ((SHUTTERSTOCK via KOMPAS.COM)

Selama hampir sembilan bulan, saya melihat banyak hal menarik yang berkaitan dengan proses belajar mengajar. Perilaku yang lucu dari murid les sudah banyak tertuang dalam buku-buku jurnal sehingga saking banyaknya, saya bingung yang mana yang harus dituangkan dalam tulisan terlebih dahulu.

Namun, selain pengalaman yang menyenangkan, ada juga hal-hal yang membuat geleng-geleng kepala sembari mengurut dada, karena kebanyakan murid les yang saya hadapi seperti kehilangan nilai-nilai moral yang dulu ada, namun sekarang, di era teknologi canggih saat ini, seperti tergerus sehingga terlihat "tiada".

Apakah sudah terlambat untuk merubah anak-anak Indonesia? Tentu saja tidak terlambat selama hayat masih dikandung badan. Yang jelas, sebagai orang tua, tugas Andalah yang paling utama untuk mendidik dan menanamkan nilai-nilai moral yang disini saya menyebutkan sebagai nilai-nilai kekekalan karena nilai-nilai ini tidak akan pernah basi sampai kapanpun juga.

Sedapat mungkin, sedari dini, sejak usia dini, nilai-nilai kekekalan ini ditanamkan pada putra-putri sehingga kelak, saat mereka dewasa, mereka menjadi pribadi-pribadi yang tangguh, unggul, beriman, dan mempunyai karakter-karakter mulia lainnya.

Dalam hal ini, saya membatasi pada tiga nilai kekekalan saja, karena tiga nilai ini yang saya lihat paling vital dan saya jarang menemukan tiga nilai ini pada diri kebanyakan murid les saya apalagi di masa pandemi covid-19 saat sekarang yang entah sampai kapan akan berakhir.

Tiga nilai kekekalan tersebut adalah :

1. Kejujuran

Bicara soal nilai ini, saya melihat kecenderungan yang menyedihkan. Beberapa murid les menunjukkan dalam beberapa kesempatan, memperlihatkan ketidakjujuran mereka di banyak segi.

Mulai dari berbohong pada orang tua perihal tidak ada PR sampai membuang surat panggilan dari sekolah untuk orang tua murid sudah pernah saya temui.

Perihal membuang surat panggilan untuk datang ke sekolah, "berkonsultasi", istilah yang mungkin disalahartikan sebagai "apa salah anak kami?" memang sudah jamak di benak kebanyakan orang tua murid, meskipun tidak selalu memanggil orang tua berarti ada sesuatu yang "salah" pada putra-putri mereka.

Beberapa tahun yang lalu, ada beberapa peserta didik saya di SD yang melakukan tindakan tidak terpuji tersebut. Membuang surat panggilan dari saya entah ke mana.

Ada dua murid yang tak pernah saya lupakan berkaitan dengan kejujuran.

Yang pertama, Rudi (bukan nama sebenarnya), seorang siswa kelas lima SD yang sering tidak masuk pada waktu saya mengajar di hari Sabtu. Rudi sudah tiga kali tidak mengerjakan PR dan sudah tiga kali bolos saat saya mengajar.

Surat sudah dilayangkan. Pada hari yang ditentukan, orang tua Rudi tidak datang ke sekolah. Saya pun berinisiatif mengunjungi rumah Rudi menimbang rumahnya tidak jauh dari sekolah, bisa ditempuh dengan berjalan kaki.

Apa yang saya temui sangat di luar dugaan. Kedua orang tua, ayah dan ibu, tidak tahu menahu tentang surat dari saya. Bahkan sewaktu sang ayah bertanya pada Rudi, "Suratnya kamu buang ya, Nak?", Rudi hanya bisa meneteskan air mata. 

"Kamu kok bisa berbohong begitu sih, Di? Bapak dan ibu malu sama Pak Guru."

Kata-kata sang ibu membuat saya terenyuh. Dengan kondisi rumah panggung terbuat dari kayu dan "menumpang" di tanah orang, serta pekerjaan ayah sebagai petani di lahan orang dan ibu seorang penjual sayur di pasar, tentu saja saya merasa menjadi "the bad guy" dalam hal ini, meskipun Rudi sudah jelas bersalah.

Persoalan selesai dan solusi tercapai dengan pengawasan dari orang tua kepada putra mereka. Masalah ketiadaan buku sehingga tidak bisa mengerjakan PR juga terpecahkan, karena saya menyediakan diri untuk memberikan buku pelajaran bahasa Inggris kepada Rudi.

"Gratis, Pak, Bu. Saya ikhlas memberikannya," kata saya sebelum pamit.

Sewaktu pulang, di depan pagar, sang Ibu memberikan sebuah kantung plastik berwarna hitam kepada saya, "Untuk bapak."

"Apa ini, Bu?" tanya saya sambil membuka dan melihat isinya. Gula merah.

Saya menolak dengan halus pemberian tersebut. Sejak itu, Rudi selalu masuk saat saya mengajar. Mudah-mudahan sekarang, setelah bertahun-tahun kemudian, dia bisa membanggakan ayah-ibunya.

Sampai sekarang saya masih ingat akan pemberian "gula merah" itu yang menggambarkan bahwa orang tua akan berkorban apa saja demi kebaikan anak mereka.

Yang kedua, Dino (nama samaran), salah seorang murid les yang berstatus siswa kelas enam SD, sayangnya, mendapat ajaran "berbohong" dari sang ayah.

Ayahnya membelikan smartphone untuk Dino dan berkata, "Jangan beritahu ibu ya. Nanti ibumu marah." Sang ibu memang tidak setuju kalau Dino mempunyai smartphone. "Nanti main game terus," begitu alasannya.

Alasan yang masuk akal, mengingat mereka berdua, suami-istri, bekerja dari pagi sampai sore, bahkan hingga malam, mengakibatkan anak bisa lepas kendali, lupa waktu kalau memegang smartphone tanpa kontrol.

Sayangnya, di saat pandemi covid-19 dimana murid harus belajar di rumah saja dan harus mengikuti pembelajaran jarak jauh (PJJ) khususnya menggunakan WhatsApp dan Zoom, kepemilikan smartphone merupakan suatu keniscayaan.

Sang ayah, sebut saja Pak Handoko, sebenarnya bisa saja memberi pemahaman pada sang ibu, Bu Marni (nama samaran), akan pentingnya Dino memiliki smartphone untuk memudahkan PJJ, dengan memberikan "batasan" berupa aplikasi pemantau pemakaian smartphone bagi anak atau jadwal main game.

Yang terjadi, Pak Handoko membelikan smartphone tanpa sepengetahuan istri dan berpesan pada Dino, "Jangan beritahu ibu ya. Nanti ibumu marah." Ayah mengajari anak untuk berdusta. Dari April sampai Juli, kebohongan tetap tertutup rapat, sampai pada akhirnya, awal Agustus 2020 terbongkar semua dusta.

Jangan sampai orang tua mengajarkan dusta, kebohongan. Fatal akibatnya. Entah bagaimana Dino di masa depan, karena jika terbiasa berdusta, maka akan menganggap dusta itu biasa, normal saja.

2. Kerajinan 

Ini juga menjadi PR berat bagi para orang tua. Kecanduan akan gawai menyebabkan kebanyakan anak mager, malas gerak, sehingga jangankan untuk belajar dan mengerjakan PR; untuk beranjak ke meja makan saja kebanyakan murid les mengaku malas!

Candu game dan film di YouTube menjadi bius yang mematikan nilai kerajinan dalam kebanyakan diri anak-anak saat ini. Apalagi kalau tidak ada kontrol penggunaan smartphone dan kedua orang tua bekerja dari pagi sampai sore dan anaknya tunggal, seperti dalam kasus Dino sebelumnya di nilai kejujuran.

Dalam hal ini, perlu adanya kerjasama yang baik dalam mendidik anak untuk bisa memahami bahwa tidak akan ada hasil maksimal jika anak malas. Ayah dan ibu perlu terlibat secara aktif dan satu suara dalam menanamkan nilai kerajinan pada putra-putri.

Selain soal smartphone, Dino juga bermasalah dengan kerajinan. Dia tidak mengerti mengapa dia harus rajin belajar, karena dengan nilai pas-pasan seperti enam saja, atau bahkan di bawah itu, dia tetap bisa naik kelas, sampai kelas enam SD saat ini. 

Ditambah lagi, dia mengidolakan para YouTuber, seperti Atta Halilintar, Deddy Corbuzier, Ria Ricis, dan lain-lain. Salahkah mengidolakan para YouTuber sukses? Tentu saja tidak salah. Boleh-boleh saja. Yang menjadi salah adalah kalau menganggap keberhasilan meraup komisi adsense dari YouTube semudah membalikkan telapak tangan.

"Enak ya, Pak, si Atta Halilintar. Cepat kaya dari YouTube."

Komentar Dino ini juga pernah dilontarkan oleh beberapa murid SD saya dulu dan juga segelintir murid les. Mereka hanya melihat video-video dimana Atta mempunyai mobil mewah, rumah bak istana, bepergian ke luar negeri, dan segala hal 'wah' lainnya. Sayangnya, mereka tidak pernah menelusuri di dunia maya, mencari tahu, membaca tentang 'kisah pahit' para youtuber tersebut sebelum sesukses saat ini.

No Pain, No Gain. Jika tidak ada 'sakit', tidak ada juga yang didapat. Jika tidak ada kerja keras, tidak akan ada hasil yang memuaskan.

3. Kegigihan

Mudah menyerah. Ini sifat yang sangat mudah saya temui pada sebagian besar murid les dan juga peserta didik SD yang saya ajar dulu. Nilai kegigihan seperti "tidak ada" pada diri anak-anak zaman sekarang. Mereka ingin semua hal gampang mereka lakukan dan seandainya mereka menemui kesulitan, dengan mudahnya mereka angkat tangan, mengibarkan bendera putih tanda menyerah pada keadaan.

Parahnya, terkadang orang tua juga memanjakan anak dengan menyediakan apa saja yang anak inginkan.

Dino lagi sebagai contoh. Dia terbiasa dilayani saat makan oleh ibunya. Bahkan untuk mengupas jeruk saja, dia tidak bisa melakukan karena ibunya yang biasanya mengupaskan untuknya!

Begitu juga dalam pelajaran. Karena Dino tidak suka membaca, hampir semua pelajaran tidak dia sukai, tapi yang paling dia benci adalah Matematika. Dan bisa dipastikan, dia pasti menyerah, "mengabaikan", itu istilah dia kalau berhadapan dengan soal-soal Matematika yang rumit di pemikirannya.

"Nggak ngerti, Pak," begitu alasannya selalu. Sudah dijelaskan berulang-ulang, dua-tiga kali, bahkan sampai berkali-kali, sukar bagi Dino untuk memahami.

Selain memang tidak rajin (dibaca: malas), dia juga cepat menyerah.

Kebanyakan murid les saya juga seperti itu. Sangat disayangkan, tapi itu kenyataannya.

Tanamkan sejak dini

Sekali lagi, tiga nilai kekekalan ini bisa dikatakan sebagai "modal" bagi anak-anak kita, generasi penerus kita, untuk menjadi pemimpin tangguh di masa depan, karena kejujuran, kerajinan, dan kegigihan adalah nilai-nilai yang mutlak diperlukan, apalagi di masa depan yang mungkin akan lebih sukar dihadapi daripada kondisi sekarang.

Sebagai penutup, saya akan mengakhiri dengan suatu pernyataan yang kiranya mengetuk atau menggedor hati nurani Anda sebagai orang tua, bahwa mendidik itu bukan monopoli tugas guru sekolah, tapi tugas utama Anda. Membiarkan anak "mencari jalan sendiri" niscaya akan menjerumuskan mereka ke arah yang salah, karena coba-coba sendiri.

Pernyataan ini sebenarnya tidak asing, mungkin Anda pernah mendengarnya, yaitu "Lebih baik keras pada anak sekarang, maka dunia akan lunak kelak; daripada lunak pada anak sekarang, dan dunia akan keras kelak".

Didik anak, supaya mereka bisa menghadapi dunia nyata yang keras di kemudian hari.

Lepas tangan pada pendidikan anak, niscaya mereka tak bisa menghadapi dunia nyata yang keras kelak.

"Jangan abaikan hal mendidik anak. Itu tugas utama Anda."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun