Mohon tunggu...
Hamdali Anton
Hamdali Anton Mohon Tunggu... Guru - English Teacher

Saya adalah seorang guru bahasa Inggris biasa di kota Samarinda, Kalimantan Timur. || E-mail : hamdali.anton@gmail.com || WA: 082353613105 || Instagram Custom Case : https://www.instagram.com/salisagadget/ || YouTube: English Itu Fun

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Bukan Salah Komnas PA, tapi Salah...

6 September 2020   20:08 Diperbarui: 6 September 2020   19:56 163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kehebohan perihal seruan penghentian penggunaan kata “Anjay” yang diprakarsai oleh Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) menyeruak dalam beberapa hari ini.

Dalam pandangan saya sebagai pendidik, apa yang dilakukan oleh Komnas PA sebenarnya merupakan suatu bentuk keprihatinan akan etika moral anak bangsa yang terlihat mengalami degradasi di era 4.0.

Pertanyaannya, apakah tindakan Komnas PA itu salah?

Seperti yang menjadi judul tulisan ini, saya mengatakan kalau Komnas PA itu tidak salah. Namun saya juga tidak mengatakan bahwa lembaga ini benar. 

“Lho? Mengatakan tidak salah, tapi juga tidak membenarkan? Maksud lu?”

Mungkin begitu pemikiran Anda.

Begini. Maksud saya di sini adalah Komnas PA menyuarakan kesedihan mereka akan sikap, perilaku, dan karakter generasi muda saat ini yang terlihat lebih suka mager, rebahan, dan sibuk dengan prank-prank yang unfaedah. 

Dan salah satu yang sangat kentara adalah penggunaan kata-kata tertentu yang tidak sepantasnya dilontarkan. “Anjay” yang kena batunya, jadi kambing hitam yang dianggap memicu perundungan, merendahkan martabat seseorang.

Bagi saya, seruan Komnas PA mengenai pelarangan penggunaan kata “Anjay” dalam kehidupan sehari-hari itu tidak salah, meskipun pada kenyataannya, “anjay” bukan satu-satunya kata yang kurang pantas diucapkan.

Masih banyak kata-kata lain yang sangat tidak pantas diucapkan, seperti (maaf) bangsat, jahanam, anjing, asu, dan lain sebagainya. Masa cuma anjay yang dilarang? Kenapa kata-kata seperti bangsat, jahanam, anjing, asu, dan lain-lain dibiarkan bebas berkeliaran? 

Itu mungkin masukan untuk Komnas PA dari saya kalau sekiranya membaca tulisan receh saya ini, seorang pendidik sederhana yang berada jauh dari ibukota negara. Saya kira, jangan hanya memusatkan perhatian pada satu kata dan menganggap satu kata tersebut yang merusak moral anak bangsa. Komnas PA harus melihat secara holistik. Keseluruhan.

Di sisi lain, berkenaan dengan fenomena “anjay” tadi, kembali ke judul, bukan salah Komnas PA kalau keliru menyampaikan aspirasi. Seharusnya kalau generasi masa kini terindikasi mengalami penurunan kualitas moral, itu semua adalah salah kita semua yang mempunyai andil terbesar dalam menanamkan nilai-nilai moral yang baik bagi generasi penerus.

Dalam persepsi saya, ada tiga pihak yang menentukan sikap, perilaku, karakter, dan tutur kata generasi muda. Tiga pihak ini yang paling berperanan dalam menanamkan nilai moral pada anak-anak kita. 

Siapa saja tiga pihak tersebut?

Pertama - Orangtua

Saya yakin, semua orang akan setuju kalau orangtua adalah garda terdepan yang menentukan nasib anak sepuluh, dua puluh, bahkan tiga puluh tahun ke depan atau lebih, dimulai sejak anak itu lahir ke dunia.

Orangtualah yang sangat berperanan paling besar dalam tumbuh kembang anak, khususnya dalam menanamkan nilai-nilai agama kepada anak. Menabur nilai-nilai kebajikan dari kitab suci bukan tanggung jawab guru agama di sekolah saja, tapi tanggung jawab orangtua juga. 

Bagaimana orangtua membiasakan anak untuk berdoa, membaca kitab suci dan merenungkannya, serta melakukan firman-Nya dalam kehidupan sehari-hari adalah kewajiban orangtua yang diberikan Sang Pencipta untuk mendidik anak menjadi generasi unggul dan bermartabat.

Selain itu, orangtua juga wajib mengajarkan tentang disiplin waktu, bagaimana menjalani hidup sehat, etika berbicara pada orang yang lebih tua, dan lain sebagainya.

Pengalaman saya sebagai guru bahasa Inggris di berbagai Sekolah Dasar (SD) selama kurang lebih 20 tahun memberi saya wawasan kalau semakin tahun bertambah, anehnya, orangtua semakin melepaskan tanggungjawabnya dalam mendidik anak. Mereka sepenuhnya menyerahkan tugas mendidik anak pada sekolah.

Tidak semua orangtua seperti itu, tapi kebanyakan seperti itu. Bahkan, ada salah seorang ibu beberapa tahun yang lalu, yang berprofesi sebagai dosen dan suaminya juga dosen, tapi sayangnya mereka tidak mempunyai waktu untuk mendidik putra mereka.

“Saya dan suami sudah sibuk sekali dari pagi sampai sore, bahkan sampai malam hari. Tidak bisa mengurus anak. Ibu saya yang kami serahi tugas untuk mengasuh dan mendidik putra kami di rumah,” dalih Bu Donna (bukan nama sebenarnya).

Saya sedih mendengar penuturan ibu ini yang terkesan “cuci tangan” atas kemalasan putranya, sering bolos sekolah, dan yang lebih mengagetkan, sang ibu berkata bahwa anaknya bolos sekolah karena sering sakit, dan ingin bunuh diri karena sakitnya itu!

Kebetulan saya mempunyai kenalan yang anak laki-lakinya juga berkata ingin bunuh diri. Setelah selidik punya selidik, ternyata anaknya suka menonton sinetron religi yang jauh dari konten religi. Sinetron-sinetron bertopeng religi tersebut ditayangkan oleh salah satu televisi swasta.

“Bisa minta tolong Pak Anton hapus stasiun tv tersebut? Supaya dia tidak menonton sinetron-sinetron itu lagi?” pinta Bu Santi (nama samaran).

“Nanti anaknya bisa cari lagi. Kan gampang lewat remote control,” kata saya.

“Dia gak ngerti soal begituan. Sudah, Pak Anton hapus aja,” Bu Santi bersikeras.

Saya pun menuruti apa maunya. Saya hapus channel TV swasta tersebut dan memang terbukti, sang anak tidak bisa mencari saluran TV andalannya. Dia tak bisa lagi menonton sinetron religi (tapi bohong) yang disukainya dan pada akhirnya, hilanglah kata “bunuh diri” dari kamus perbendaharaan kata di otaknya.

Sempat saya berpikir, apakah anak Bu Donna juga menonton sinetron religi (tapi bohong) tadi sehingga tercuat kata ingin bunuh diri? Mungkin saja.

Yang jelas, dalam hal ini, perilaku dan tutur kata anak sebagian besar sangat tergantung pada orangtua, pada didikan mereka. Bukan pada sekolah sepenuhnya.

Kedua - Sekolah dan Lembaga Pendidikan Formal lainnya

Selain orangtua, sekolah dan lembaga pendidikan formal menempati urutan kedua yang menentukan karakter dan tuturan anak. Lima sampai enam jam atau lebih dalam sehari di sekolah. Bukan waktu yang singkat bagi pertumbuhan anak.

Dalam hal ini, saya berharap, pemerintah bisa mendesain ulang atau merombak total kurikulum yang ada saat ini. Sebagus apa pun tertuang dalam hitam di atas putih, sangat jauh dari kata indah di sisi penerapan. Kenapa? Karena terlalu berbasis hasil, bukan proses.

Hasil harus maksimal, peserta didik dicecoki oleh bahan pelajaran yang seabrek, dan tugas yang segebung (apalagi di masa pandemi ini).

Apakah kurikulum ini ramah pada peserta didik? 

Bukan ramah, tapi marah! Membebani peserta didik sedemikian rupa, sehingga malah menambah stres saat belajar di rumah. Sudah tak bisa bertemu dengan teman, dikasih PR yang banyak lagi!

Harapan saya, kiranya pemerintah sadar dan membuat kurikulum yang ramah pada peserta didik. Hasil penting, tapi proses juga sama pentingnya. Jangan sampai menimbun banyak informasi di benak peserta didik dengan ujian yang hanya berbasis hafalan, tapi ternyata apa yang dimasukkan ke otak hanya "sampah" belaka. Tidak pernah diaplikasikan dalam kehidupan nyata.

Peserta didik bukan gelas yang diisi air, tapi seperti tanah liat yang dibentuk menjadi jambangan bunga yang indah. Salah membentuk, akan hancur berantakan pada akhirnya.

Ketiga - Lingkungan pergaulan

Dengan siapa anak bergaul merupakan hal ketiga yang penting sekali untuk diperhatikan. Lingkungan masyarakat di sekitar rumah mempengaruhi pola pikir anak. Namun yang terlebih berpengaruh lagi adalah dengan siapa anak berteman. 

Saya ingat akan suatu kalimat dulu dari seorang guru yang mengajar saya di SMA. Beliau mengatakan, “Berteman dengan penjual parfum, akan ketularan harumnya.”

Saya rasa itu tetap aktual sampai saat ini dan seterusnya. Kalau berteman dengan teman yang baik, kita pun akan ketularan baik. Tapi sebaliknya, kalau kita berteman dengan teman yang tidak sopan, kita pun akan ketularan tidak sopan.

Orangtua dan guru sangat berperanan dalam memberikan pengertian kepada anak, khususnya orangtua, supaya anak tidak masuk dalam pergaulan yang salah. 

Tak jarang saya melihat peserta didik saya yang awalnya baik, sopan, dan rajin, berubah menjadi nakal, sering bolos, tidak sopan, dan malas, dikarenakan berteman dengan teman-teman yang nakal dan kurang ajar.

Imbasnya? Akan ada kata-kata kasar yang peserta didik tersebut keluarkan dari mulutnya karena terpengaruh pergaulan yang tidak baik.

* * *

Komnas PA memang salah, karena tidak memberikan kontribusi yang tepat di masa pandemi covid-19 saat ini.

Anak-anak Indonesia butuh proses belajar dengan nyaman dan menyenangkan di rumah. Mereka butuh dukungan dan tindakan nyata berupa sokongan dana (terutama untuk orangtua mereka yang terkena PHK atau pendapatan tergerus karena dampak pandemi) dan penyederhanaan proses belajar mengajar yang terkesan 'njelimet' saat ini.

Namun, menyalahkan Komnas PA sepenuhnya juga tidak benar karena mereka menyuarakan perihal “anjay” ini, menurut saya, disebabkan keprihatinan akan degradasi etika kesopanan di kebanyakan generasi muda.

Kita semua, baik itu orangtua, sekolah, dan lingkungan, bersalah dalam hal ini. Kita harus bertanggungjawab untuk mendidik putra-putri kita, karena di tangan kita semualah pendidikan itu berlangsung. Bukan hanya di tangan sekolah saja.

Mari kita bersama-sama bersatu menjalankan kewajiban kita untuk menanamkan nilai-nilai kebajikan dalam diri anak-anak kita supaya mereka tidak salah arah, berjalan dalam track yang benar, bertindak sesuai nilai-nilai luhur, dan bertutur kata yang sopan.

Kitalah yang menjadi contoh bagi anak-anak kita. Hati-hati dalam berbicara dan berperilaku. Dengan begitu, kata-kata yang tak sepantasnya tak akan ada dalam benak putra-putri tercinta.

“Kita semua; orangtua, sekolah, dan lingkungan; mempunyai peran yang sangat vital dalam menentukan tutur kata dan perilaku putra-putri kita”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun