Bicara soal sepakbola memang menyenangkan. Saya dulu termasuk penggila bola, meskipun tidak terlalu gila-gila amat. Kalau diminta bermain bola secara langsung, saya cuma bisa tersenyum.Â
Saya cuma suka nonton bola, bukan suka main sepakbola.
Saya juga pernah menulis tentang sepakbola di mari, tapi itu terjadi dua tahun yang lalu. Saya berhenti menulis tentang sepakbola sejak itu.
Apakah saya pensiun, berhenti sama sekali menulis tentang sepakbola?
Tentu saja tidak. Saya tetap ada niat menulis tentang bola, namun memang selama dua tahun ini saya tidak ada niat kuat untuk menulis seputar si kulit bundar.
Ada tiga alasan yang mendasari.
Pertama, Sudah tidak kuat begadang
Yah, mau bagaimana lagi. Maksud hati ingin begadang menonton siaran langsung pertandingan sepakbola, entah itu English Premier League, Liga Spanyol, atau yang lainnya. Apa daya, karena jam tayang antara tengah malam sampai dini hari, saya pun mundur teratur.
Faktor usia tak bisa membohongi. Tensi bisa naik, kepala nyut-nyutan, jantung berdebaran, plus diomelin atasan karena datang terlambat. Komplet deritanya, bro!
Sempat asa muncul waktu mengetahui bahwa karena covid-19, sistem pertandingan UEFA Champions League dan UEFA Europa League yang digunakan bukan lagi tandang - kandang, tapi memakai sistem gugur alias sekali tanding. Saya berharap sih jadwal lebih 'bersahabat', dimundurin ke jam 7 atau 8 malam Waktu Indonesia, jadi gak kemalaman tidurnya. Ternyata sami mawon. Tetap dini hari diadakannya.
Ya, apa boleh buat. Terpaksa jadi pembaca berita yang setia.Â
Kedua, Pelatih favorit sudah pensiun
Saya bukan tipikal orang yang terlalu mengidolakan sosok tertentu. Bagi saya pribadi, setiap manusia mempunyai kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Tidak ada yang sempurna.
Hanya saja, sosok pelatih yang satu ini, bagi saya, sungguh istimewa.
Sosok pelatih sepakbola ini diberi kepercayaan oleh sang empunya klub untuk membentuk tim sehingga menjadi kesebelasan yang solid dan mengusung permainan menawan.
Tahun-tahun awal nirgelar. Untung saja pemangku kebijakan di klub bersabar diri, karena mengetahui proses membentuk tim hebat tidak semudah membalikkan telapak tangan.
Sayangnya, era sudah berubah. Sekarang, nirgelar di musim pertama, alamat dipecat dari jabatan sebagai pelatih.
Pelatih favorit saya adalah Sir Alex Ferguson, mantan pelatih Setan Merah, The Red Devils, Manchester United.Â
Saya terkesan dengan permainan menyerang mereka yang atraktif, terutama waktu masih berjayanya The Class of '92 dimana personel masih lengkap jaya, semisal David Beckham, Ryan Giggs, Paul Scholes, Gary Neville, dan lain-lain. Selain itu juga ada Roy Keane dan tak ketinggalan, Eric "King Eric" Cantona.
Ferguson sudah membangun skuad MU menjadi mumpuni dan disegani di kancah liga Inggris, eropa, dan dunia . Berbagai gelar juara sudah disabet. Itulah sebabnya, meskipun MU sekarang seperti yoyo, tidak stabil permainannya, kadang menang, kadang kalah, saya tetaplah seorang Mancunian. Tak akan berpaling ke lain hati.
Sayangnya, beliau memilih pensiun di tahun 2013. Yah, mau bagaimana lagi. Faktor U memang menjadi kendala. Tak apa. Anda sudah sangat berjasa memberi warna bagi penggemar MU seperti saya.
Setelah Ferguson lengser keprabon, saya kurang begitu berminat lagi membicarakan tentang sepakbola. Sekarang, saya cukuplah menjadi penyimak saja.
Ketiga, Pemain andalan ada di klub yang tidak saya idolakan
Meskipun saya seorang Mancunian, ada beberapa klub lain yang saya juga kagumi. Saya angkat topi untuk kecemerlangan mereka dalam bermain bola, semisal Real Madrid, Barcelona, Bayern Munchen, A.C. Milan, dan lain-lain.
Begitu juga dengan pemain andalan. Dari sekian banyak pemain andalan (tentu saja, pemain MU menjadi prioritas utama ^_^), ada salah satu pemain yang tak pernah hilang di hati, meskipun si dia sudah berpaling ke lain klub.
Dia adalah Cristiano Ronaldo. Besar di MU, menyeberang ke Real Madrid, dan sekarang berlabuh di Juventus. Sepak terjangnya sungguh memukau, namun sayangnya, kali ini, saya bisa katakan kalau dia salah memilih klub di penghujung karirnya.
Biar bagaimana pun, saya tetap salut pada Cristiano, karena paling tidak, dia adalah alumni MU. Dia pula yang membuat saya menang beberapa kali saat bermain playstation bersama konco.
MU dan Real Madrid adalah klub-klub andalan saya saat memilih tim di Pre Evolution Soccer (PES) atau Winning Eleven. Faktor Cristiano Ronaldo menjadi alasan utama kenapa saya memilih MU dan Real Madrid saat dia ada di klub-klub tersebut ^_^.
Sayangnya, untuk menulis seputar bola, saya jadi kurang begitu berminat menulis tentang bola lagi. Selain faktor pensiunnya Opa Fergie, juga karena Cristiano berada di Nyonya Tua. Mungkin nanti, saatnya akan tiba kelak dimana saya akan menulis mengenai sepakbola kembali.
* * *
Perihal siapa yang akan meraih gelar juara Liga Champions dan Liga Eropa, saya sih tidak mempunyai bayangan siapa yang akan merengkuh si Telinga Besar dan piala Liga Eropa UEFA.
Yang pasti, untuk Liga Eropa, tidak masalah siapa pun juaranya, asal jangan Inter (harap maklum, selain Manchunian, saya juga Milanisti. Forza Milan!). Untuk Liga Champions, terserah saja. Saya pilih yang menang sajalah ^_^.
Demikianlah tulisan iseng menjelang babak akhir pertandingan akbar final para juara di level Liga Champions dan Eropa.Â
Siapa pun juaranya, ingat satu hal ini. Jangan lupa olahraga. Jangan cuma lihat orang lain main sepakbola, tapi kita sendiri lalai dengan kesehatan sendiri.
Tetap jaga kesehatan.Â
Salam Sepakbola
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H