Mohon tunggu...
Hamdali Anton
Hamdali Anton Mohon Tunggu... Guru - English Teacher

Saya adalah seorang guru bahasa Inggris biasa di kota Samarinda, Kalimantan Timur. || E-mail : hamdali.anton@gmail.com || WA: 082353613105 || Instagram Custom Case : https://www.instagram.com/salisagadget/ || YouTube: English Itu Fun

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Seandainya Saya Tidak Mengenal Gitar...

20 April 2020   11:22 Diperbarui: 20 April 2020   11:32 296
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bicara soal gitar, bicara soal benda yang menjadi andalan saya di saat pandemi sekarang. 

Kenapa saya bilang gitar sebagai andalan saya di masa susah sekarang ini? 

Saya tidak bicara tentang materi, karena saya bukan musisi atau guru musik. Saya tidak memperoleh pendapatan dari bermusik. Saya bicara tentang posisi gitar sebagai "teman" yang selalu ada baik di saat susah, maupun senang, di dalam menjalani proses kehidupan.

Gitar juga merubah paradigma saya. Tapi tidak seketika pola pikir beralih. Ada proses yang saya harus jalani. 

Waktu kecil...

Waktu kecil, saya tidak pernah membayangkan kalau saya bisa memainkan gitar seperti saat ini. Menjadi guru saja tidak terbayang di pikiran, apalagi bisa memainkan gitar seperti sekarang. 

Ayah dan ibu suka mendengarkan musik. Itu yang mendasari awal mula kesukaan pada musik di diri kami, anak-anak mereka. 

Saya anak ketujuh dari tujuh bersaudara. Waktu itu, ayah membelikan piano dan organ. Kami semua, tujuh-tujuhnya, dileskan piano dan organ. 

Saya, sebagai anak bungsu dalam keluarga, terkadang kesal dengan perlakuan kakak-kakak saya. Kenapa kesal? Karena mereka pasti akan menyuruh saya les duluan. 

Yah, yang namanya anak-anak pasti penginnya main tapi main yang sifatnya menyenangkan dan tidak memberatkan. Tapi "main" yang satu ini berbeda. 

Guru les piano kami mewajibkan kami semua untuk duduk tegak waktu duduk di kursi piano. "Supaya mainnya benar," begitu alasannya. Begitu juga soal jari-jari tangan. Harus tegak lurus dengan tuts-tuts piano. "Agar jari bisa bergerak lincah di atas tuts. Tidak tersandung," kata Bu Windi (bukan nama sebenarnya), sang guru piano. 

Duduk tegak, jari tangan tegak lurus di atas tuts, sangat jauh dengan sifat anak usia dini. Saya inginnya lari-lari, tidak mau duduk manis di atas kursi piano dan ditambah lagi, harus memainkan piano selama 30 menit. Meskipun cuma setengah jam, bagi anak yang berumur sekitar sembilan tahun, sudah sangat "menyiksa". Serasa seabad. Serasa berjam-jam. 

Belum lagi pekerjaan rumah yang harus dikerjakan. Menulis not balok berendeng seperti kecambah cukup menyiksa, meskipun kalau saya pikir sekarang, PR-nya tidak banyak. Hanya menulis sekitar lima baris saja sebenarnya tidak memberatkan.

Satu demi satu kakak saya berhenti les. Saya pun akhirnya juga ikut berhenti karena melihat kakak-kakak saya berhenti dan orangtua tidak memarahi. 

Dari tujuh orang, hanya tinggal satu orang yang tetap belajar piano sampai dia selesai SMA dengan guru yang sama, bahkan setelah lulus SMA, berkarier sebagai guru piano di salah satu lembaga musik terkemuka di Jakarta. 

Ini salah satu video permainan piano kakak saya ^_^.

Awal pandang...

Saya sempat belajar gitar waktu SMP, karena memang ada gitar kakak saya yang sulung di rumah. Kakak saya yang masih les piano sampai SMA tadi yang mengajarkan saya sedikit dasar pengetahuan permainan gitar klasik. 

Selebihnya, saya belajar sendiri, autodidak, dari membaca dan mempraktekkan isi buku-buku seputar gitar klasik (belum ada internet waktu itu). 

Saat itu, saya berpikir bahwa main gitar hanya untuk fun saja. Sampai saat kuliah pun, saya masih berpikiran seperti itu. 

Namun setelah melihat salah satu teman guru menggunakan gitar untuk mengajak murid-murid menyanyi, kok tangan saya jadi "gatal" ingin gitaran, menggunakan gitar untuk mengajak murid menyanyi seperti teman saya itu. 

Saya mencobanya dan ternyata antusiasme peserta didik dalam belajar bahasa Inggris meningkat karena ada unsur menyanyi tadi.

Mengiringi murid menyanyi di kelas dan juga terlibat dalam acara perpisahan murid kelas enam sudah pernah saya lakoni. 

Yang saya sesalkan, saya tidak mendokumentasikan momen-momen itu. Tidak ada foto saat saya mengajak peserta didik menyanyi. Video juga tidak ada. 

Tapi, kenangan akan belajar yang menyenangkan bersama saya tidak hilang dari benak mayoritas mantan murid saya. Sampai sekarang, sudah lebih dari 20 tahun, mereka masih mengingat saya. Mereka masih ingat nama saya. 

"Masih ingat saya, Pak Anton?"

"Siapa ya?"

"Bella. Dulu bapak ngajar saya di SD @nomention."

"Wah, maaf, Bella. Bapak sudah lupa."

"Ya, tidak apa, Pak. Kan mantan murid bapak banyak. Wajar kalau udah lupa. Lagipula sudah lama sekali. Bapak masih ngajar di sana?"

"Bapak sudah tidak ngajar di sana lagi."

"Wah, sayang. Bapak asyik ngajarnya. Nyanyi, main game. Pasti murid-muridnya merasa kehilangan bapak."

Bella (bukan nama sebenarnya) adalah salah satu dari ribuan murid yang pernah saya didik. Komentar seperti Bella bagaikan setetes air di tengah padang pasir. Menyejukkan, tapi sekaligus mengharukan. 

Menyejukkan, mengetahui fakta bahwa peserta didik menikmati proses belajar mengajar adalah suatu penghargaan yang tidak bisa diukur dengan uang. 

Mengharukan, karena saya terpaksa harus mengecewakan mereka karena memutuskan pindah ke sekolah lain, memilih untuk tidak bersama mereka lagi karena sesuatu dan lain hal. Mereka merasa kehilangan sosok guru yang mereka sukai. 

Apakah ada peserta didik yang tidak menyukai saya? Tentu saja ada. Saya bukan malaikat. Saya bukan orang suci. Saya manusia biasa. Pernah berbuat salah. Namun, saya tidak menghiraukan perkataan miring orang lain, karena apa yang saya sudah perbuat sebelumnya, baik benar atau salah, adalah lumrah. Sejauh tidak bertentangan dengan nilai-nilai kehidupan, saya tetap jalan terus.

Perkembangan lebih lanjut...

Hidup terus berlanjut. 

Gitar sudah memberi "warna" yang unik, bukan saja untuk saya, namun juga untuk sekolah-sekolah dimana saya pernah mengabdi dan peserta didik yang saya pernah ajar. 

Sayangnya, kenangan-kenangan itu hanya ada di benak saya dan mantan murid-murid. 

Saya ingin ada wadah untuk menampung memori-memori indah yang tidak akan mungkin terulang kembali. 

Saya juga ingin mengembangkan kemampuan gitaran, dan menuangkan dalam tempat yang bisa menampung kebisaan diri. 

Youtube menjadi tempat yang tepat untuk itu.

Saya pun mengasah kemampuan gitaran setelah sebelum-sebelumnya "dininabobokan" dengan seabrek kesibukan dan alasan "tidak ada waktu", serta stigma dalam benak yang bertuliskan "tidak dapat duit dari hobi gitaran".

Padahal, tidak semua hal di dunia, seperti kebahagiaan dan kesehatan, bisa dibeli dengan uang. Mengerjakan sesuatu yang disuka pun bisa menimbulkan kebahagiaan dan kesehatan.

Akhirnya, beberapa video gitaran tercipta, dan youtube menjadi album video, yang selama masih eksis di dunia maya, tidak akan usang dan layu seperti album fisik di dunia nyata. 

Ini dua di antaranya. 


Seandainya saya tidak mengenal gitar, mungkin hidup saya tidak mempunyai "warna" seperti sekarang. 

Ke depan...

Apa proyeksi saya ke depan?

Saya tidak punya proyeksi muluk-muluk. 

Selagi masih bisa dan kuat, saya akan tetap gitaran. Karena semakin tua, respons fisik menjadi semakin lemah. Waktu saya sudah sangat sempit. Oleh karena itu, saya maksimalkan waktu yang ada untuk berkarya selagi masih berdaya. 

Semoga saya bisa memberikan yang terbaik bagi Anda dan bisa menghibur Anda di tengah pandemi ini. 

Seandainya saya tidak mengenal gitar, mungkin saya tidak menjadi seperti sekarang.

Saya tidak bisa membayangkan diri saya menjadi seperti apa tanpa gitar. 

Gitar, bagaikan sahabat saya.

Semoga Anda tetap kuat di masa pandemi ini.

Salam kompasiana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun