"Maksudnya, kemampuan mereka ini ada di tengah-tengah, Pak. Saat menemui bacaan yang pernah mereka baca, mereka ngebut membacanya. Ingin cepat selesai, tapi mereka 'menambahkan' satu atau dua kata sebagai 'bonus'. Misal, 'Kami berenang di kolam renang Gelora'. Mereka menambahkan satu kata di belakang seperti 'Kami berenang di kolam renang Gelora Mahakam. Kata yang tidak ada jadi ada. Kan aneh!
"Yang setengah tidak, misalnya 'Budi sudah makan nasi goreng'. Mereka membacanya 'Budi makan nasi goreng'. Mereka kasih 'diskon'. Satu kata hilang di kalimat tersebut."
Apa sebabnya anak masih belum lancar membaca?Â
Sebagai guru selama dua puluh tahun lebih, kelancaran membaca dari generasi ke generasi, sepengamatan saya, semakin menurun. Seharusnya, seiring meningkatnya teknologi, semakin lancar pula anak membaca. Ini malah bertolak belakang.Â
Mungkin Anda tidak sepaham dengan saya, namun saya menganalisa kecenderungan penurunan kelancaran membaca dari generasi ke generasi disebabkan oleh tiga hal.Â
1. Tidak suka membaca
Saya jarang sekali melihat keluarga-keluarga yang mempunyai kesukaan akan membaca buku.Â
Mahalnya harga buku, saya rasa, adalah salah satu faktor pemicu. Belum lagi tingkat sosial ekonomi keluarga, serta tingkat pendidikan orangtua juga menentukan kesadaran akan pentingnya membaca buku (meskipun ada juga orangtua murid saya dulu, yang meskipun cuma lulusan SD dan berprofesi sebagai penjual gorengan di saat malam hari, tapi sangat menanamkan kecintaan membaca buku bagi anak mereka. Salut sekali pada mereka).
2. Menghabiskan waktu dengan menonton TV dan YoutubeÂ
Karena tidak membaca, anak-anak ini kebanyakan menghabiskan waktu dengan menonton TV, khususnya mayoritas anak-anak dari keluarga dengan tingkat ekonomi menengah ke bawah yang tidak begitu mampu membeli smartphone yang bisa internetan. Kalaupun bisa membeli smartphone, membeli kuota internet tidak menjadi prioritas.Â
"Lebih baik buat beli beras, Pak," kata Bu Rina (nama samaran), yang suaminya bekerja sebagai kuli bangunan.Â
TV, dengan adanya TV kabel, memanjakan mata dan keinginan anak-anak itu, untuk bersantai dan tidak melakukan apa-apa. "Ada hiburan. Stress belajar terus," kata Roy, bukan nama sebenarnya, siswa kelas enam, murid Pak Doni, yang sempat saya tanya perihal kesukaannya menonton TV.Â
Kalau menonton program TV seperti National Geographic atau Animal Planet sih bagus. Sayangnya, malah program TV yang alay nan lebay yang malah mereka tonton.Â
Yang tingkat ekonomi menengah ke atas beralih matanya ke Youtube, channel tontonan milyaran atau mungkin triliunan manusia. Kalau menonton video yang menambah dan meningkatkan keterampilan sih bagus, seperti video bagaimana cara memasak sayur bening; 3 langkah mudah bisa berbahasa Inggris dalam waktu 30 hari; atau rahasia mencapai profit ratusan juta dari Instagram.Â