Dalam membaca dan menulis juga begitu. Kalau ada kata-kata yang mereka tidak tahu artinya, alih-alih mencari makna kata di kamus fisik, mereka langsung bertanya pada saya, guru mereka.
"Gak ada kamus, Pak. Kan juga gak boleh pake handphone, jadi gak bisa pake Google Translate," kata Doni (bukan nama sebenarnya), salah seorang murid privat saya, siswa SMK.Â
"Bingung cari di kamus, Pak. Banyak tulisan. Kelamaan. Kalau tanya sama bapak kan cepat, hehehe," kata Santi (nama samaran), siswi kelas XII di salah satu SMA di Samarinda.
"Tanya bapak aja. Bisa aja sih nyari di Google Translate. Hape kan di tangan. Tapi kalau nanya bapak kan gak perlu ngetik. Langsung dapat jawabannya," kata Edwin, bukan nama sebenarnya, salah satu siswa SMA favorit di Samarinda, jurusan IPA.Â
Yang bikin jengkel, sebentar-sebentar melihat handphone dengan alasan, "Menunggu tugas dari guru sekolah, Pak. Gak papa ya, Pak."
Gimana mau fokus belajar kalau handphone ada di tangan?Â
Apa jadinya dengan generasi ini saat mereka kuliah dan memasuki lapangan kerja?Â
Generasi yang mayoritas tidak suka membaca. Jangankan buku atau literatur Inggris, buku atau literatur Indonesia saja jarang atau nyaris tidak dibaca sama sekali.Â
Kebiasaan bermain game online atau nonton video di Youtube menjadi keseharian generasi saat ini. Miris melihatnya. Negara-negara maju seperti Singapura, Jepang, Korea Selatan, dan lain sebagainya punya budaya baca yang kuat. Makanya mereka bisa maju secara perekonomian dan intelektual.Â
Tak heran, sampai mau menyandang gelar sarjana, hanya sedikit yang bisa lulus dengan nilai TOEFL yang memuaskan. Faktor jarang membaca buku atau literatur berbahasa Inggris menyebabkan minimnya kosa kata yang mereka punya.Â
Bagaimana bisa mengerti soal TOEFL yang didengar dan dibaca kalau minim kosa kata yang dipunya?Â