Kami berbicara di dek malam sebelum esok pagi kapal merapat di kota B. Semilir angin di kapal sekarang ini mengingatkanku akan kala itu. Sepuluh tahun yang lalu.Â
Namun sekarang berbeda. Aku sudah menjadi orang berada. Dia sudah tak punya apa-apa. Tak ada yang merintangi cinta kami untuk bersama.Â
Tapi, aku tersadar. Aku tidak mau mengkhianati istri dan mendukakan anak-anakku. Dia sudah cinta masa lalu. Istri dan anak-anakku adalah cinta sejatiku sekarang dan masa depan.Â
"Kita berteman saja. Kau carilah laki-laki lain yang bersedia menjadi suamimu. Aku minta maaf. Aku sudah berkeluarga."
Aku pun melangkahkan kaki, menjauh, meninggalkannya di dek seorang diri.
Biarlah kenangan manis, semilir angin di kapal kala itu, menjadi sebatas kenangan. Mimpi menjadi sepasang suami istri bersamanya sekadar angan-angan yang tak kesampaian.Â
Itu hanya kenangan masa lalu. Masa kini dan depan hanya untuk istri dan anak-anakku.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H