Mohon tunggu...
Hamdali Anton
Hamdali Anton Mohon Tunggu... Guru - English Teacher

Saya adalah seorang guru bahasa Inggris biasa di kota Samarinda, Kalimantan Timur. || E-mail : hamdali.anton@gmail.com || WA: 082353613105 || Instagram Custom Case : https://www.instagram.com/salisagadget/ || YouTube: English Itu Fun

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Di Kala Aku "Alih Profesi" Menjadi Pelatih Paduan Suara dan Tari

15 Juni 2019   05:21 Diperbarui: 15 Juni 2019   05:51 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagaimana seandainya Anda menjalani kegiatan yang 180 derajat berbeda dengan keahlian yang Anda punya?

Saya bisa memastikan kalau Anda pasti pusing, karena melakukan hal baru yang belum pernah Anda lakukan sebelumnya.

Sehari-hari sebagai guru bahasa Inggris di esde, eh tiba-tiba didapuk menjadi pelatih paduan suara dan tari. 

Bagaimana ceritanya ^_^?

Acara Perpisahan Tersisa Empat Bulan Lagi

"Tolonglah, Pak. Hanya bapak yang bisa membantu saya."

Bu Dania (nama samaran), ketua panitia acara perpisahan murid-murid kelas enam, meminta tolong dengan sangat pada saya.

Secara pribadi, saya merasa tak enak kalau menolak permintaan tolong dari beliau. Kenapa? Karena beliau sudah berbaik hati membukakan pintu rumah dan mengizinkan saya mengajar les bahasa Inggris untuk putra-putrinya, yaitu Sisi (nama samaran, anak sulung) dan Indra (nama samaran, anak bungsu) di rumahnya.

Pada dasarnya, saya selalu tertarik dengan tantangan baru.

Menjadi salah satu koordinator acara perpisahan adalah tantangan bagi saya.

Meskipun saya mempunyai kegiatan seabrek, saya menyanggupi. Esoknya saya mengatakan kepada beliau bahwa saya bersedia menolong.

Memang bukan kebetulan kalau beliau meminta tolong pada saya. Sebagai guru, memang saya "lain dari yang lain". 

Istilahnya, saya ini "antik dan unik" ^_^.

Saya bosan dengan pengajaran konvensional yang menjemukan. Saya tidak suka mengandalkan metode ceramah yang miskin dengan interaksi, baik rendahnya interaksi antara guru dan murid, maupun minimnya interaksi antara murid dan murid.

Karena rumah saya tidak jauh dari sekolah, hampir setiap hari (kalau tidak hujan), saya membawa gitar saya ke sekolah. Saya menggunakan gitar untuk mengajarkan lagu-lagu berbahasa Inggris; menggunakan ruang multimedia yang sangat jarang digunakan oleh para guru; memakai gambar-gambar atau flashcard untuk menjelaskan pengenalan kata-kata baru, misalnya seputar hewan; dan lain sebagainya.

Rupanya, banyak yang terkesan dengan "sepak terjang" saya, baik dari pihak kepala sekolah, rekan guru, maupun orangtua murid, dan tentunya dari para murid sendiri. 

Ada juga beberapa guru yang terlihat iri, tidak senang dengan keberadaan saya, dan apa yang saya sudah kerjakan. Saya dianggap saingan mereka, cari muka ke kepala sekolah (untuk apa cari muka? Saya kan sudah ada muka ^_^.).

Saya tidak peduli dengan nyinyiran atau ujaran tidak menyenangkan dari beberapa rekan guru, segelintir murid, atau pun antipati dari beberapa orangtua murid.

Saya hanya memedulikan murid, guru, kepala sekolah, dan orangtua murid yang mendukung saya. Untuk yang tidak suka dengan saya, buat apa saya pikirin ?

Nah, mungkin karena kebisaan saya dalam bermain gitar, maka ketua panitia dan guru kelas enam meminta saya untuk melatih paduan suara. Anggota paduan suara adalah siswa-siswi kelas enam yang dipilih oleh guru kelas masing-masing dan bersedia untuk ambil bagian dalam menyumbangkan suara mereka.

Yang menjadi masalah, adalah waktu latihan yang mepet, karena tersisa waktu empat bulan sebelum acara perpisahan.

Saya sempat menyesalkan kepada para guru kelas enam, kenapa waktu di semester satu, para murid tidak dilatih untuk mempersiapkan diri mereka untuk tampil mengisi acara perpisahan. Saya juga mempertanyakan, kenapa bukan siswa-siswi kelas empat dan lima saja yang mengisi acara.

"Tidak lazim seperti ini di sekolah-sekolah saya sebelumnya. Biasanya, di sekolah-sekolah dimana saya mengajar dulu, anak-anak kelas lima atau empat yang mengisi acara-acara yang membutuhkan latihan intensif, seperti drama, tari, dan drumband. Untuk siswa-siswi kelas enam, biasanya mereka hanya menyampaikan pidato perpisahan dan baca puisi," Saya menyatakan pemikiran. Saya berharap, waktu itu, para guru kelas enam dan kepala sekolah berubah pikiran. "Kalau murid-murid kelas enam dilibatkan, dikhawatirkan mereka tidak fokus dalam belajar dan dalam menghadapi ujian. Belum lagi, kalau ada omelan dari orangtua murid karena anak-anak mereka menjadi terlalu lelah, karena mengikuti latihan. Sudah ada bimbel, ada latihan pula. Takutnya seperti itu omelan mereka."

"Ini sudah seperti perpisahan tahun-tahun sebelumnya, Pak. Sudah jadi tradisi," jawab Bu Dini, salah satu guru kelas enam.

Saya pun diam saja. Susah kalau sudah menyangkut soal kebiasaan. Tidak mau mencoba sesuatu yang baru, tidak mau menerima perubahan. Mungkin dulu, tidak masalah kalau murid-murid kelas enam terlibat mengisi acara perpisahan, karena untuk penerimaan peserta didik baru di SMP mungkin lebih mudah, dan juga ada banyak ekskul di sekolah. Namun di tahun-tahun sekarang ini tentu saja tidak bisa disamakan penerapan penerimaan peserta didik di SMP dengan di masa lalu, dan juga ekskul yang tersisa hanya karate!

Namun, saya tak mau berdebat. Ya sudah. Saya jalankan tugas saja. Melatih paduan suara.

Anggota paduan suara terdiri dari murid-murid dari kelas enam, sekitar 30 orang. Laki-laki dan perempuan.

Sebenarnya saya tidak mempunyai dasar yang kuat dalam dunia tarik suara. Ada sedikit. Tidak mendalam.

Sangat sukar mengatur anak-anak ini dalam hal menentukan nada dasar. Mereka suka tidak pas dalam mengambil suara. Saya memainkan gitar dan Michael (nama samaran, salah satu siswa kelas enam) memainkan keyboard dalam nada dasar Do = G untuk lagu pertama. Eh, ternyata anak-anak ini sulit sekali menyamakan suara. Bisa menjadi Do = C. Jadinya, saya dan Michael berusaha mencari nada yang sesuai dengan tingkat vokal anggota paduan suara.

Ada dua lagu yang harus dinyanyikan, permintaan dari para guru kelas enam, yaitu Hymne Guru, yang diciptakan oleh Sartono; dan Terima Kasih Guru yang diciptakan oleh Sri Widodo.

Sebenarnya saya ingin mengusulkan satu lagi lagu gembira, namun karena katanya lagi, "Biasanya nyanyi dua lagu itu," saya pun menuruti ^_^.

Sayangnya, anak-anak ini sepertinya tidak menguasai tangga nada, sehingga sangat sulit untuk membimbing mereka dalam menyanyikan lagu-lagu ini.

Butuh perjuangan keras. Itu pun saya hanya melatih untuk suara satu saja. Tidak bisa melatih untuk suara dua, apalagi tiga.

Mudah-mudahan, ke depan, pelajaran Seni Budaya dan Prakarya (SBdP) mendapat perhatian dari pemerintah, bukan hanya mementingkan mata pelajaran Bahasa Indonesia, Matematika, dan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA).

Ketiga mata pelajaran ini selalu menjadi tolak ukur berhasil atau tidaknya pendidikan di SD melalui Ujian Nasional SD.

Seakan-akan mata pelajaran lain yang tidak diujikan tidak penting. Anggapan umum, seandainya murid A jelek dalam mapel Matematika, berarti dia dianggap bodoh. Tidak seperti itu seharusnya. Siapa tahu, murid A hebat dalam bidang lain, misalnya menggambar.

Mudah-mudahan pemerintah lebih mementingkan keberagaman bakat anak, bukan ingin menyeragamkan anak.

Mendadak Jadi Pelatih Tari

Sbenarnya tak direncanakan, waktu saya menjadi pelatih tari,.

Di awal, saya hanya melatih paduan suara. Untuk tarian, para siswi (kebetulan penari-penarinya perempuan semua) berlatih, yang katanya sambil dibimbing oleh guru kelas masing-masing.

Bu Dania, ketua panitia, meminta tolong saya, untuk mengumpulkan para murid, setelah sebulan saya melatih paduan suara. Waktu itu tersisa tiga bulan lagi, sebelum hari-H.

"Sekalian ikut hadir juga yang ngisi tarian ya, Pak. Kita lihat sekalian, sejauh mana perkembangan mereka dalam menari."

"Baik, Bu."

Saya mengiyakan, dan dalam hati, sebenarnya, saya meragukan hasil latihan nari para siswi kelas enam. Kenapa? Karena, kenyataan yang saya lihat, mereka dilepas begitu saja. Belajar menari di kelas sendiri. Tidak diawasi langsung, tidak dibimbing langsung oleh guru-guru kelas mereka.

Kalau seandainya mereka murid SMP atau SMA, tentu saja bisa belajar sendiri. Mereka sudah sadar akan tanggung jawab. Kalau SD? Tentu saja, masih banyak bermain daripada serius berlatih.

Kelas 6C akan menyumbangkan tari Dayak dari Kalimantan, dan kelas 6A akan menampilkan tari Dindin Badindin dari Sumatera Barat.

Saya sudah meragukan hasil latihan mereka, karena saya lihat mereka tidak serius waktu berlatih di waktu-waktu sebelumnya. Saya bisa memaklumi, karena mereka masih anak-anak, masih suka bermain. Jadi, tentu saja, tidak berpikir jauh, kalau mereka akan tampil di acara yang penting, acara terakhir sebelum mereka meninggalkan jenjang esde untuk beralih ke SMP.

Dan memang, mereka tidak menari seperti yang diharapkan.

"Wah, bagaimana ini, Pak? Ternyata, anak-anak ini malah tidak bisa menari sama sekali. Sisa tiga bulan lagi," komentar Bu Dania, terlihat kecewa.

Setelah agak lama berpikir, pada akhirnya saya menengahi, "Ya sudah, Bu. Saya ikut membantu melatih mereka. Nanti saya cari video di YouTube, tari Dindin Badindin dan tari Dayak yang lebih mudah. Yang mereka pilih ini sulit. Musiknya juga tidak terdengar jelas. Gambarnya juga kabur. Mungkin itu sebabnya mereka tidak bisa berlatih dengan optimal."

Saya pun berjibaku, berusaha mencari video tari Dindin Badindin dan tari Dayak di YouTube.

"Wah, alih profesi jadi pelatih nari, Pak?" gurau Hadi (nama samaran), salah satu guru di esde.

"Hahaha, nggak, Pak. Cuma bantu mengawasi aja," saya hanya tersenyum menanggapi gurauan Hadi.

"Kalau tariannya sukses, kayaknya bapak bisa dijadikan pelatih nari nih," gurau Hadi lagi.

"Ah, Bapak bisa aja bercanda," saya tak terlalu menanggapi humor Hadi, karena masih fokus mencari video-video tari yang mudah ditarikan oleh murid-murid saya.

Bagi saya pribadi, saya hanya kasihan melihat anak-anak ini berlatih tanpa ada yang membimbing. Belajar sendiri itu tidak mudah, meskipun ada video tutorial di YouTube. Kendalanya adalah ketidakseriusan anak-anak itu. Sesuai dengan usia mereka, masih anak-anak, jadi belum menganggap kalau event perpisahan itu merupakan momen yang sangat penting, dimana orangtua mereka menonton mereka langsung waktu mereka tampil di atas pentas.

Tapi, supaya tidak ada kesalahpahaman, terlebih dulu, saya berkata pada guru kelas masing-masing untuk meminta izin,"Bu, kalau boleh, saya ingin membantu melatih anak-anak menari. Kasihan mereka. Tidak ada yang mengajari."

Syukurnya, mereka tidak keberatan dan tidak tersinggung. Malahan, mereka mendukung saya untuk melatih anak-anak itu.

"Terima kasih, Pak Anton. Untung ada bapak. Soalnya kami juga nggak bisa mengajari mereka. Selain nggak punya keterampilan nari, kami juga sibuk menganalisa nilai-nilai mereka. Untuk laporan," kata Bu Dini, yang terlihat lelah, memeriksa tumpukan kertas menggunung di atas mejanya.

Jadilah saya menjabat sebagai pelatih paduan suara dan tari.

Suka dan Duka Melatih Paduan Suara dan Tari

Tentu saja tidak mudah dalam melatih paduan suara dan tari. Selain karena saya harus mengajar bahasa Inggris di sekolah dan les bahasa Inggris di luar sekolah, saya juga harus menyediakan waktu untuk melatih mereka, para peserta didik yang terlibat dalam paduan suara dan tari.

1. Paduan Suara

Seperti yang saya utarakan sebelumnya, saya berusaha menyamakan nada dasar untuk lagu yang akan mereka, peserta didik yang menjadi anggota paduan suara, nyanyikan, supaya nadanya tidak "kesana-kemari".

Main di G, ternyata nyanyinya di B. 

Main di C, eh malah masuk di A ^_^.

Sukar? Ya, sangat sukar. 

Saya tidak menyalahkan anak-anak ini, karena kebanyakan guru esde tidak menguasai seni suara dan seni musik, sehingga mereka hanya sekadar mengajarkan lagu-lagu daerah dan nasional dengan langsung menyanyikan, tanpa mengikuti not angka atau not balok yang ada di dalam buku pelajaran. Dan mereka juga tidak bisa memainkan alat musik. Ini juga menjadi kendala. Padahal, di sekolah ada dua keyboard. Sayang sekali, tidak ada satu pun guru yang bisa memainkan.

Untungnya, waktu kecil saya sempat dikursuskan les piano dan organ oleh orangtua, dan saya sekolah di SD dan SMP Katolik, jadi sedikit banyak, saya paham soal seni suara dan seni musik. Untuk gitar, kakak perempuan saya sempat mengajarkan permainan dasar gitar pada saya. Selebihnya, saya belajar sendiri.

Saya tidak terlalu memaksakan murid-murid saya dalam berlatih. Karena, selain keilmuan saya soal tarik suara tidak luas, saya juga tak ingin murid-murid tertekan. Karena ini bukan perlombaan. Ini cuma acara perpisahan. Bukan memandang rendah acara ini, namun bagi saya, mereka berani tampil saja sudah bagus. Paling tidak, kesempatan manggung ini untuk melatih keberanian mereka, berani tampil di depan orang banyak.

Dengan latihan terutama di akhir pekan, yaitu Sabtu, selama sekitar enam sampai tujuh kali latihan, paling tidak cukuplah. 

Nice Moment, Free style (dokpri)
Nice Moment, Free style (dokpri)

Relax for a moment, Smile (dokpri)
Relax for a moment, Smile (dokpri)
2. Tari

Nah, bisa dikatakan melatih tari ini merupakan tantangan terberat. Meskipun orangnya tidak sebanyak paduan suara, justru di bagian inilah yang penuh dengan "drama".

Mulai dari mundurnya satu atau dua anggota tari karena berbagai alasan, seperti : tidak cocok dengan teman satu tim, orangtua tidak setuju dengan latihan-latihan yang mengganggu waktu belajar untuk persiapan ujian kelulusan, sampai ada anggota yang salah paham dengan perkataan saya.

Belum lagi, sulitnya mencari waktu yang lowong untuk menyatukan para penari, mengingat acara perpisahan sudah semakin dekat, dan perlu berkumpul bersama, supaya ada sinkronisasi dalam pergerakan sewaktu menari.

Keluhan capek dari para murid yang terlibat tentu saja ada. Belum lagi, masalah "jam karet", datang tidak tepat waktu saat mau berlatih bersama. Namun, saya tetap sabar, karena biar bagaimana, asal mereka datang, paling tidak sudah menunjukkan kalau mereka mau berjuang untuk memberikan yang terbaik.

Good job, girls ^_^.

The shadow moved (dokpri)
The shadow moved (dokpri)
Synchronization (dokpri)
Synchronization (dokpri)
Hari-H pun Tiba

Untuk urusan kostum bagi anggota paduan suara, mereka menggunakan seragam sekolah, jadi tidak menjadi masalah. Hanya kostum untuk penari yang menjadi pokok permasalahan. Meskipun begitu ketua panitia beserta jajarannya bisa menindaklanjuti.

Pada akhirnya, semua berjalan dengan lancar.

Apa pun hasilnya, saya tetap bangga pada murid-murid saya. Biarpun penampilan masih jauh dari sempurna, namun mereka berani tampil dengan percaya diri, menunjukkan pada orangtua mereka kalau mereka punya kemampuan, yang mungkin selama ini orangtua mereka tidak tahu.

With Dayaknese Dancers (dokpri)
With Dayaknese Dancers (dokpri)
Terlepas dari kurangnya persiapan, bagi saya, penampilan para murid sudah sangat luar biasa.

Ini adalah pengalaman yang takkan terlupakan dalam hidup saya, selain beberapa pengalaman lain yang akan saya bagikan nanti di kesempatan kemudian.

Intinya, jikalau Anda mendapat tawaran tanggung jawab yang belum pernah Anda kerjakan sebelumnya, jangan langsung menolak. Berdoa terlebih dahulu; pertimbangkan dari berbagai sisi, baik sisi positif maupun negatif, jika Anda mengambil tanggung jawab itu; lalu putuskan.

Jika Anda mengambilnya, lakukan sebaik mungkin. Kalau pun hasilnya gagal atau tidak seperti yang diharapkan, tidak menjadi masalah. Ibarat menulis, pertama kali mungkin acakadut, namun kemudian, setelah berlatih, melakukan berulang-ulang secara konsisten, maka kualitas tulisan akan menjadi lebih baik.

Jika Anda memutuskan untuk tidak mengambil tanggung jawab tersebut, pastikan Anda tidak menyesal jika suatu hari kelak Anda tidak diserahi tanggung jawab yang lain. Dan juga Anda tidak membuat orang lain kecewa sewaktu Anda menolak tugas tersebut.

Meskipun saya ragu waktu di awal, tapi karena saya berdoa terlebih dahulu, memohon tuntunan Tuhan, dan ada perasaan bahwa Tuhan memberi kekuatan dan arahan untuk melatih, maka saya menyanggupi untuk melatih paduan suara dan tari.

Saya merasa bersyukur, masih berkesempatan untuk menjadi orang yang berguna, bermanfaat, bisa menjadi berkat buat banyak orang.

Saya bersyukur masih diberi kepercayaan.

Artikel ini saya buat untuk mengenang momen setahun yang lalu, momen yang tak akan saya lupakan seumur hidup. Untuk mengabadikannya, saya menuliskan artikel ini, dan mengunggah foto-foto yang tak seberapa banyak di instagram dan video di channel YouTube saya.

Untuk menulis artikel ini, mengunggah foto di instagram, dan mengunggah video di channel YouTube saya, saya menggunakan teman cerdas, yaitu Smartfren. Selain karena kecepatan teknologi yang sudah 4G LTE, juga karena harganya yang terjangkau dan kuota melimpah, sehingga tak perlu takut unggahan video di YouTube berhenti di tengah jalan, karena kuota habis.  

Apalagi dengan adanya Program khusus Double Berkah Silaturahmi Smartfren sampai akhir Agustus 2019, sungguh sangat menggembirakan. Dengan hanya membayar 30 ribu, sudah dapat dua kartu perdana Smartfren khusus daerah Samarinda-Balikpapan (Samba), dari harga normal 120 ribu, dengan total kuota 60 GB.

Jadi bikin betah aja di depan laptop ^_^.

Akhir kata, saya hanya berharap, semoga arahan dan bimbingan saya selama melatih murid-murid terkasih bisa bermanfaat bagi mereka saat itu dan di waktu yang akan datang.

"Di kala aku "alih profesi" menjadi pelatih paduan suara dan tari, itu adalah suatu kehormatan bagiku."


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun