"Memang harus punya ya, Bu? Bukan cuma guru kelas aja yang harus punya?" tanya saya heran.
"Bapak juga harus punya. Semua guru harus punya ketiga buku itu tanpa terkecuali, karena setiap guru pasti menghadapi masalah dengan murid setiap waktu. Bukan cuma guru kelas saja.Â
"Dengan mempunyai ketiga buku tersebut, bapak bisa mengevaluasi peserta didik, mengantisipasi kenapa mereka mempunyai problem dalam belajar, misalnya malas membuat PR, sering tidak masuk pada saat pelajaran bapak, atau mendapat nilai di bawah KKM. Lalu bapak juga bisa memanggil orangtua atau wali murid untuk berdiskusi tentang peserta didik. Untuk mencari solusi, bagaimana memecahkan masalah peserta didik," kata Bu Santi lugas.
Sejak itu, seakan mendapat pencerahan, saya pun menyiapkan ketiga buku tersebut, dan sejak saat itu, saya pun mengambil komitmen untuk menyelesaikan masalah dengan peserta didik sendiri, tidak melibatkan guru kelas yang menyandang status PNS.
Kenapa?
Karena kebanyakan dari mereka tak peduli, tidak mau capek-capek mengurusi hal-hal seperti peserta didik malas mengerjakan PR atau bolos sekolah. Bagi mereka, gaji mereka tak juga bertambah dengan tambahan mengurusi peserta didik yang malas.
Saya sudah bosan berdiskusi dengan guru PNS.Â
Tak semua berada di zona nyaman, tak semua sekadar makan gaji buta, namun kebanyakan berperilaku seperti itu, dan tidak mengembangkan kapasitas diri, baik dari segi metode pengajaran, maupun dari keilmuan.
"Yah, meskipun sudah dapat sertifikasi, tapi metode pengajarannya dari dulu sampai sekarang itu-itu saja. Metode ceramah. Gimana Indonesia bisa maju! Mereka juga, setelah pulang, nonton tv aja kerjanya. Baca buku? Mana ada!"
Komentar dari salah seorang rekan guru honorer, sebut saja Gunawan, memang ada benarnya. Sekiranya ada penilaian kinerja yang objektif, pasti mereka tak akan lulus sertifikasi. Untuk Uji Kompetensi Guru (UKG) saja, mereka mendapat nilai yang memilukan.
Tapi, saya sudah tidak peduli dengan guru-guru di zona nyaman ini.