"Sudahlah, Pak. Bapak ngajar aja. Nggak usah aneh-aneh. Nyanyi kok banyak banget porsinya. Itu materi di LKS dan buku paket dihabiskan," kata Mintarsih (bukan nama sebenarnya).
Mungkin Anda masih ingat Mintarsih, rekan guru di sekolah saya, karena saya pernah membahas tentang guru 'antik' ini di artikel sebelumnya yang berjudul "Kenapa Mantan Murid Lupa Sama Mantan Guru".
Mintarsih adalah tipikal guru-guru pada umumnya. Yang sudah mendapat pelatihan dan sudah dapat sertifikasi, namun tetap mengajar dengan metode ceramah yang membosankan dan menyuruh para murid mengerjakan tugas-tugas dari buku LKS dan buku paket dari awal sampai akhir pelajaran.
Tak heran, mantan murid tidak ingat kalau Mintarsih adalah guru Bahasa Inggris mereka dulunya. Bagaimana mau diingat kalau pola mengajarnya tidak istimewa. Monoton. Seperti guru-guru kebanyakan.
Malahan, kebanyakan murid-murid SD tidak suka pelajaran Bahasa Inggris, karena membosankan. Nulis terus, ngomong kagak. Belajar tata bahasa terus. Gurunya galak lagi ^_^.
Belajar Bahasa Inggris itu mem"bisa"kan, bukan mem"bisu"kan
Sama seperti belajar bahasa pertama atau yang biasa kita sebut bahasa ibu, bahasa harus di"bisa"kan, diucapkan terus berulang-ulang sehingga menjadi bisa, mahir mengucapkan.
Jangan mem"bisu"kan. Belajar bahasa dalam kondisi "bisu" tidak akan dikatakan mahir. Menulis mungkin oke, tapi apa gunanya kalau tidak lancar berbicara dalam bahasa target tersebut? Indikator penguasaan bahasa bukan hanya tentang menulis, tapi juga berbicara. Kalau tidak bisa berbicara, orang tidak akan percaya kalau Anda mahir dalam bahasa Inggris.
Saya teringat dengan pengalaman saya di waktu lampau.
Sembilan belas tahun yang lalu, saya mengajar di suatu kursus Bahasa Inggris. Bu Lia (bukan nama sebenarnya), pimpinan kursus, pernah mengatakan pada saya tentang kandidat guru yang melamar ke kursus.
"Bayangkan, Ton. Kurang apa coba. IPK 3,80. Lulusan universitas beken di Indonesia. Masa ngomong terbata-bata, dan diperparah lagi dengan menulis "bantal" dalam bahasa Inggris saja salah. Masa 'filow'. Harusnya 'pillow'," kata Bu Lia.
Tahun 2006, kejadian kedua, teman saya, Ronald (bukan nama sebenarnya) menceritakan tentang calon guru di sekolahnya, salah satu SMA swasta favorit di Samarinda. Doni, sebut saja begitu, sang calon guru tadi, harus menjalani serangkaian tes.