Peringkat keenam dan ketujuh adalah usia yang terbilang sangat muda dan produktif menyumbang persentase yang sedikit sekali, yaitu 229.943 dan 3297 orang.
Intinya dari semua data di sensus tersebut adalah terjadi penyusutan jumlah petani sebesar 5 juta orang dalam kurun waktu 2003 - 2013. Sebabnya? Generasi muda yang tak berminat pada pertanian. Dan jika kita ingin mengambil persentase dari jumlah rentang usia yang digambarkan di atas, terlihat bahwa petani yang berusia lebih dari 45 tahun mengambil porsi terbesar, yaitu 60,8 persen. Ini tentu saja usia yang jauh dari produktif, dimana kekuatan dan daya tahan tubuh sudah sangat menurun di usia-usia seperti ini.
Diperparah lagi, PPL (Penyuluh Pertanian Lapangan) POPT (Pengamat Organisme Pengganggu Tanaman) juga sangat minim, dan 70 persen rata-rata berumur lewat dari 50 tahun. Tentu saja, ini tidak ideal dari segi stamina, menyangkut luas areal yang menjadi tanggung jawab mereka.
2. Pendidikan petani yang rendah
Selain usia petani yang berusia lebih dari 45 tahun adalah yang terbesar dari kelompok usia lain, imbas yang tidak mengenakkan berikut adalah tingkat pendidikan para petani.Â
Dari total petani, 73,97 persen berpendidikan hanya sampai di jenjang Sekolah Dasar (SD). Ini pun terbagi dalam tamat SD atau malah tak menyelesaikan pendidikan SD-nya.
Hal ini menyebabkan paradigma berpikir dalam memajukan pertanian sangat tidak berkembang. Tidak adanya keinginan untuk lebih maju dalam meningkatkan cara bertani ke arah yang lebih modern (semisal mengganti cara membajak sawah, dari menggunakan bajak dan kerbau menjadi menggunakan traktor, atau menggunakan pestisida ramah alam, dan lain-lain) Â dan cara memasarkan hasil panen pertanian ke pihak terkait dengan bagi hasil yang menguntungkan kedua belah pihak, baik pembeli hasil panen maupun petani.
Akibat dari rendahnya pendidikan petani adalah timbulnya poin ketiga.
3. Minimnya transfer ketrampilan pertanian dari orangtua atau masyarakat
Karena rendahnya pendidikan petani, menyebabkan tidak adanya pengajaran kepada generasi muda, baik dari orangtua kepada anak, maupun dari masyarakat petani kepada generasi muda.
Mungkin disebabkan karena :
Pengetahuan akan ketrampilan pertanian yang 'itu-itu saja' dari petani generasi tua, sehingga mungkin para petani generasi tua ini mengira anak atau generasi muda mereka sudah tahu sendiri dan belajar sendiri dari kegiatan bertani rakyat tanpa perlu diajari.
Perpindahan generasi muda ke kota untuk meneruskan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, karena keinginan sendiri dan juga orangtua yang ingin hidup mereka berubah sehingga juga menjadi penyebab generasi muda tidak dekat dengan dunia pertanian.