Memang anak-anak selalu penuh dengan kejutan. Pertanyaan ini, yang spontan keluar dari salah satu murid saya, siswa kelas enam dari salah satu SD Negeri di Samarinda, yang membuat saya sedikit tertegun untuk beberapa saat.
Pertanyaan yang memang perlu pemikiran sangat mendalam.Â
Pertanyaan itu adalah :Â
"Untuk apa ikut nyoblos?"
Pertanyaan lugu yang keluar dari mulut Candra (bukan nama sebenarnya) pada hari Jumat yang lalu, sewaktu saya memberikan les privat, dan membicarakan pergantian jadwal, karena minggu depan, yaitu dari tanggal 15 April 2019 sampai dengan 21 April 2019, adalah minggu terakhir belajar, dan tanggal 22 April, mereka, siswa-siswi kelas enam, akan menghadapi Ujian Akhir, sehingga terpaksa saya mengganti hari les.Â
Jumat, tanggal 19 April 2019 adalah hari libur nasional, karena memperingati wafatnya Isa Al-Masih. Oleh karena itu, saya mengusulkan les di hari Jumat, tanggal 19 April tadi, dimajukan ke hari Rabu, 17 April 2019.
Pertama, mereka, para murid, mengusulkan jam 9 pagi, dan saya di awal setuju. Namun saya kemudian ingat kalau saya harus menyoblos, memberikan suara saya untuk paslon presiden/wapres dan calon legislatif.
"Bapak harus nyoblos dulu. Kan tidak bisa diprediksi selesai cepat atau tidak. Jam sepuluh saja ya kita lesnya," Saya memberikan alasan perubahan jam.Â
Mereka pun setuju, tapi tiba-tiba Candra mengucapkan pertanyaan seperti di awal tulisan ini.Â
"Untuk Apa Ikut Nyoblos?"
Saya pun, setelah beberapa saat berpikir, lalu berkata, "Ini hak setiap warga negara yang sudah layak untuk memberikan suara, memilih presiden dan wakil rakyat untuk lima tahun ke depan, Dra. Di tangan merekalah, presiden dan anggota legislatif, negara ini akan melangkah. Entah maju ke depan, jalan di tempat, atau mundur ke belakang.Â
"Kalau bukan kita yang menentukan, siapa lagi? Kita bertanggung jawab untuk memilih putra-putri terbaik bangsa untuk memimpin. Nanti kalau sudah besar, baru kamu paham," kata saya pada Candra.Â
Anak-anak sekarang memang sangatlah kritis. Mempertanyakan langsung apa yang mereka tidak mengerti. Tapi itu bagus. Berarti mereka tidak menerima langsung apa yang ada begitu saja. Mereka berusaha mencari jawaban yang logis atas apa yang mereka tidak tahu.Â
Bangun pagi dan bergegas ke TPS
Rabu, Tanggal 17 April, 2019. Pemilu telah tiba.
Bangun agak terlambat, saya pun segera mandi, lalu berpakaian, dan segera meluncur ke TPS.Â
TPS 024. Masih sangat lengang waktu saya tiba. Jam menunjukkan pukul tujuh lewat lima menit.Â
Oya, saya belum menyebutkan kalau KTP-el saya masih beralamat di alamat sebelumnya, jadi mau tidak mau, saya harus mencoblos di TPS yang sesuai dengan alamat KTP.
Kembali ke TKP, eh TPS maksudnya.Â
Saya sebenarnya janji dengan Pak RT untuk mengambil formulir C6 atau Surat Undangan Memilih di malam sebelum pemilu. Namun karena ada acara keluarga, saya tidak bisa datang.
"Ah, besok saja, waktu nyoblos," pikir saya.
Ternyata itu adalah kesalahan saya.Â
Waktu saya datang ke TPS 024 pada jam 07.05 WITA, di Samarinda, saya terkejut karena nama saya ternyata tidak ada di daftar pemilih tetap di kertas yang ada di tangan petugas.
"Tenang aja, Pak. Ada kok. TPS kita dibagi dua, karena RT kita banyak warganya. Nama bapak pasti ada di TPS satunya," kata Pak RT.
Saya pun bergegas ke TPS satunya, 047.
Waktu saya tiba di TPS 047, keadaan masih lengang. Berbeda di TPS 024 yang pada jam 07.10 WITA sudah mulai melakukan pemungutan suara, di TPS ini, para petugas TPS masih memeriksa surat suara dan kotak suara, disaksikan dengan beberapa saksi, dalam hal ini, para warga yang memang menjalani pemberian suara di TPS ini.
"Pak, jadi saksi, lihat kelengkapannya. Sudah benar atau belum," kata salah seorang warga yang juga sedang menunggu waktu dibukanya pemungutan suara.
"Oh, kita disuruh jadi saksi ya, Pak?" tanya saya heran.
"Ya, mereka tidak akan buka dan periksa, kalau tidak ada saksinya," kata bapak itu lagi.
"Ya, saya lihat dari jarak jauh aja," kata saya dengan ringan.
Saya berusaha mencari nama saya di kertas DPT yang tertempel (sayangnya, saya lupa mengambil foto DPT dan beberapa dokumentasi gambar caleg di papan di depan TPS).
Puji Tuhan, nama saya ada.
Saya pun duduk ganteng di kursi sambil menunggu detik-detik proklamasi, eeh salah ding, maksudnya detik-detik dibukanya pemungutan suara.
Ibu di sebelah saya gelisah, sambil melirik jam tangannya. Saya pun tergelitik untuk bertanya.
"Gak sabar untuk memberikan suara ya, Bu?" tanya saya, ingin tahu.
"Ah, bukan itu, Pak," jawab sang ibu, terlihat gelisah sambil terus memandangi jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kirinya.
"Kalau bukan itu, lalu apa, Bu?" tanya saya heran.
"Saya harus ada di Bandara jam delapan ini. Katanya mulai pemungutan suara di TPS jam tujuh. Ini sudah mau jam delapan, belum dibuka juga. Di TPS-TPS sekitar, jam tujuh sudah mulai. Bakal terlambat saya ke bandara," keluh sang ibu.
"Sabar, Bu. Sepertinya sebentar lagi dimulai," saya berusaha menenangkan.
"Ah, iya nih. Banyak perempuannya, makanya lambat. Yang di TPS-TPS lain, banyak laki-lakinya," kata ibu itu yang membuat dahi saya mengerenyit.
Kan ibu ini perempuan juga, kok menilai sesamanya lambat. Berarti dia juga lambat dong ^_^.
Tapi saya berusaha untuk meluruskan, "Saya rasa bukan masalah laki-laki atau perempuan, Bu. Saya kira ini masalah perencanaannya, kapan melakukan pemeriksaan surat suara, kotak suara, dan lain sebagainya. Setiap TPS pasti ada kebijakan masing-masing sesuai dengan arahan ketua TPS. Selama tidak melanggar aturan, tidak masalah. Jam tujuh kan patokan umum, karena luasnya daerah Indonesia. Mungkin, kalaupun dilakukan pada jam delapan atau sembilan, masih dianggap bisa ditoleransi. Apalagi kalau dilakukan di daerah Indonesia Timur," kata saya, meskipun saya juga tidak tahu aturan-aturannya, dan sebenarnya saya juga tidak sabar, namun saya pikir positifnya saja. Mungkin karena prosedur harus tepat, jadi mereka hati-hati dalam bertindak.
Akhirnya, pukul delapan, setelah menunggu sekitar satu jam, pemungutan suara di TPS 047 dilaksanakan.
Saya terpaksa memakai KTP-el. Mungkin saja, formulir C6 atau surat undangan ada pada panitia, tapi mereka tidak mengecek keberadaan surat undangan pada arsip mereka. "Bisa juga pakai KTP, asal nama bapak ada di DPT," kata Ibu yang bertugas di meja KPPS.
Namun, bapak petugas di sebelah ibu itu bertanya pada saya yang membuat dahi saya berkerut lagi, "Maaf, Pak. Bapak ada fotokopi KTP-nya. Buat jadi arsip kami, Pak."
"Lho, Pak RT gak ngomong soal itu. Pak RT bilang, cukup bawa KTP dan KK," suara saya agak meninggi. Wah, alamat saya harus cari tempat fotokopi yang buka pada jam delapan ini. Kalau seandainya terjadi seperti itu, yah, bisa keburu banyak yang datang, nomor antrian membubung, jam les privat saya juga bisa jadi molor.
"Oh, bapak tidak usah memfotokopi di luar. Kami punya printer yang bisa fotokopi," ibu petugas itu menengahi, memberi solusi.
"Oh, makasih, Bu," saya menarik nafas lega. Untung, jadi gak perlu keluar, pikir saya lega.
Sempat tergoda untuk tidak nyoblos, kalau ribet harus cari tempat fotokopi untuk fotokopi KTP. Tapi saya teringat dengan pertanyaan lugu murid saya. Saya menetapkan keputusan bahwa satu suara dari saya sangatlah berharga untuk masa depan negara.
"Silakan bapak tunggu di sana dulu ya, Pak. Nanti kami panggil," kata ibu petugas itu, sambil merapikan berkas-berkas.
"Oh ya, Bu. Terima kasih," kata saya, sambil beranjak ke kursi plastik berderet, bergabung dengan tiga - empat warga yang tak sabar ingin segera mencoblos.
Ada satu bapak yang mengajak saya berbincang-bincang mengenai kekurangan-kekurangan dari pemilu kali ini, beserta dengan salah satu saksi dari satu partai tertentu (saya tidak usah ungkapkan dari partai mana ya, nanti dibilang saya pro partai tersebut ^_^).
"Nanti kalau bisa, sampaikan ke panitia, supaya cepat, dan tidak terulang seperti pemilu sebelumnya, dipilah per partai. Partai nomor satu, berapa surat suara yang memilih, Partai nomor dua, berapa surat suara yang memilih, dan seterusnya ...."
Saksi dari satu partai tertentu itu cuma tersenyum. Saya pun tersenyum, karena mengenai prosedur, pasti sudah ada petunjuk pelaksanaan (juklak) dan petunjuk tertulis (juklis) yang panitia TPS pegang. Jadi, sebenarnya, tak perlu memberikan saran, karena sistematika penghitungan suara sudah disusun.
Tapi, menimbang bapak yang mengutarakan pendapat ini sudah cukup berumur, jadi Mas saksi (saya panggil "Mas", karena terlihat muda, masih seumur mahasiswa layaknya ^_^) tersenyum saja. Mungkin dia bisa mengerti, kalau membantah, bisa tambah panjang cerita ^_^.
"Bapak Hamdali Anton."
Akhirnya, saya dipanggil juga! Nomor absen tiga. Saya pun mendapat surat suara sebanyak lima. Untuk Presiden/Wapres, DPR RI, DPRD Provinsi, DPRD Kota, dan DPD.
"Mohon maaf, Pak, dicek terlebih dahulu, apakah surat suara utuh, tidak rusak," kata ibu petugas yang memberikan surat suara.
Saya memang sudah melihat warga nomor antrian satu dan dua barusan, yang juga harus memeriksa surat suara dibantu dengan petugas yang membukanya. Karena itu, saya pun meminta tolong petugas laki-laki, di sebelah ibu tersebut untuk melakukan hal yang sama, membantu saya membuka surat suara dan memeriksa keutuhannya.
Memang membutuhkan waktu sedikit lebih lama, karena lebarnya kertas surat suara. Dalam hati, saya berpikir, "Semoga untuk pemilu mendatang, penggunaan kertas suara bisa dikurangi. Kalau memungkinkan, pakai teknologi, seperti e-voting, menggunakan layar sentuh untuk memberikan suara, sehingga mengurangi penggunaan kertas).
Setelah memeriksa semua surat suara dalam kondisi baik, saya pun melangkah ke bilik suara. Coblos sesuai hati nurani. Saya pun dengan mantap mencoblos satu per satu surat suara (mau foto, takut ada warga yang tak sabaran menunggu saya, meskipun totalnya ada empat bilik suara ^_^).
Akhirnya, saya pun melangkah ke kotak suara, dan memasukkan satu demi satu surat suara, dan finalnya, mencelupkan jari kelingking kiri saya ke botol tinta, bukti kalau saya sudah berpartisipasi memberikan suara saya.
Menunggu hasilÂ
Memang sebagai warga negara, sebaiknya kita memilih sesuai dengan hati nurani, bukan sekedar ikut-ikutan pilihan orang lain, atau karena faktor emosi.
Pertanyaan lugu dari seorang murid saya tentang "untuk apa ikut nyoblos" memberikan saya wawasan, perspektif baru bahwa alasan kuat untuk andil memberikan suara itu harus ada dalam setiap warga negara. Satu suara sangatlah berarti untuk menentukan nasib bangsa dan negara lima tahun ke depan.
Saya sudah menunaikan tanggung jawab memberikan suara sesuai dengan hati nurani. Saya percaya, Anda semua, warga negara yang termasuk dalam DPT sudah menunaikan tanggung jawab memberikan suara sesuai dengan hati nurani.
Sekarang kita tinggal menunggu hasil pemilu.
Alih-alih muncul euforia karena hasil quick count beberapa lembaga survei yang memenangkan salah satu paslon, lebih baik kita bersabar, dan menunggu hasil real count, penghitungan suara yang sebenarnya, yang resmi dari KPU.
Kita berdoa, semoga hasil terbaik yang tercapai.
Tetaplah menjaga kedamaian di Indonesia. Seperti yang pernah saya sebutkan terdahulu di artikel lain, kita ini bersaudara. Tinggal di negara yang sama, berstatus warga negara Indonesia, dan berbahasa yang sama, bahasa Indonesia. Tetaplah jaga kerukunan di antara kita, meskipun berbeda pilihan.
Kita tunggu hasil real count dari KPU.
Salam Kompasiana.
*
Samarinda, 18 April 2019
Anton
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H