Debat kelima merupakan magnet untuk tidak keluar rumah kemarin malam. Kebetulan saya juga lagi malas keluar, dan Gunawan (bukan nama sebenarnya) kebetulan juga mengontak saya, "Bro, aku datang ke tempatmu ya. Mau nonton debat bareng."
"Oke," jawab saya singkat.
Saya pun menunggu Gunawan, sambil ngopi ganteng di depan layar teve.Â
Tak lama Gunawan datang sambil membawa sekotak terang bulan dan kacang rebus, "Untuk cemilan sambil nonton. Gak asik kalau gak ada yang dikunyah-kunyah," kata Gunawan nyengir.Â
"Ah, repot-repot amat kamu, Gun," Saya sih bersyukur juga kalau dia bawa cemilan. Maklum, tanggal tua ^_^.
Sebelum debat dimulai, biasalah basa-basi para politikus di layar teve, baik dari pendukung kubu 01 maupun 02, atau pun dari para pembawa acara. Saya pun berbahas sedikit dengan Gunawan, tapi di luar topik debat, yaitu soal kerjaan, anak, keluarga, kapan pulang kampung, dan lain sebagainya.Â
Waktu debat dimulai, otomatis fokus mengarah ke layar teve. Sesekali komentar keluar, baik dari mulut Gunawan atau saya.Â
Saya tahu, di pilpres tahun 2014 lalu, sohib saya ini mendukung Prabowo. Dia pun tahu kalau saya menaruh pilihan pada Jokowi. Meskipun begitu, hubungan di antara kami baik-baik saja. Tak pernah berdebat soal pilihan.Â
Namun malam ini, saya kaget, waktu mendengar dia bicara sesudah debat usai.Â
"Seandainya Prabowo optimis, mungkin saya tidak pilih Jokowi," kata Gunawan sambil menyeruput kopi hitamnya.Â
"Oh, jadi kamu sekarang beralih dukungan ke Jokowi?" tanya saya kaget, bercampur heran. Biasanya teman saya ini selalu kukuh pada pendirian. Sekali A tetap A. Begitu selalu semboyannya.Â
"Kalau menyangkut nasib bangsa dan negara ke depan, kita harus hati-hati mengambil keputusan. Kalau kita pikir, setelah mempertimbangkan sesuai hati nurani, kita menyadari kalau pilihan sebelumnya salah, kita harus mengakui kalau salah, dan beralih ke pilihan lain yang lebih pantas, sebelum pencoblosan," kata Gunawan.Â
"Tumben, Gun. Biasanya kamu teguh pendirian. Sekali A, tetap A. Sekali B, tetap B. Kok sekarang beda?"
"Kan sudah kubilang tadi. Suara kita penting. Memilih pemimpin bukan urusan gampang. Harus dipikirkan masak-masak. Aku sudah pindah dukungan sejak lama sebenarnya, tapi aku gak pernah bilang siapa-siapa. Apalah aku ini. Bukan anggota partai, bukan caleg, cuma pengusaha kecil-kecilan yang berjuang setiap hari, mencari rezeki. Sama dengan kamu. Guru yang berjuang mencerdaskan anak bangsa. Kita ini semua orang sederhana, gak mikir yang aneh-aneh."
Sejenak Gunawan menyeruput kopinya, menyiram tenggorokan yang mungkin perlu siraman energi supaya lebih lancar mengeluarkan opini.Â
"Tapi," Gunawan melanjutkan, "Kurasa kamu juga setuju, kalau memilih Presiden pasti pilihnya yang optimis. Iya kan?"
"Pastilah. Masa pesimis," Saya mengiyakan.Â
"Itulah yang sangat kusayangkan dari Prabowo. Alih-alih optimis, dia malah terus menerus mengungkapkan soal kebocoran kekayaan Indonesia ke luar negeri, dan yang menjadi blunder terparah adalah menyalahkan presiden-presiden terdahulu atas kondisi ekonomi Indonesia sekarang yang jauh dari kata oke menurut dia. Padahal salah satu partai koalisi pendukungnya adalah Demokrat, yang mana SBY termasuk presiden terdahulu. Masa dia menjelekkan pendukungnya sendiri."
Gunawan jeda sejenak, mengambil satu potong terang bulan, sementara saya pun ijin ke kamar kecil sebentar, menuntaskan hasrat buang air kecil.Â
Setelah saya kembali dari kamar kecil, dan meletakkan pantat di karpet, Gunawan pun melanjutkan, "Aku salut dengan Jokowi. Dia tetap optimis. Apalagi closing statement-nya yang sangat membangun optimisme. Di tengah kesulitan saat ini, rakyat membutuhkan pemimpin yang memberikan semangat, mengajarkan supaya tetap optimis, jangan mudah menyerah. Pemimpin yang memberi harapan, dan itu kurasa ada dalam diri Jokowi."
Malam itu, kami menyudahi tontonan debat. Gunawan pulang dengan pilihannya yaitu Jokowi, sosok yang layak menjadi pemimpin kembali, menjadi presiden kembali. Saya pun berpendapat demikian.
Closing Statement sudah mencerminkan kualitas dan kepribadian Jokowi.Â
Apa pun pilihan kita, tetaplah saling menghormati dan menghargai, karena kita semua bersaudara. Kita semua bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia; berbangsa yang satu, bangsa Indonesia; menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
Selamat menentukan pilihan.
Salam Kompasiana.
*
Samarinda, 14 April 2019
Anton
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H