Tapi, saya tak menyalahkan kondisi itu. Saya berusaha mencari solusi, bagaimana saya bisa sembuh dari sakit pinggang ini.Â
Saya pun berusaha melakukan peregangan otot pinggang, seperti yang ada di buku yang pernah saya baca, masukan dari para guru olahraga di sekolah, atau dari internet; dan tetap melakukan olahraga secara teratur.
Ajaib. Bulan ketiga, sakit itu hilang. Lenyap. Puji Tuhan ^_^.
"Namun, mungkin juga karena tubuh bapak butuh penyesuaian, karena mengajar 19 kelas belum pernah dilakukan sebelumnya," kata Pak Ronald (bukan nama sebenarnya), salah satu teman, memberi kesimpulan.
Mungkin juga ada benarnya. Badan saya butuh adaptasi. Namun tetap campur tangan Tuhan ada dalam kesembuhan saya.
Tapi, yang menarik justru di bulan pertama dan kedua ini, di waktu pinggang saya lagi berada di puncak kesakitan tiada tara. Di saat seperti itu, berpikir dan bergerak sedikit saja menimbulkan gertakan gigi yang aduhai.
Namun, entah kenapa, terkadang melihat kelucuan dan keluguan anak-anak kelas satu dan dua ini, sakit pinggang saya terkadang hilang.
Memainkan gitar untuk mengajak mereka menyanyi; meminta mereka mewarnai buku paket mereka; dan perkataan mereka yang terkadang menimbulkan senyum dan tawa yang spontan dari saya yang cenderung kaku, serius adanya.
Kelucuan mereka seakan menjadi obat sakit pinggang saya ^_^.
Senyum Mereka Membuat Hariku Kembali Ceria
Namun sebetulnya hati, jiwa saya merasa tak puas dengan hidup yang saya jalani. Saya suka mengajar anak-anak, namun saya tak suka dengan honor yang saya peroleh.
Saya tak menyalahkan kepala sekolah atau pengambil kebijakan perihal honor untuk guru honorer, karena mereka terbentur dengan Undang-undang, peraturan yang mengatur tentang itu.