Saya pun menelepon Rendi dan sudah yakin kalau dia pasti bisa menjemput saya.
Kenyataannya? Tidak seperti yang saya duga.
"Maaf, Kak. Aku gak bisa. Sudah pake batik. Mau pergi ke undangan."
Saya pun memutuskan hubungan telepon.
Tentu saja saya kecewa. Dulu, sewaktu di Samarinda, banyak waktu yang saya habiskan bersama Rendi. Bahkan, karena dia masih anak kos, tergantung oleh kiriman uang orangtua, maka saya banyak kali mentraktir makan.Â
Ternyata di saat saya susah, berduka seperti sekarang, dia malah mementingkan makanan di resepsi pernikahan daripada menolong teman yang lagi mendapat musibah.
Setelah itu, saya tidak pernah sekalipun mengontak Rendi. Meskipun sempat bertemu di ibadah di gerejanya di Balikpapan, dan dia mengajak makan siang bersama, namun saya sudah tidak respek pada dia lagi. Bagi saya, dia bukan sahabat saya. Dia mengajak untuk ikut makan siang bersama. Saya ikut makan siang hanya untuk menunjukkan kalau saya sudah memaafkan dia, namun itu adalah pertemuan saya yang terakhir dengan dia.Â
Ciri-ciri sahabat sejatiÂ
Setelah mengalami pengalaman hidup begitu banyak, saya menyimpulkan tiga hal. Tiga hal yang merupakan ciri-ciri sahabat sejati. Mungkin Anda mempunyai pendapat yang berbeda. Tidak mengapa. Nanti Anda bisa membagikannya di Kompasiana ini, tempat kita belajar banyak hal, termasuk kebijaksanaan.
Apa tiga ciri sahabat sejati menurut saya?
1. Mau menerima kita apa adanya
"Tersenyumlah waktu bermain gitar."
"Itu, buat video yang beda. Gabungan antara melodi, bass, dan vokal."