Hari Minggu barusan, saya menghadiri beberapa undangan resepsi. Resepsi pernikahan beberapa teman, rekan kerja, dan mantan murid. Kadang-kadang ada beberapa perasaan yang berkecamuk di dada. Senang atau sedih. Biasanya dua itu yang lebih dominan.
Senang kalau mereka membangun keluarga secara baik-baik.Â
Sedih kalau teryata sepasang mempelai membangun keluarga karena sudah terjadi 'kecelakaan' terlebih dahulu. Married by Accident istilahnya.Â
Dan perbincangan tentang 'kawin' dan 'nikah' pun biasanya ramai terjadi, apabila menghadiri reuni, entah itu reuni SMA, SMP, atau SD sekalipun.Â
Lama tak bertemu, puluhan tahun tak bersua, pertanyaan "Sudah kawin?" atau "Sudah nikah?" pasti ada terlontar.Â
Ada yang langsung bilang, "Sudah," tanpa mau basa basi.Â
Ada yang berguyon, "Kawin sudah. Nikahnya belum."
Nah guyonan seperti ini yang biasanya menjadikan suasana ngobrol jadi rame, dan berseliweran guyonan-guyonan berikutnya yang berkaitan dengan 'kawin' dan 'nikah'.
Baca juga :Wanita, Berumur, Pengen Kawin, Jangan Khwatir, Brondong Suka
Tapi pertanyaan seperti "Sudah kawin?" atau "Sudah nikah?" sudah terlalu umum, sehingga membuat saya membuat judul artikel di atas : Mana Yang Benar? "Sudah Kawin?" atau "Sudah Nikah?"Â
Apa sih bedanya 'kawin' dan 'nikah'?
Untuk memperjelas perbedaan arti 'kawin' dan 'nikah', saya akan mengutip pengertian keduanya dari Kamus Besar Bahasa Indonesia versi online/daring atau untuk selanjutnya kita singkat menjadi KBBI online
"Kawin" menurut KBBI online :
membentuk keluarga dengan lawan jenis; bersuami atau beristri; menikah. Contoh dalam kalimat : ia kawin dengan anak kepala kampung;
melakukan hubungan kelamin; berkelamin (untuk hewan);
bersetubuh. Contoh dalam kalimat : Kawin sudah, menikah belum;
"Nikah" menurut KBBI online :
ikatan (akad) perkawinan yang dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum dan ajaran agama. Contoh dalam kalimat : Hidup sebagai suami istri tanpa nikah merupakan pelanggaran terhadap agama;
Saya mengambil kata dasarnya, karena sudah cukup jelas terpampang nyata.
Baca juga : Naskah Teater Basa Jawa: Kawin Kok Susah
Jelas terlihat bahwa nikah adalah penyatuan dua insan manusia beda jenis kelamin yang sah secara hukum dan agama; sedangkan kawin lebih mengacu pada 'bersetubuh', tapi tak sah secara hukum dan agama, kecuali kalau dilakukan setelah menikah.Â
"Ah, kalau gitu juga aku tahu. Makanya namanya akad nikah," ujar Doni, salah seorang teman saya.
"Tapi kenapa masih nanya 'Sudah kawin?'," tanyaku balik.Â
"Kebiasaan, hehehe," Doni berkilah, sambil garuk-garuk kepala.Â
Tentu saja, sudah jelas, kalau nikah dulu dikedepankan, karena legal secara hukum dan agama. Berbeda dengan kawin yang melanggar hukum dan agama, kecuali kalau dilakukan setelah menikah.
Kenyataan?
Tidak sedikit pernikahan terjadi karena sudah berhubungan seks terlebih dulu, kawin dahulu, menikmati cinta satu malam (atau beberapa malam), tanpa memikirkan akibat kemudian, dimana pihak perempuan hamil akibat hubungan terlarang tadi, sehingga supaya untuk tidak menanggung malu, laki-laki dan perempuan itu dinikahkan.
Baca juga : Masih dalam Bayang-bayang Risiko Kawin Muda
Salah seorang teman saya, yang berusia sudah matang secara mental dan kesiapan lainnya, namun karena orientasi seks yang menyimpang, karena terlalu banyak menonton video porno, sehingga ingin 'mencicipi' dulu, 'kawin' dulu.Â
"Siapa tahu tidak cocok sewaktu berhubungan seks," alasan Reno (bukan nama sebenarnya) dengan entengnya.Â
Saya tidak tahu apakah Reno tahu bahwa melakukan hal itu dosa, apabila belum diikat oleh pernikahan. Usia saya dengan Reno tidak beda jauh. Cuma selisih satu sampai dua tahun.Â
Dan parahnya, doi dari Reno adalah orang yang berpendidikan, janda yang barusan bercerai karena mantan suami tidak memenuhi nafkah lahir batin. Tina (bukan nama sebenarnya) membawa satu anak, dari pernikahan itu.Â
"Apa salahnya menikahi janda?" ada teman saya, Donald berkata begitu.
"Saya tidak bilang salah. Yang keliru itu, mereka berhubungan seks sebelum menikah, supaya mencoba terlebih dahulu, apakah ada kecocokan atau tidak. Kecocokan apa? Secara seksual? Bagaimana dari segi karakter, sifat?Â
Apakah bisa diketahui dalam tempo semalam atau beberapa malam? Lagipula kan aneh. Nikah tanggal 1 Januari 2016 misalnya. Si Doi hamil dan akhirnya melahirkan pada tanggal 25 Mei 2016. Lahir normal, berat bayi normal. Lima bulan, alih-alih sembilan bulan masa kehamilan. Empat bulannya ke mana?"
Saya tidak berkomentar lagi tentang teman saya, Reno, setelah dia melakukan perbuatan melanggar hukum tadi, kawin terdahulu, sebelum nikah. Bukan saya tidak peduli, namun dia sudah lebih dari dewasa. Saya sudah mengingatkan, tapi kalau dia tidak mendengar ya mau bagaimana lagi. Itu keputusan dia untuk mengambil resiko. Sebagai teman, domain saya cuma sebatas mengingatkan. Tak lebih.
Keputusan untuk menuju ke arah yang lebih baik
Tidak ada yang ingin adanya perceraian. Semua ingin pernikahan langgeng sampai maut memisahkan. Yang nikah baik-baik saja tak menjamin langgeng, apalagi yang nikah karena 'faktor x' tadi. Bukan mendiskreditkan, namun sangat meragukan apabila mereka bisa langgeng sampai maut memisahkan setelah melakukan 'kawin' sebelum 'nikah'.Â
Oleh karena itu, didorong oleh keprihatinan saya, ijinkan saya menyampaikan tiga hal, masukan, supaya kita melangkah dengan tekad bulat, memutuskan menuju ke arah yang lebih baik demi kemajuan kita bersama.Â
1. Sebagai Orangtua
Sebagai orangtua, didiklah anak Anda di rumah, tanamkan nilai-nilai agama, moralitas, supaya mereka bisa menjadi insan yang berguna di masa depan.
"Lho, kan saya sudah bayar uang sekolah mahal-mahal. Sekolah dong yang mendidik anak saya," ada salah satu orangtua yang protes dengan pendapat saya.
Saya cuma bisa mengelus dada untuk orangtua yang bilang seperti itu. Mereka lupa bahwa sekolah tak mungkin mendidik begitu banyak murid dalam waktu yang bersamaan. Yang ada adalah mengajar, bukan mendidik. Waktu anak-anak di sekolah pun singkat. Cuma lima sampai enam jam. Selebihnya, 18 sampai 19 jam kan di luar sekolah, yang berarti tanggung jawab orangtua.
Dari keluargalah, anak terbentuk. Terutama sekali, berikan mereka pemahaman tentang sex education atau pendidikan seks, karena tidak ada materi itu di sekolah. Masih ada anggapan bahwa membicarakan hal tersebut adalah tabu. Padahal itu penting supaya anak-anak sekarang tidak menginterpretasikan secara keliru, mencari dari sumber-sumber yang keliru.
Ayah seharusnya memberikan pemahaman pendidikan seks pada anak laki-laki, dan ibu memberikan pendidikan seks pada anak perempuan. Dengan begitu, mereka akan menjaga kemurnian, kesucian mereka sebelum menikah, karena pernikahan adalah sakral. Jangan dinodai dengan 'kawin' sebelum 'nikah'.
Kita bisa belajar dari sosok teladan Haji Agus Salim, yang bersama istri, mendidik anak-anak mereka di rumah. Mereka belum mengenal homeschooling seperti saat ini, namun mereka sudah menerapkannya jauh sebelum masa kini. Saya ada menulis artikel tentang Agus Salim dengan judul Agus Salim : Si Rendah Hati Dengan 7 Bahasa Asing di blog saya, pintar-bahasa-inggris.com.Â
2. Sebagai Orang Dewasa
Menjadi tua itu pasti. Menjadi dewasa itu pilihan.
Anda pernah mendengar atau membaca ungkapan-ungkapan ini?
Saya menyakini kebenaran ungkapan ini. Di berbagai kesempatan, saya melihat orang dewasa yang seharusnya menjadi panutan ternyata bertingkah seperti anak kecil. Seperti Reno dan Tina tadi. Mereka punya gelar sarjana, cukup mapan secara finansial, namun menyalahgunakan kebebasan yang Tuhan beri. Seks sebelum nikah tentu saja bukan hal yang baik untuk ditiru.
Maka dari itu, apabila Anda adalah orang dewasa, perkuat iman Anda sesuai agama dan kepercayaan masing-masing; lihat dan dengar hal-hal yang baik dan bermanfaat; dan lakukan pekerjaan Anda semaksimal mungkin. Jangan meracuni diri dengan video porno, atau obrolan-obrolan kosong lainnya.
3. Stigma negatif tidak akan mudah hilang di jaman ini.
Sebelum era internet, kalau ada kasus negatif, paling hanya beberapa orang yang tahu, dan penyebaran berita hanya lewat media cetak, semisal suratkabar dan majalah; atau media eletronik, seperti radio dan televisi. Daya jangkaunya pun tak seberapa luas, sehingga tidak banyak orang yang tahu.
Sekarang?
Dengan adanya internet dan media sosial, jejak digital baik dan buruk pun akan tetap ada sampai batas waktu yang tak bisa ditentukan dan bisa menjangkau ke mana saja, tanpa batas wilayah.
Semua orang akan tahu kebaikan atau keburukan Anda atau anak Anda, tergantung dari apa yang Anda dan anak Anda tabur di dunia ini.
Jika kebaikan yang ditabur, baguslah. Tapi jika keburukan, stigma negatif akan tetap melekat pada Anda dan anak Anda. Karena jejak digital itu tetap ada, meskipun kita sudah menghapusnya, namun orang lain mungkin masih menyimpan jejak itu di media sosial mereka.
Maka dari itu, tahanlah hasrat Anda sampai waktu menikah tiba. Edukasi anak Anda tentang moralitas. Biarlah Nikah menjadi sakral adanya, bukan terpaksa karena sudah berbuat dosa.
Mana yang benar? "Sudah Kawin?" atau "Sudah Nikah?"
Saya rasa Anda sudah tahu jawabannya ^_^.
Salah memilih menu makanan akan menyesal satu hari. Sampai perut lapar lagi.
Salah memilih tukang cukur akan menyesal satu bulan. Sampai rambut panjang lagi.
Salah memilih pasangan akan menyesal seumur hidup.
*
Samarinda, 4 Maret 2019
Anton
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H