Foto ini kucetak di kertas biasa. Aku tidak punya uang pada waktu itu. Warnanya hitam putih. Sederhana seperti perempuan yang ada di foto ini.Â
Wajah perempuan yang kukasihi. Perempuan yang sudah melahirkanku. Yang sudah bersusah payah mengasuh. Membesarkan. Mendidik.
Ibu sudah meninggal. Tapi foto ini tetap tertempel di dinding. Aku tak tega untuk melepasnya. Bahkan untuk menyertakan di puisi ini pun aku merasa tak pantas.
Karena ibu tak suka keramaian. Dia orang yang sederhana semasa hidupnya. Baginya, dikenal orang tak penting. Yang utama, anak-anak hidup rukun, sehat, dan sejahtera.
Foto hitam putih tetap terpasang. Entah sampai berapa bulan purnama. Aku memandang foto ibu sebelum ke peraduan. Mengingat masa-masa kecil bersama ibu. Masa-masa tak terlupakan.Â
Masa dimana aku menyiram bunga bersama ibu. Masa dimana aku dan ibu memandang bunga-bunga bermekaran di waktu malam. Masa dimana aku makan bersama ibu di meja makan, meskipun hanya dengan tempe dan sayur bening.
Masa-masa itu sudah sirna. Lewat foto hitam putih ini, aku tetap ingin mengenang masa-masa itu. Selagi masih bisa.
Samarinda, 11 Februari 2019
Anton
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H