"Masih ingat sama ibu?"
"Maaf, Bu. Saya lupa."
Percakapan di dalam kantor guru yang memiriskan. Kenapa saya bilang begitu? Karena berharap diingat, tapi ternyata dilupakan.
Yanto (bukan nama sebenarnya), mantan murid SD, datang ke SD-nya kembali setelah enam tahun tidak berkunjung. Lebih tepatnya, setelah lulus SMA, baru dia datang kembali.Â
Tujuan? Sederhana. Ingin melegalisir fotokopi ijazah SD untuk mengikuti persyaratan Ujian Penerimaan CPNS.Â
Bu Mintarsih (guru, juga bukan nama sebenarnya) yang kebetulan ada di depan pintu kantor guru, memulai percakapan dengan kalimat klise yang sudah basi, "Masih ingat sama ibu?"
Entah apa harapan sang ibu. Sepertinya dia berharap, mantan murid akan berkata, "Oya, Bu. Masih ingat." Sepertinya itu harapannya. Namun, harapan tinggallah harapan. Jawaban "Maaf, Bu. Saya lupa." membuyarkan harapan itu.
Terlihat ada raut kekecewaan di wajah. Dan memang terdengar kecewa waktu Bu Mintarsih berkata, "Masa sama ibu lupa ...."
Dari peristiwa ini, saya tergelitik untuk menuliskan artikel ini. Bukan apa-apa. Hanya sebagai pengingat bagi saya, supaya hal yang sama sekiranya tidak terjadi pada saya di kemudian hari.
Mengapa lupa?
Saya melihat tipikal guru seperti Bu Mintarsih dan beberapa guru lain yang mempunyai karakter yang kurang lebih sama dengannya, lalu saya mengambil kesimpulan bahwa ada sedikitnya tiga sebab kenapa para mantan murid lupa dengan mantan guru seperti Bu Mintarsih dan beberapa mantan guru lainnya.
1. Pembawaan tidak bersemangat
Jalan lamban, tidak ada senyuman di wajah, bicara perlahan nyaris tak terdengar, gerak-gerik lemah lunglai, dan masih banyak lagi hal-hal semacam itu.