Saya meminta murid-murid untuk berdiri dan menyanyikan lagu Head, Shoulders, Knees, and Toes sambil menyentuh bagian tubuh yang disebutkan.
Reaksi? Mereka menyukainya. Dengan begitu, mereka hafal bagian-bagian tubuh tertentu dalam bahasa Inggris lewat lagu dan gerak, dalam hal ini VAK.
Murid senang, guru pun ikut senang, proses belajar mengajar menyenangkan, tidak monoton.Â
3. Tidak ada kedekatan emosional dengan murid
Sekarang sudah bukan jamannya guru killer. Apalagi kalau menyangkut siswa-siswi SD, yang notabene masih anak-anak.Â
Ibarat kalau mengambil istilah marketing (kalau tidak salah ^_^), rebut hatinya, maka dompetnya pun akan keluar dengan sendirinya.
Kalau mau 'merebut' perhatian anak, berikan apa yang mereka suka terlebih dahulu; misalnya dengan menyanyi, bermain, melakukan kegiatan mewarnai yang berhubungan dengan materi ajar; maka selanjutnya, anak akan memperhatikan dan antusias dalam proses belajar mengajar.
Bagaimana mau mendapatkan perhatian dari peserta didik yang unyu-unyu ini kalau di awal masuk saja tidak ada kedekatan emosional dengan murid. Yang ada di kepala sang guru hanya bagaimana bisa menuntaskan materi ajar di hari yang bersangkutan.Â
"Menyanyi? Bermain? Mewarnai? Tidak ada hubungannya dengan materi ajar!" kata Bu Mintarsih.
Seharusnya tidak begitu pemikirannya. Anak-anak itu lebih penting daripada materi ajar yang benda mati adanya.Â
Ditambah lagi dengan kesenjangan di luar kelas. Tidak ada keramahan sewaktu bertemu, baik di kantin atau halaman sekolah. Yang ada malah ketegangan dan kecanggungan.
Itu tercermin dari pribadi, pembawaan Bu Mintarsih sendiri.