Dilansir dari kompas. Com: Pemerintah belakangan ini telah membuat kebijakjan baru yaitu new normal, kebijakan ini diharapakan dapat mengurangi rantai penyebaran covid-19. Namun tidak sepenuhnya pulih, masa new normal ini setiap orang harus mencoba berdamai dengan virus corona dengan tetap melaksanakan aktivitas seperti biasa. Meskipun demikian tidak bisa dipungkiri jika penerapan ini membuat masyarakat merasa khawatir karena virus ini dapat mengancam keselamatan. Oleh karena itu pemerintah pun tetap menghimbau agar selalu menaati protocol kesehatan seperti, rajin cuci tangan, memakai masker dan lain sebagainya.
 Maka dari itu penegakan hukum menjadi salah satu langkah yang dipilih pemerintah. Aparat kepolisian pun dikerahkan dalam mengatasi wabah virus corona di Tanah Air. Secara garis besar, polisi bertugas dalam membubarkan kerumunan massa, menangani penyebar berita bohong atau hoaks, serta penimbun bahan pokok.lll
Kapolri juga meminta masyarakat tak menimbun bahan pokok serta tidak menyebarkan berita bohong atau hoaks.
Mereka akan dijerat Pasal 212 KUHP, Pasal 216 KUHP, dan Pasal 218 KUHP. Ancaman hukumannya adalah satu tahun empat bulan penjara.
Menolak atau melawan petugas yang berwenang sebagaimana Pasal 212 sampai dengan Pasal 218 KUHP dan menghalangi pelaksanaan penanggulangan wabah penyakit sebagaimana UU Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular Pasal 14 ayat (1) dan (2),"
Namun di masa sekarang ini banyak terkait bahwasanya hukum yang di buat masih menyangkut pautkan kan Pidana dengan hak asasi manusia (HAM) Fenomena Covid-19 menimbulkan ketidakpastian hukum bagi berbagai pihak karena seiring dengan perkembangan teknologi digital yang menimbulkan dampak VUCA (Volatile, Uncertainty, Complexity, Ambiguity) dalam berbagai segi kehidupan manusia. Dunia maya (internet dan sosial media) yang pada awalnya merupakan simulasi dari dunia nyata pada akhirnya tercampur aduk sehingga tidak bisa lagi dibedakan dengan dunia nyata.
Masyarakat tidak lagi bisa membedakan antara realitas factual dan realitas ar tifisial, antara fakta dan fiksi. Bourdillard dalam buku Paradigm for The Third Millenium karangan John Tiffin dan Nobuyashi Terashima, mendefinisikan Hypereality sebagai sebuah kondisi yang dialami oleh masyarakat postmodern dengan kecanggihan teknologi yang dimiliki, di mana kesadaran masyarakat tidak mampu memilah dan membedakan antara realitas dan fiksi.
Oleh sebab itu. Sampai pada titik ini, supremasi hukum di masa pandemi Covid-19, pada dasarnya adalah tanggung jawab setiap orang dewasa yang cakap sebagai pribadi hukum (perzoonlijk) melekat kewajiban untuk menyelamatkan diri dan orang lain dari pandemi Covid-19. Legal awareness (kesadaran hukum) dan legal feeling (perasaan hukum) diperlukan untuk membangun kedisiplinan dan konsistensi ketaatan hukum dalam melawan pandemic Covid-19.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H