Mohon tunggu...
Fahreza Rakha Winatra Atmaja
Fahreza Rakha Winatra Atmaja Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Airlangga

Masih gini-gini aja.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Madura di Bumi Girindhra: Asal-usul, Penyebaran, dan Sekelumit Kebudayaan Madura di Malang

21 Juni 2022   19:50 Diperbarui: 21 Juni 2022   19:58 4187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Etos kerja yang tinggi di kalangan mereka dapat disebabkan oleh banyak faktor, salah satunya adalah karena harga diri. Sebagaimana dapat dipahami dari pepatah (parebasan) "etembang noro' oreng, ango'an alako dhibi' make lane' kene'." 

Artinya, daripada ikut orang lain lebih baik bekerja (usaha) sendiri walaupun hanya kecil-kecilan. Hal menyiratkan bahwa masyarakat Madura memiliki jiwa kewirausahaan yang sangat besar dan menjadi nilai fundamentalis di dalam komunitasnya. 

Pada dasarnya harga diri dan martabat merupakan nilai yang sangat erat dan mendasar sekali bagi masyarakat Madura dan selalu harus dipertaruhkan. Motivasinya adalah rasa malu (malo atau todus). Bahkan, ada ungkapan yang banyak dinyatakan, "tambana todus mate", yang artinya obatnya malu adalah mati. 

Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, bahwa harga diri di kalangan etnis Madura menempati wilayah sensitif yang sangat dijunjung tinggi dan tidak boleh diganggu oleh siapapun saja. 

Sebagaimana tersirat dalam filosofi yang sangat membumi bagi masyarakat Madura: "Tembhang apote matah bhengok apote tolang", (daripada putih mata lebih baik putih tulang).

Maksudnya, daripada hidup menaggung malu, lebih baik mati berkalang tanah. Berbagai hal yang termasuk dalam wilayah kehormatan dan harga diri adalah keluarga, istri dan anak-anak, harta dan sandang pangan. 

Namun juga di sisi lain, sebagai orang yang hidup dalam atmosfer religiusitas, mereka sangatlah patuh kepada ulama (kyai-pemimpin non-formal), melebihi kepatuhannya kepada pemimpin formal sekalipun.

 Maksudnya, mereka akan menomorsatukan apa yang kyai mereka titahkan, dibanding anjuran pemerintah. Maka, bila pemerintah membuat kebijakan yang tidak atau minim melibatkan para kyai, jangan harap kebijakan tersebut akan terlaksana. Sebuah mental masyarakat yang kental akan nilai tradisional yang unik.

Sifat dan karakter pekerja keras mereka selain karena faktor geografis juga diejawentahkan dalam budaya lisan yang berkembang di antara mereka. Ungkapan-ungkapan parebasan adalah contohnya dan sedikit banyak memengaruhi pola kehidupan mereka. 

Dalam bentuk peribahasa (ungkapan verbal) misalnya, antara lain bagi orang yang malas distigma dengan ungakapan sinis, atonggul to'ot (memeluk lutut) dan nampah cangkem (bertopang dagu). 

Dalam sebuah larik "Pingpilu" ada sebuah sindiran yang dapat dimaknai bahwa orang Madura lama tidak mau menerima keturunan orang yang tidak rajin dan tak becus bekerja. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun