***
Tiara mampu duduk memangkuku berjam-jam di teras rumah ini sambil menanti suaminya pulang kerja. Kadang dia sambil bercerita tentang bagaimana dulu dia bertemu Mas Andhika untuk pertama kalinya. Kadang juga dia memelas padaku bahwa dia selalu merindukan Mas Andhika di setiap detik kehidupannya. Aku mendengarkannya dengan sungguh-sungguh dan berusaha untuk mengerti.
"Tiara, lekas masuk rumah, di luar mulai gelap!" perintah ibunya Tiara.
"Aku masih nunggu Mas Andhika pulang, Bu," sahut Tiara lembut.
"Masmu itu enggak akan pernah pulang, dia sudah kawin lagi." Ketus ibu Tiara.
"Mas Andhika sangat mencintaiku, Bu. Enggak mungkin dia nikah lagi, iya kan, Put?" Tiara menolehkan wajahnya padaku.
"Hallah! Pat put pat put. Buang saja sana si p\Puteri itu!" ibu Tiara merebut tubuhku dari pangkuan Tiara dan melemparkanku ke tong sampah.
"Puteri!" teriak Tiara dan memungut dan menggendongku kembali dari tong sampah.
Seperti kehabisan kesabaran, ibunya menyeret Tiara ke dalam rumah. Di dudukannya Tiara di kursi ruang tengah. Dengan gigi bergemeletuk dan mata melotot ibu Tiara bersaha menyadarkan logika anaknya.
"Walau kamu enggak bisa hamil lagi dan ditinggal Andhika, bukan berarti kamu harus gila dan terus memelihara boneka ini sebagai puterimu, Tiara." Gemas ibu Tiara menjelaskan dan memelintir kepalaku hingga terlepas. Ibu Tiara membakar kepalaku utuh-utuh.
Tiara menjerit dan menangis. Aku yang dibeli untuk mainan anak perempuan yang seharusnya lahir menjadi puteri pertama Tiara, kini koyak dan tanpa kepala. Maafkan aku Tiara, tak mampu membantumu apa-apa. Semoga hancurku adalah sembuhmu.